Selasa, 14 Oktober 2014

Pagaralam Solorun bagian pertama

Pagaralam Solorun 1100 Kilometer

Perjalanan bersepedamotor 
Bakauheni-Bandarlampung-KotaAgung-Krui-Pantai Laguna Samudra, Merpas-Manna-PAGARALAM- Semende-Baturaja-Kotabumi-Bdlampung-Bakauheni

Peta Perjalanan

Asalmuasal

Sebagaimana biasa saya meninjau proyek pengembangan pariwisata di Merpas, Kec Nasal – Kab Kaur Bengkulu. Tahun-tahun terakhir terlihat plat nomor kendaraan pengunjung banyak berkode awal BG dan kode akhir W yang setelah ditanyakan, para pengunjung tersebut berasal dari kota Pagaralam di SumSel. Semakin hari semakin tahun semakin banyak pengunjung dari Pagaralam ini. 

Coba melirik peta dan ngobrol dengan Pagaralamers ini, ternyata cukup dekat dari Merpas, sekitar 200km saja. Dan bagi penduduk Pagaralam, Pantai Laguna Samudra adalah pantai indah terdekat yang laut dihadapanya bisa dipakai bermain air laut atau direnangi. Ada pula Pantai Pasar Bawah di Manna sebagai laut terdekat hanya saja sebagai pantai Samudra lepas, ombak di Manna sangat ganas. Penduduk pegunungan atau wilayah yang jauh dari laut pastinya sangat tertarik dengan pantai untuk dijadikan tujuan mereka di hari-hari libur.

Untuk lebih mendekatkan diri dengan orang-orang yang termasuk captive market bagi usaha saya di Merpas itu maka diputuskan untuk sesekali menjelajahi kota yang belum lama dibentuk sebagai daerah perkotaan dengan pemerintahan sendiri. Dahulu kecamatan Pagaralam ini merupakan bagian dari kab Lahat. Setelah dimekarkan dan ditambah dengan kecamatan disekitarnya, dibentuklah sebuah kotapraja. Beberapa kali berusaha menyempatkan waktu namun gagal menyambangi kota yang dulu sekali pernah saya lewati secara kebetulan akibat Jalinbar putus. Pagaralam tak nampak sebagai kota sekitar tahun 2002 atau 2003 atau jikapun sudah masih sangat baru, apalagi saya tak sempat memasuki kota karena jalan dari Manna menuju Jalinteng hanya melalui simpang sedikit diluar kota.

nexie di tebing Sedayu, dataran Semaka nampak dilatar


Sumber Inspirasi

Karena itu ketika hendak meninjau usaha di Merpas di musim Iedul Adha, saya tekadkan untuk terus ke Pagaralam. Sehingga selain bisa mendekatkan diri serta menganalisa pasar utama dari usaha yang saya jalankan, sekalian bisa memberikan referensi sebuah jalur wisata R2 baru bagi penyukanya. Kebetulan juga beberapa waktu yang lalu ada yang menanyakan rute wisata R2 di Sumatera dengan waktu tempuh 3-4 hari dari Jakarta dan diberi syarat “Jangan ke Ranau, bang. Itu terlalu mainstream”. 

Cukup lama saya memutar rekaman perjalanan di kepala. Kalau ke Ranau saja dibilang terlalu mainstream apalagi kalau disarankan ke Palembang... Mungkin banyak tujuan wisata disekitar Palembang yang belum terjamah para adventurider tapi pastinya jika menyebut Palembang bakal tidak klop dengan syarat mainstream. Selain itu ke Palembang dengan jangka waktu sempit, ya cuma ngebut doang di Jalintim. Atau diberi variasi dengan pergi Jalinteng dan kembali Jalintim tapi tetap saja bagian Jalinteng menuju Palembang hanya dihiasi kota-kota agropolitan. Tak banyak bagian jalan yang memacu adrenalin dengan tikungan yang hampir membentuk letter “O” bahkan dengan diperlebarnya Jalinteng, semua tikungan bisa dilibas dengan kecepatan berapapun yang kita mau tanpa membuat deg-degan kecuali dari depan tiba-tiba muncul bis ALS yang sedang menyalip 

Setahu saya sang penanya adalah pengendara motor besar diatas 250cc, tepatnya Versys. Dan juga adventurider. Terpikirkan jalur Manna – Pagaralam dan jalan pintas Pagaralam langsung ke Baturaja tanpa melalui MuaraEnim atau Lahat. Nampaknya jika pakai versys bisa tembus 3 hari plus menyeberang jadi klop 4 hari. Langsung saja saya kasih jalur Bakauheni-Bandarlampung-KotaAgung-Krui-Bintuhan-Manna dan naik keatas menuju Pagaralam-simpangJarai-simpangMeo-Baturaja-Kotabumi-Bandarlampung-Bakauheni. Dengan versys, juga tak perduli sitan bigal di jalur Martapura hingga Bandarjaya. Paling banter para begal bisa ngejabanin dgn RX King bore up sebatas 1-2 km saja, selebihnya si King itu pasti batuk termehek atau malah jam session piston dan boringnya. 

Padahal jalur ini saya tidak update sama sekali, pertama dan sekali-kalinya di tahun 2002an tadi, 11-12 tahun yang lalu. Yang paling dikuatirkan jalur antara Manna dgn Pagaralam serta jalan pintas menuju simpangMeo yang pastinya sempit dan sering dilanda longsor (maaf ya Oom penanya, dijadikan eksperimen). Tanya dengan rekan-rekan supir truk pun tak ada yang tahu karena memang hampir tak ada truk yang mau lewat kecuali amat sangat terpaksa. Hanya bis sedang jurusan Manna-Palembang saja yang lewat itupun hanya 2-3 bis dalam sehari. Tapi melihat anak-anak Pagaralam yang tiap Sabtu-Minggu dengan motor atau mobil dan bus memenuhi Pantai Laguna Samudra, rasanya jalur itu enak dilewati. Bahkan ada juga yang menggunakan trike Viar 150 alias mobak. 

nexie


Pilihan Kendaraan

Untuk itulah saya sempatkan ke Pagaralam kali ini, biar ada info ter-update. Tinggal memilih kendaraan dan saya pastikan pakai R2 agar benar-benar sesuai keadaan dengan target yang akan diberikan infonya. Tapi masih ada dilema, pakai ABG Tua - Thunder 125 atau nexie yang masih kinyis-kinyis berusia 2 bulan saja. ABG Tua sesuai namanya, kelahiran 2004 meski masih segar bugar dan masih sangat yakin bakal menuntaskan tugas dengan sempurna tapi tetap saja ada kekuatiran, yang menjadi masalah utama adalah anggaran atau budget. Tak bisa jalan dengan dana pas-pasan jika pakai ABG Tua, persiapan jika terjadi masalah di jalan harus diperhatikan. 

Apalagi ini kemungkinan besar menjadi solorun, beberapa rekan yang diajak menjawab tak bisa menemani. Akhirnya saya pilih nexie Suzuki scooter 110cc. Karena masih baru, saya yakin tak bakal ada masalah di jalan, budget tinggal hitung bbm dan konsumsi - akomodasi saja. Tapi tetap ada kekuatiran bakal dilanda pegal linu akibat jok yang imut-imut, solusinya besarkan budget akomodasi, cari hotel yang nyaman. Selain itu lampu yang terpasang di nexie hanya standar pabrik, jalan malam bakal kesulitan buat mata minus. Hanya saja saya yakin konsumsi bbm-nya lebih irit si nexie karena ABG Tua sudah sedikit di upgrade biar bisa ngejabanin adik-adiknya yang rata-rata 150cc. Karena bukan spek pabrikan otomatis ABG Tua sedikit lebih boros dari motor 150cc untuk mencapai tenaga yang setara.

Yang pasti pengalaman perjalanan dengan nexie bakal menjadi acuan bagi semua tipe dan kelas R2. Ini adalah alasan utama memilih nexie. Karena nexie adalah tipe motor terkecil dan terpelan diantara tipe motor lainnya. Tapi setelah beberapa kali uji coba, nexie cukup cepat dan lincah dibanding skuter matik sekelas. Untuk perjalanan jauh saya hanya mengganti ban belakang dengan ukuran 1 tingkat lebih besar sementara ban depan tetap asli bawaan. Dengan ban 90/90 kecepatan nexie sedikit berkurang, susah payah juga menyalip matik lain dalam kondisi berpacu, biasanya hanya dengan sekali hentakan gas nexie sudah meluncur dan belum 200 meter semua matik sekelas sudah bisadilibas. Kini butuh 400 meter lebih untuk itu. Namun di tikungan Jalinteng yang lebar-lebar dan besar masih mampu gas pol tanpa gejala ban bergeser alias sliding. Di jalan rusak pun jauh lebih nyaman. Ada sisi lebih dan kurangnya mengganti ban yang lebih besar sedikit. 

Mantap lah pilihan kali ini, nexie! Sekalian test ride sesungguhnya bagi motor yang diiklankan dengan slogan “Irit & Kencang”. Jarak total perjalanan mencapai 1.100km bahkan lebih, tanjakan ekstrim di Sedayu menanti, turunan paling tajam juga bakal menghadang, melintas dari ketinggian 0 (nol) diatas permukaan laut hingga ketinggian 1900 meter di tugu Rimau, Pagaralam.


Papan peringatan perlintasan satwa liar di Jalinbar di dalam TNBBS

Rancangan Jadwal Perjalanan

Dan diaturlah jadwal perjalanan. Karena sendirian maka bisa sesuka hati mengatur jadwal. Mengingat ini adalah juga perjalanan kerja, saya bakal butuh 2 hari tanggal 5 & 6 Oktober di lokasi usaha di Merpas. Dipilih tanggal keberangkatan 4 Oktober 2014. Berangkat jam 5 subuh agar setidaknya sekitar senja bisa mengambil foto mentari terbenam di lautan dari ketinggian dataran Lemong, +-500m dpl, ini adalah kecamatan terujung Barat di Lampung menjelang perbatasan dengan Bengkulu. Jarak Lemong dari tempat keberangkatan sekitar 365km. Jika menggunakan R4 pasti tembus dalam 7-8 jam mengingat tak perlu banyak istirahat serta jalan yang cukup sepi kalau tidak bisa dibilang sangat sepi. Tapi perencanaan dengan sepedamotor harus mempertimbangkan waktu istirahat yang sering. Kayaknya tiap lihat mini market ingin berhenti apalagi tengah hari panas, terbayang air mineral dingin tiap lihat toko dengan lemari pendingin besar-besar . Apalagi ini pakai skuter matik kecil, dari uji coba ke Bandarlampung berjarak 70an km saja, istirahat sekali di jalan dan sekembali dari perjalanan sekitar 150km itu badan pegal semua, mungkin hanya karena belum ketemu posisi riding yang pas.
Tanggal 7 oktober direncanakan lanjut dari Merpas menuju Pagaralam dengan jarak tempuh sekitar 200 km. Tapi meski hanya 200, sekitar 100 km diantaranya adalah jalur penuh tikungan, mungkin sekitar 1000 tikungan yang harus ditempuh. Silahkan hitung sendiri, tapi ada cara mudah, sampling aja 1 km di awal dan 1 km ditengah, ada berapa tikungan di tiap kilometer, dari pal ke pal. Sempat saya hitung kemarin, paling sedikit 12 tikungan per km dan lebih banyak yang 14 tikungan. Padahal saya perhatikan jalan ini sudah banyak yang diluruskan seperti juga jalur Liwa-Krui di Lampung yg hanya 30km tapi punya 500 tikungan dahulu dengan sekitar 16-17 per km dan kini tinggal 12-14 saja per km. Setiap jarak 2-3 km pasti ada “kelokan” kata orang Minang, tikungan patah berbentuk ladam kuda atau letter “U” bahkan ada yang “O”. 
Tanggal 8 Oktober kembali pulang melalui Jalinteng dan diyakini bisa tembus sehari hingga rumah kembali disekitar Bakauheni. Subuh dari Pagaralam dan setidaknya sekitar magrib atau maksimal jam 8 malam sudah melewati Bandarjaya atau melewati daerah rawan begal dari Martapura hingga Bandarjaya. Jarak Pagaralam hingga Bandarjaya sekitar 385 km. Dari Bandarjaya sampai rumah jam berapapun tenang saja, aman bro... perkiraan jam 12 malam bisa sampai di rumah lagi. Atau jika terpaksa dan sangat lelah, ada sohib yang tinggal disekitar Bandarjaya, pasti dia mau memberi tumpangan beberapa jam hingga pagi plus bonus kopi mwoantwab. Meski tak seberapa jauh lagi, berjalan malam dengan kondisi mata minus dan lampu standar dipastikan tidak bisa cepat. 
Tanggal 9 hingga 11 masih sempat menulis RS, karena Senin depannya pekerjaan lain sudah menunggu. Begitulah rencananya. Dan ketika diterapkan dengan disiplin pasti baik hasilnya. Kenyataan, tgl 9 malam saya baru mulai menulis, dan pagi tanggal 10 diteruskan tapi belum menuliskan kisah perjalanan yang sebenarnya. Baru mukadimah yang sedikit berkepanjangan ini. Entah apakah bisa selesai 1-2 hari. Mengingat menulis jauh lebih sulit ketimbang melintir gas dan lebih mengerikan dibanding ketanggor dengan bus ALS saat menyalip.

nexie di Gunung Gare dengan latar Gunung Dempo 

Kisah Pra Keberangkatan
Persiapan dan Ulasan

Tanggal 3 Oktober sore ternyata saya masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Tugas ekstra yang baru timbul siangnya. Rencana packing jadi tertunda, hingga menjelang tengah malam baru selesai semua tugas ekstra. Nampaknya tak lagi sempat packing malam itu tapi mata belum bisa terpejam karena terlalu banyak kopi. Ketimbang memaksakan tidur, saya coba mempersiapkan tas samping motor atau biasa disebut sidebag. Sidebag ini masih terpuruk di gudang, setelah diambil dan dibersihkan dari debu gudang ternyata raincover sidebag tak ada di tempat seharusnya. Sekali lagi bongkar gudang, tempatkan di saku sidebag dan coba taruh diatas nexie, ini adalah pertama-kalinya nexie menggendong sidebag. Melirik jam ternyata sudah pukul 12.55, sudah masuk tanggal 4 Oktober! Selain itu mata juga sudah berdamai dengan kopi. Saya putuskan untuk tidur saja, nanti setelah Subuh-an dilanjut, paling undur 1 jam dari rencana semula start jam 5.30 pagi.

Ternyata adzan Subuh dari Mushalla persis disebelah rumah yang nyaring dengan toa, tak mampu menggugah tidur yang lelap. Atau jangan-jangan tak ada yang adzan... Jam 5 lewat sedikit saya terjaga. Setelah melihat jam dan kecewa karena terlambat bangun, saya colek teman tidur “mam, kok nggak bangunin sih”. Biasanya istri tercinta ini pasti bangun jika mendengar suara sedikit berisik, apalagi adzan di toa yang hanya berjarak belasan meter. “nggak ada yang adzan tadi, kayaknya” jawab istri saya. “cuma ada qomat tanpa toa barusan” lanjutnya. MasyaAllah! Ternyata hari ini masih jadwal saya melantunkan adzan Subuh, astagfirullah hal adziim. Pasti banyak yang menggerutu karena terlambat bangun Subuh.

Sempatkan melihat keluar arah Timur, matahari belum lagi terbit, masih sempat shalat Subuh. Biarlah urusan diterima atau tidak shalat kesiangan itu menjadi urusan nanti. Karena jika dalam perjalanan biasanya semua waktu shalat terlewatkan, bisa jadi ini shalat terakhir dalam beberapa hari ke depan bahkan bisa menjadi selamanya jika jurang atau ALS menjemput nyawa di perjalanan.

 
Salah satu pemandangan di perjalanan, Air Terjun Curup Tenang


“O iya, papa kan katanya mau berangkat subuh.”, “Bangun dong!”, “Udah nyiapin yang mau dibawa, belum?” dan beberapa kalimat lagi yang tak sempat saya perhatikan terus saja keluar dari corong toa istri bak mirtraliur Belanda memberondong para pejuang kita yang maju hanya dengan bambu runcing. Ini sebetulnya isyarat bahwa dia memberikan ijin tidak dengan ikhlas sepenuhnya. Istri mana yang ikhlas jika tahu tujuan turing adalah sebuah kota dingin di pegunungan dan terkenal bahwa perempuan disana cantik-cantik *sengaja saya edit dicoret agar jika ada istri-istri ikut membaca tidak tahu hal ini.

Tapi ijin sudah keluar, mau ikhlas atau tidak jangan diperhatikan lagi, acuh beybeh. Segera saja saya mengeluarkan motor dan memanaskan mesin. Sembari minta tolong istri untuk membantu mempersiapkan pakaian yang hendak dibawa. Lanjut mandi, selesai mandi saya takjub dengan semua barang yang disiapkan istri, mungkin diperlukan motor bak R3 untuk mengangkut semuanya. Terpaksalah saya pilih ulang apa yang mau dibawa untuk perjalanan 3-4 hari plus 2 hari di lokasi usaha yang justru membuat sempat mencuci pakaian kotor. Saya pilih membawa;
- 3buah Tshirt: 2 lengan pendek dan 1 lengan panjang
- 2 celana jeans: 1 panjang dan 1 pendek
- celana dalam dan celana renang
- handuk dan alat kebersihan: sabun cair, 1 set sikat gigi lipat dan deodoran sachet
- sepatu karet tipis yg mirip keluaran Reebok tapi hanya sepersepuluh harganya
- parfum tidak ketinggalan tapi ini harus diam-diam tanpa sepengetahuan istri

Semua barang saya bungkus dengan kantong plastik 2 lapis mengingat hanya mengandalkan sidebag yang tidak waterproof meski lengkap dengan raincover. Air masih merasuk ke sidebag lewat sisi dalam yang berhadapan dengan ban, cipratan dari ban tidak terlindungi oleh raincover. Semoga ada produsen yang mau mentest buatannya di derasnya hujan beneran atau motornya dicemplungkan menyeberangi sungai dangkal sekalian.

Sidebag jauh lebih praktis dibanding side box. Tanpa ruwet dengan bracket dan besi tambahan malang melintang di motor. Kekurangannya hanya sering ditanya, “sales apa mas?” . Sementara ini saya menghindari memakai top box karena box jenis ini mempengaruhi pengendalian motor cukup besar. Tapi di nexie menjadi opsi yang mungkin terpaksa dilakukan karena bagasinya kecil, beda dengan skywi. Skywi adalah satu skuter matik 125cc dari Suzuki yang juga saya miliki tapi kini ditugaskan membantu usaha perkebunan saya di Kaur, Bengkulu sana. Kalaupun suatu waktu nanti menggunakan top box, paling pilih yang kecil dan produk murahan saja atau sekalian orisinal keluaran Suzuki. Top box lebih digunakan menempatkan barang ringan spt alat pancing, alat mandi dan sandal karet.


Selesai semua dan masuk ke sidebag ditambah perlengkapan bersepedamotor seperti jas dan celana hujan. Tak lupa kamera kesayangan masuk kedalam tas tangki khusus kamera, hanya saja nexie tak punya tangki untuk menempatkan tankbag, tapi produk Indonesia ini pasti sudah memikirkan penggunaan di motor tipe skuter dan bebek. Tankbag kamera ini saya gantungkan ditengah dibawah stang dan diperkuat dengan memasang tali selempang ke depan, terikat di dudukan plat nomor. Meski penempatan di skuter dan bebek cukup baik tapi ergonomi isi dalam tas masih kacau jika ditempatkan berdiri, kameranya cenderung jatuh ke dasar tas dan menyulitkan ketika diambil terburu-buru.




Berangkat, 4 Oktober 2014
Pra Etape: Bakauheni(rumah saya)-Bandarlampung, 67km jalan lebar dan lurus

Tak terasa waktu terus berjalan dan jam sudah menunjuk angka 7 lewat 30 menit. Halaah, sangat terlambat ini. Mau segera ngegas tapi istri sudah menyiapkan sarapan. Tak elok jika tak mengindahkan apa yang dibuat istri sebagai rasa kasih sayang pada kita. Makan dan ngopi sarapan hingga pukul 8 lewat. 

Pakai sepatu AP boot Moto3 dan jacket hadiah sponsor peninggalan seorang teman Nusantarider. Jacket ini ternyata cukup baik menahan dingin dan angin tapi tidak membuat terlalu gerah. Jacket kulit buatan terbaik dari Samarang, Garut yang biasa saya pakai, sementara cuti dulu apalagi memang bukan didesain utk bersepedamotor, bagian leher tak bisa menutup rapat.

Periksa sidebag, agak heran melihat lebih menggembung dibanding tadi. Ternyata saat saya sarapan istri memasukan beberapa potong pakaian lagi. “Bawa kemeja dan baju koko, besok itu Lebaran dan di Merpas kan dua hari, siapa tau bupati meninjau atau kadispariwisata” sergahnya ketika saya protes. Akhirnya jam 9 pagi baru menghidupkan motor dan langsung ngacir.

Isi bensin di SPBU siangmalam, disebut demikian karena dekat dengan RM SiangMalam. Full Tank Pertamax Rp.44.000,- harga perliter disitu dan sepanjang perjalanan sama saja Rp.12.500,- sebenarnya hanya 3,5 liter atau Rp43.750,- tapi duit 50ribu cuma dikembalikan Rp.6000 saja. Pilih pertamax untuk membuktikan bahwa motor bertangki kecil tetap bisa selalu mengisi pertamax di perjalanan ini apalagi motor bertangki besar. Selain diharapkan nexie bisa lebih bertenaga dan lebih irit dgn minum bbm beroktan 92 ini. Soal irit sebenarnya relatif tapi setidaknya jika dgn bensin premium paling irit jika dijalankan dengan kecepatan 40-60 kpj sementara dengan pertamax bisa digeber 60-80 kpj dengan keiritan yg sama. Ini hasil tes ringan tanpa metode baku penelitian.

Tanpa hambatan berarti jarak 67 kilometer dari SPBU hingga Bandarlampung bisa dicapai dengan mudah. Satu setengah jam, tiba di Bandarlampung pukul 10.30. Dan hanya berhenti di minimarket 1 kali untuk membeli celanadalam tipe boxer. Karena 1 lagi masih basah dan tak terbawa. Celanadalam tipe ini paling nyaman dipakai riding seharian dibanding tipe biasa yang bagian tepi tebal di pangkal paha akan menekan saat dipakai duduk di jok berlama-lama.

Di Bandarlampung saya singgah di rumah teman yang sekitar 15-25 tahun lalu adalah buddy memotoran (jaman dulu kami belum kenal istilah touring, memotoran adalah istilah saat itu). Sempat bilang beberapa minggu sebelumnya bahwa dia mau ikut. Agak ragu juga karena umurnya sudah lebih dari setengah abad. Dan beberapa tahun lalu sempat sakit parah mengkuatirkan. Tapi dia menjamin sudah sehat wal afiat dan siap mengulang kesenangan bersepedamotor ngeblanksak. Apalagi tujuan utama adalah Pagaralam yang terkenal akan... ekh hmm sudah saya tulis tapi saya coret lagi diatas. Sebagai jomblowan sejati tentu ia bisa berangkat kapanpun tanpa ijin dari siapapun. Tapi ternyata motornya, Suzuki Crystal bebek 2 tak 110cc, yang tidak siap atau mungkin badannya yang kurang sehat tapi demi menjaga kemungkinan diajak lagi lain waktu ia beralasan motor.

Ya sudah... jadilah ini sebuah solorun. Saat jalan saya tidak suka melihat catatan apapun. WYSiWYG: what you see is what you get, istilah yang saya pakai. Jalani saja, apa yang ketemu, itu yang kita dapatkan. Padahal beberapa point of interest sudah saya catat dan urutan perjalanan bahkan tempat istirahat sudah saya tentukan. Catatan itu hanya saya lihat sebelum jalan dan ingat-ingat saja di kepala, selebihnya adalah improvisasi di jalanan ibarat bermain musik jazz.


Foto: Saya persembahkan Kota Pagaralam diwaktu malam saat purnama *sayang bulannya tertutup awan


Bersambung.... klik ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar