Sabtu, 06 Agustus 2016

Sekilas Catatan Tentang Terbentuknya Propinsi Lampung (1857 -1967)

Diposting dan disalin sesuai dengan aslinya dari: Naskah Sejarah Daerah Lampung Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun anggaran 1977/1978


Masa Kolonial Hindia Belanda

Memasuki abad ke-20 dapat dikatakan tidak ada lagi wilayah di Lampung yang bebas dari kekuasaan Belanda. Sejak gugurnya Radin Inten II (5 oktober 1856), berakhir pulalah perlawanan rakyat Lampung. Perlawanan yang timbul kemudian dapat dikatakan tidak berarti sama sekali sehingga Lampung cukup terkendali. Pemerintahan di daerah dipegang oleh masing-masing kebuayan atau marga/mego dengan restu dari pemerintahan Belanda. Dasar kebuayan inilah nantinya yang akan menjadi sistem pemerintahan marga (marga-stelsel) yang ditetapkan dalam IGOB (Inlandsche Geneente Ordonnantie Buitengewesten) pada tahun 1928.
Sejak tahun 1857 pemerintahan di Lampung dikepalai oleh seorang residen yang dibantu oleh sekretaris dan tujuh orang kontroler, yang kesemuanya terdiri dari orang Belanda, mereka menerapkan sentralisasi seperti di Jawa tetapi mendapat tantangan karena tidak cocok dengan sistim yang ada yaitu sistem kebuayan/marga yang berdasarkan desentralisasi (otonomi). Dengan sistem sentralisasi yang dijalankan oleh pemerintahan Belanda pernah terjadi kegoncangan dalam masyarakat, yaitu ketika sistem kebuayan seolah tidak dihormati, maka sejak tahun 1859 orang orang dari daerah Rebang dan Kisam menggunakan kesempatan untuk berpindah ke Selatan serta orang Abung mendesak ke Timur ke wilayah kebuayan lainnya. Sistem kebuayan adalah sistem yang sudah berjalan sejak era kesultanan Banten dan Palembang sebelum VOC Belanda menundukan kesultanan-kesultanan tersebut, terutama di daerah Utara yang mempunyai kebuayan. Sistem ini menitik-beratkan pada musyawarah dan mufakat dengan desentralisasi/otonomi dalam pelaksanaanya. Sistem desentralisasi ini tidak sesuai dengan kehendak pemerintah Belanda. Tetapi Belanda tidak bisa berbuat banyak karena adat istiadat masih dipegang teguh oleh penduduk Lampung yang tercermin pada upacara – upacara adat yang masih dipatuhi. Akhirnya pimpinan berdasarkan kebuayan terpaksa dipenuhi belanda dalam tahun 1928, pada tahun ini marga menuntut adat Lampung diakui berikut hak ulayatnya. Tetapi dalam pelaksanaanya sudah sangat dibatasi, dimana hak ulayat tersebut hanya tinggal berupa wewenang mengurus tanah oleh marga atas nama pemerintahan Belanda.
Pengaturan secara lengkap administrasi pemerintahan daerah Lampung terjadi pada tahun 1929, termuat dalam staatsblad 1929 No. 326, dimana antara lain diatur, Lampung dijadikan satu afdeling yang dikepalai oleh residen. Afdeling Lampung dibagi atas lima onder afdeling yang masing masing dikepalai oleh seorang kontroleur dan dipedang oleh bangsa Belanda. Residen berkedudukan di Teluk Betung, sedangkan kontroleur berkedudukan di kota-kota Telukbetung, Kotaagung, Sukadana, Kotabumi dan Menggala. Selanjutnya tiap-tiap onder afdeling dibagi dalam beberapa distriik yang dikepalai oleh demang. Tiap distrik dibagi lagi dalam onder distriik yang dikepalai oleh asisten demang. Bagi daerah kolonialisasi onder distrik dikepalai oleh seorang asisten wedana. Pangkat demang atau asisten demang/asisten wedana dijabat oleh seorang pribumi, pada tingkat paling bawah, diakui sistem marga yang dikepalai oleh seorang Pasirah yang memimpin kepala-kepala kampung yang disebut kepala suku.
Walaupun keadaan di Lampung sudah aman dan stabil, dengan adanya pengaruh pergerakan nasional di Jawa serta melihat sistem marga merupakan alat bagi pemerintahan Belanda, maka timbul kelompok anti sistem marga yang dipelopori oleh tokoh-tokoh pergerakan yang pada waktu itu baru tumbuh di Lampung, namun karena banyak mendapat pengaruh dari partai komunis Indonesia yang baru saja mengadakan pemberontakan di Jawa dan Sumatera Barat maka pergerakan ini tidak mendapat dukungan dari rakyat setempat, lagi pula rakyat yang mengikuti pergerakan akan ditindas oleh Belanda.
Berdasar adat Lampung, kedudukan kepala (pengetua kelompok genealogis) diwariskan namun tetap dengan eleksi. Maka kepala marga pun dipilih oleh penyimbang-penyimbang suku, jadi dalam pemilihan terbatas ada marga yang dihormati tentang tata adatnya untuk kemudian residen mengangkat orang yang berhak yang dipilih oleh para penyimbang. Sebaliknya ada pula marga yang mengenal pemilihan umum untuk kepala marga, yaitu marga-marga Pasemah (orang Rebang dan Kisam) serta orang-orang pendatang, dimana hubungan genealogis tidak begitu dipentingkan lagi.
Sejak ditetapkankannya status marga dan beberapa distrik kolonisasi, marga-marga tersebut adalah :

  • 1. Dantaran
  • 2. Pesisir Rajabasa
  • 3. Ratu
  • 4. Legun
  • 5. Ketibung
  • 6. Teluk Betung
  • 7. Balau
  • 8. Way Semah
  • 9. Sabu Menanga
  • 10. Ratai
  • 11. Punduh
  • 12. Pedada
  • 13. Merak Batin
  • 14. Tegineneng
  • 15. Badak
  • 16. Putih
  • 17. Limau
  • 18. Kelumbayan
  • 19. Pertiwih
  • 20. Putih
  • 21. Limau
  • 22. Buay Belunguh
  • 23. Tulang Bawang Pesisir
  • 24. Benawang
  • 25. Way Ngarip SemUong
  • 26. Pematang Sawah
  • 27. Rebang Pugung
  • 28. Pugung
  • 29. Buay Selagai Kunang
  • 30. Rebang (Buay) Seputih
  • 31. Buay Baradatu
  • 32. Buay Nunyai
  • 33. Buay Bunga Mayang
  • 34. Kasui
  • 35. Buay Semenguk
  • 36. Buay Pemuka Pengiran Udik
  • 37. Buay Tuba
  • 38. Buay Pemuka Pengiran
  • 39. Buay Bahuga
  • 40. Buay Barasakti
  • 41. Buay Pemuka Pengiran Ilir
  • 42. Buay Pemuka Bangsa Raja
  • 43. Jabung
  • 44. Melinting
  • 45. Sekampung
  • 46. Subing Labuan
  • 47. Gedong Wani
  • 48. Batanghari
  • 49. Sukadana
  • 50. Unyi Way Seputih
  • 51. Subing
  • 52. Buay Beliuk
  • 53. Buay Nyerupa
  • 54. Anak Tuha
  • 55. Pubian
  • 56. Buay Unyi
  • 57. Mesuji Lampung
  • 58. Buay Bulan Udik
  • 59. Tegamoan
  • 60. Suai Umpu
  • 61. Buay Bulan Ilir
  • 62. Buay Aji
Demikian keadaan pemerintahan pada zaman Hindia Belanda sampai kedatangan bangsa Jepang ke indonesia. Pada zaman Jepang struktur pemerintahan itu tidak dirubah hanya istilah-istilah diganti dengan istilah–istilah Jepang.
Daerah Lampung sejak abad ke-16 sudah didatangi oleh pendatang dari Banten, dan secara besar-besaran dari daerah Sumatera Selatan datang kedaerah Lampung pada pertengahan abad ke-19, sedangkan kolonisasi dari Jawa secara intensif mulai pada abad ke-20, mereka menghuni daerah-daerah yang belum diolah dan tergolong subur. Mulailah terlihat pemukiman yang mendiami daerah  SANG BUMI RUA JURAI ini hidup rukun dan penuh toleransi, bahkan terjadi pengakuan terhadap orang Rebang dan Kisam sebagai warga pribumi Lampung yang menghuni beberapa wilayah tertentu. Terlebih pada masa kemerdekaan telah banyak terjadi perubahan pandangan dalam pikiran orang Lampung untuk lebih terintegrasi antara masyarakat Jawa dengan masyarakat Lampung, Bahkan lambang pemerintah daerah Lampung terdapat kalimat “ SANG BUMI RUA JURAI” yang menunjukkan sikap bahwa golongan penduduk asli dengan kaum pendatang mempunyai suatu tempat dan tugas yang sama dalam membina wilayah ini untuk kemajuan negara dan bangsa.


Pendudukan Jepang

Ketika perang pasifik meletus dibulan Desember tahun 1941 Hindia Belanda berada di pihak sekutu. Hanya dalam waktu sekitar 100 (seratus) hari Jepang berhasil menghancurkan pertahanan Inggris di Birma, Malaya, dan singapura. Juga berhasil menghancurkan pertahanan Amerika di Pilipina, serta menundukkan pertahanan Belanda di Indonesia hingga pada 8 maret 1942 di Kalijati, Jawa Barat, Belanda menyerah tanpa syarat.
Sumatera dibawah kekuasaan pemerintahan Jepang berpusat di Singapura yang disebut shonanto, Jepang memasuki daerah Lampung dari arah Palembang. Pendudukan balatentara Jepang segera menjadikan Lampung sebagai keresidenan yang dikepalai oleh seorang residen militer (Lampung Syucokan) yaitu kolonel Kurita, yang dibantu seorang kepala kepolisian yang bernama Sebakihara. Sebagaimana sistim pemerintahan Jepang di pulau Jawa, maka dibawah keresidenan diadakan kabupaten, dibawahnya lagi ada kewedanaan yang dikepalai oleh seorang Gunco sebutan pengganti demang, yang dijabat oleh seorang pribumi. Dibawah kewedanaan terdapat wilayah asisten wedana yang nanti menjelma menjadi wilayah kecamatan dikepalai oleh seorang asisten demang/asisten wedana (fuku gunco), dibawah nya adalah kampung/desa yang disbut Ku. Dan di setiap kewedanaan diangkat seorang Ciko Sidukan berkebangsaan Jepang yang bertugas mengawasi dan membimbing Gunco agar setia dan tak menyimpang. Tidak berlangsung lama pada tanggal 15 agustus 1945, Jepang akhirnya menyerah terhadap sekutu, setelah terlebih dahulu dijatuhkan bom atom oleh Amerika Serikat.

Era Kemerdekaan

Berita menyerahnya Jepang diterima di Palembang lewat petugas radio domei dan modohan, kabar kekalahan tersebut sampai ke Lampung. Tidak lama kemudian terdengar berita lewat radio oleh kepala penerangan karesidenan Lampung yaitu Amir Hasan, bahwa proklamasi telah diumumkan kepada dunia internasional pada tanggal 17 agustus 1945. Kedatangan Mr. Abbas dari Jakarta memperkuat berita dan ia segera menyelenggarakan pertemuan antara para tokoh dan pemuka masyarakat di Tanjungkarang dan sekitarnya guna mengambil langkah berikut sesuai petunjuk pemerintah pusat Jakarta. Beliau juga ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagai residen pertama untuk Lampung setelah Proklamasi. Dan segera membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah Lampung yang di kemudian hari digantikan oleh dewan perwakilan rakyat. Kemudian disusul dengan dibentuknya Komite – Komite Nasional tingkat kewedanaan dan kecamatan.
Tanggal 5 september 1945 ada instruksi dari pusat untuk pengalihan kekuasaan di berbagai kewedanaan, pengibaran bendera merah putih secara menyeluruh dan penjagaan seperlunya. Sebagai ketua KNIDL yang pertama kali ditunjuk Wan Abdurrahman, dan semua jawatan maupun isntansi milik Jepang segera direbut dan pindah tangan menjadi milik pemerintahan RI. Jawatan penerangan (syuseito hodokan) dengan segala kelengkapannya diambil alih oleh Amir Hasan sebagai kepala penerangan daerah Lampung, dengan diambil-alihnya percetakan Krakatau maka lebih lancarlah komunikasi dengan warga daerah hingga kepelosok. Sementara itu berdirilah API (Angkatan Pemuda Indonesia) menghimpun para pemuda, menyusun laskar bersenjata seperti lasykar tani, barisan Banteng, Pesindo, Napindo dan lain sebagainya.
Setahun kemudian, pada tanggal 9 september 1946 Residen Lampung Mr. Abbas dipaksa untuk melepaskan jabatannya selaku residen sah oleh sebuah badan yang menamai dirinya sebagai PPM (Panitia Perbaikan Masyarakat) dengan beberapa tokohnya antara lain: Zainal Abidin, Juned, Azhari, Datuk Amin, Oemar Bey, Sutan Mudsi, Haji Mansyur dan sebagainya. Usaha pendaulatan ini berhasil, lalu Residen Lampung dijabat oleh Dr. Barel Munir. Akan tetapi dia mengundurkan diri pada tanggal 29 November 1947 dan sebagai gantinya diangkatlah Rukadi sebagai residen daerah ini.
Pada waktu terjadi perang (aksi militer) Belanda kedua 1948, ibukota karesidenan Lampung diduduki pasukan Belanda karena itu menyingkirlah pemerintahan karesidenan bersama stafnya ke Menggala lewat Kasui. Karena hal tersebut bertentangan dengan keputusan Komite Nasional karesidenan (DPR), atas dasar itu KNIDL bermusyawarah dengan para pimpinan partai mengangkat Mr. Gele Harun (putra Dr. Harun) sebagai kepala pemerintahan darurat Karesidenan Lampung. Yang kemudian mendapat persetujuan sah dari pemerintahan darurat provinsi Sumatera Selatan saat itu.
Karena situasi keamanan yang belum stabil, maka tempat kedudukan staf berpindah-pindah dari sekitar Gedong Tataan ke Pringsewu, Talang Padang dan Bukit Kemuning. Pada saat berkedudukan di Bukit Kemuning disusun staf pemerintahan secara lengkap berdasar hasil keputusan perundingan antara RI dan Belanda yang dikenal dengan persetujuan Roem Royen. Yakni guna persiapan untuk menerima oper alih kekuasaan dari tangan Belanda. Dan didalam susunan staf tersebut ditegaskan bahwa Mr. Gele Harun adalah residen Lampung. Ketika Belanda harus menyerahkan dan mengakui kekuasaan RI sebagai akibat dari hasil KMB 1949, maka Mr. Gele Harun yang menerima kekuasaan langsung dari pihak Belanda di Telukbetung.
Pada tahun 1950 berdasarkan plebisit rakyat di kewedanaan Krui yang menghasilkan keinginan untuk bergabung dengan Lampung, sejak saat itu, Krui yang semula bagian dari Keresidenan Bengkulu masuk menjadi bagian wilayah Karesidenan Lampung. Perkecualian untuk wilayah Kewedanaan Krui di onder distriik Bintuhan yang memilih tetap dibawah Bengkulu. Dengan demikian maka karesidenan Lampung meliputi seluruh ujung Selatan dari Pulau Sumatera.
Sistem Pemerintahan Negeri di Lampung berdasarkan IGOB Staatsblad no. 490 Tahun 1953 dengan adanya Ketetapan Gubernur Sumatera Selatan no.53/1951 mengenai perubahan kepala marga, maka jumlah negeri di Lampung yang semula 62 buah berubah menjadi 35 buah negeri saja.
Melihat luasnya wilayah keresidenan serta kemampuan potensi perekonomiannya, maka berdasarkan Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-undang No. 13 tahun 1964, yang kemudian menjadi Undang-undang No. 14 tahun 1964 maka Karesidenan Lampung ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I. Dengan demikian Lampung Sejak 1964 berdiri sendiri sebagai Propinsi dan tidak lagi menjadi bagian Propinsi Sumatera Selatan. Sebagai gubernur KDH Tingkat I Lampung saat itu diangkatlah Kusno Danupoyo, kemudian pada tahun 1967 terpilih Zainal Abidin Pagar Alam, dan semenjak akhir tahun 1972 jabatan gubernur KDH Tingkat I lampung dipegang oleh Brigjend TNI Sutiyoso.

Jumat, 18 Maret 2016

Cara Menyeduh Kopi yang Populer

Ngopi, adalah sebuah kata populer, setidaknya 1 kali dalam 2 hari kita akan dengar kata ini. Dan paling sering kita dengar dalam ajakan bertemu. Kata sebenarnya adalah mengopi yang berarti meminum kopi tapi ada juga yang ketika diajak ngopi malah minta teh manis. Akhirnya kata ngopi jadi punya arti tersendiri, yang lebih sebagai kegiatan sosio kultur.
  Ngomong-ngomong soal ngopi dan kopi berikut saya paparkan beberapa cara seduh kopi yang populer yang di beberapa blog/situs menyebutnya sebagai cara yang benar. Saya tidak sependapat jika mengklaim sebagai cara yang benar mengingat tiap orang punya preferensi masing-masing, ya kan...
  Adapun tulisan ini berdasar pengalaman pribadi sebagai peminum kopi dan tinggal di daerah penghasil kopi. Serta tentu ditambahkan dari tulisan di blog dan situs. Mengingat tulisan mengenai kopi ini banyak yang sama persis sehingga saya sulit menentukan mana tulisan yang asli dan mana yang salin-tempel (copas) sehingga tak saya sebutkan situs yang menjadi sumber tambahan.
-
Memilih Kopi
  Yang pertama dilakukan dalam menyeduh kopi tentu menyiapkan bahan dan alat. Jadi yang pertama dibahas adalah biji kopi. Banyak situs yang mengagungkan beberapa jenis/lokasi penanaman kopi hanya karena mereka berjualan kopi tersebut atau terbawa arus informasi yang salah dari para penjual kopi.
Dalam membeli kopi baik bubuk atau biji matang goreng (tepatnya  matang sangrai karena digoreng tanpa minyak) yang perlu diperhatikan hanyalah jenis kopinya, Arabika atau Robusta atau campuran keduanya. Arabika lebih masam dan lebih kuat aromanya ketimbang Robusta. Area penanaman Arabika juga memerlukan ketinggian lebih sehingga otomatis lebih sedikit areanya dan berakibat peredaran kopinya juga lebih kecil sementara permintaan cukup tinggi, hal inilah terutama yang membuat Arabika berharga lebih tinggi. Kopi Arabika dibutuhkan oleh pembuat kopi bubuk dari skala pabrikan hingga rumahan sebagai campuran agar bubuk kopi yang dipasarkan memiliki aroma yang mantap. Jadi meski yang mereka pasarkan lebih banyak Robusta tapi menggunakan sedikit Arabika sebagai pewangi.
  Selain jenis tanaman, yang juga perlu diperhatikan adalah "grade" biji kopi dan hal ini tak akan nampak jika anda membeli bubuk. Dalam hal grade, Robusta grade terbaik menurut saya mempunyai rasa dan aroma yang lebih baik ketimbang Arabika grade asalan. Sayangnya yang banyak dipasarkan adalah Robusta grade asalan minus sebagai hasil panen kopi serabutan yang lebih banyak biji kopi muda padahal standar grade asalan adalah hanya 20-30% biji kopi muda. Biji kopi semakin tua semakin kecil semakin padat dan anda bisa memperhatikan biji-biji kopi matang goreng/sangrai sebelum membeli. Cara dan alat penggorengan juga menentukan hasil kopinya namun pada umumnya penggoreng menggunakan wajan terakota/keramik/kaca dengan api dari kayu/arang untuk hasil terbaik atau menggunakan pasir sebagai tambahan jika menggunakan wajan metal dan kompor gas. Sehingga hasil gorengan rata-rata sama. Tinggal memilih tingkat kematangan, sebaiknya pilih yang tidak terlalu gosong/hitam.
Pilihlah biji-biji yang nampak padat dan berwarna coklat tua. Itu adalah kopi matang sangrai terbaik.
Jika anda tak menemukan penjual kopi biji matang dan terpaksa membeli kopi bubuk, belilah yang dalam kemasan kecil, kira-kira dari 1 kemasan bakal habis dalam 3-4 hari. Kalau untuk stok 1 bulan, beli saja 9-10 kemasan kecil. Kopi bubuk akan hilang aromanya setelah terbuka kemasannya dalam waktu 4-5 hari dengan asumsi sejak digiling di pabrik hingga masuk kedalam kemasan memakan waktu maksimal 1 hari.
Mengenai kopi bubuk, kebanyakan produsen mencampurkan bahan bukan kopi didalamnya. Mudah saja melihatnya, jika anda seduh dengan proses kopi tubruk, bagian yang tetap mengapung adalah bukan kopi. Ada beberapa produsen mencantumkan komposisi tapi lebih banyak yang menyebut 100% kopi. Jika benar 100% pun kemungkinan lebih dari 20% berupa biji muda dan bagi saya itu bukan kopi yang sesungguhnya.

-
Menyeduh Kopi Secara Tradisionil

Kopi Tubruk
  Ada banyak alat bantu menyeduh kopi dari yang manual hingga otomatis bahkan hingga berbagai varian minuman kopi seperti kapucino dlsb. Yang paling populer di Indonesia tentu saja Kopi Tubruk, ini yang kita bahas pertama kali.
Panaskan air dengan panci terbuka, sambil menunggu mendidih,
Siapkan biji kopi dan giling/tumbuk hingga halus sekali, setiap cangkir membutuhkan kira-kira 12-15 gram biji kopi.
Siapkan cangkir dan masukan kopi yang telah menjadi bubuk sebanyak 2 sendok teh munjung (lebih dari penuh) atau jika punya timbangan silahkan gunakan 12-14 gram kopi bubuk.
Matikan api ketika air mendidih, tunggu 1-2 menit agar panasnya turun sedikit, panas air yang baik untuk menyeduh dengan metode kopi tubruk adalah 85-95 derajat celcius. Suhu optimal adalah 92*C.
Tuang air yang suhunya telah turun sedikit dari titik didih tadi ke cangkir sembari mengarahkan tuangan air ke seluruh penjuru cangkir. Maksudnya agar kopi pecah aroma berbarengan,yang membuat aroma lebih keluar.
Setelah  air panas dituang segera tutup cangkir/gelas dan biarkan 3-4 menit. Setelah itu baru tambahkan gula jika mau atau langsung aduk kopi  dan siap dinikmati.
Tips:
Gunakan air yang tidak ada “rasa”-nya. Jika air tanah yang biasa anda minum memiliki rasa seperti agak payau jika anda tinggal didekat pantai atau berbau tanah jika lokasi sumur bekas areal persawahan dan rasa lain yang sering timbul pada air, maka gunakan saja AMDK (air minum dalam kemasan). Tapi jangan menggunakan air suling karena mineral dalam air sudah hilang sama sekali.
Air yang terlalu panas mengakibatkan kopi terlalu pahit dan air yang kurang dari 85 derajat membuat ekstrak kopi tidak maksimal kecuali menggunakan alat seduh yang didesain untuk panas air kurang dari 85*C.
Yang perlu diingat, jangan ada sendok di cangkir ketika menuangkan air panas. Hal itu akan mengurangi kematangan seduhan karena sendok metal akan menyerap panas air lebih dulu.
Jika gula sudah terlanjur masuk di cangkir sebelum kopi diseduh, aduklah agar gula dan kopi tercampur merata sebelum diseduh.
Sebaiknya gula tidak lebih banyak dari kopi bubuk atau minimal sama dengan volume kopi.
Kalau kopi anda sudah dingin, jangan dipanaskan, minumlah dengan kondisi dingin akan lebih baik daripada dipanaskan lagi. Dan jangan menaruh kopi anda di gelas/tempat berpemanas seperti food warmer atau mugwarmer tapi boleh anda taruh di thermos.
Kopi yang terlalu lama dipanaskan akan semakin pahit dan kehilangan cita rasa kopi yang sebenarnya.
Kopi anda adalah selera pribadi. Jadi jika ingin menikmati kopi yang sesuai dengan personal taste, ukur sendiri takaran kopi dan air yang kamu inginkan. Biasanya 10 – 14 gram bubuk kopi untuk 250 cc air. Jika kamu menginginkan rasa yang lebih kuat mungkin kamu bisa menambahkan kopinya atau mengurangi air. Bereksperimenlah dengan rasa. Hal ini juga berlaku jika anda menggunakan alat seduh.
Menyeduh Sekaligus Banyak
Kadang kita ingin menyajikan kopi sekaligus lebih dari 6 porsi/cangkir. Atau ketika berkemah ada acara ngopi bersama. Dan biasanya mengambil ringkas langsung saja merebus kopi dalam panci. Tidak salah jika kopi yang digunakan kopi kampung ala jawa (saya sebut demikian karena kopi kampung ini biasa dijual di Jawa atau lingkungan orang asal Jawa). Biasanya hanya mengandung 50% kopi dan sisanya bisa jagung atau beras yang disangrai hingga gosong seperti kopi.
Namun jika yang digunakan adalah kopi asli maka hasilnya bakal mengecewakan. Sebaiknya gunakan 2 buah panci, satu untuk merebus air dan 1 lagi untuk menyeduh kopi. Jika hanya ada 1 panci, gunakan ember sebagai tempat menyeduh kopi. Kopi akan lebih mantap jika disiram air panas, bukan dengan mencemplungkan kopi ke air panas, itu sebabnya perlu 2 tempat. Kalau tidak punya tempat yang sama besar, bisa pindahkan dulu air yang telah direbus ke tempat2 lebih kecil, gelas atau kaleng misalnya. Kemudian panci bisa dijadikan tempat menyeduh.
Cara dan ukuran seperti dengan metode tubruk. Sesuaikan saja jumlahnya. Terakhir, cemplungkan isi durian matang kedalam kopi yang telah jadi. Anda akan mendapatkan rasa kopi yang luar biasa. Kopi durian adalah minuman khas Lampung.
Daripada dicemplungin arang membara, jauh lebih nikmat dikasih durian. Sensasinya dapat dan rasanya semakin mantap. Silahkan mencoba... *Kopi Durian juga bisa dibuat untuk 1 cangkir, yang paling penting adalah cemplungkan durian atau tambahan lain setelah kopi siap minum, dalam hal metode tubruk adalah 3-4 menit setelah kopi disiram air panas.

Metode Pour Over 
Metode ini mirip dengan Kopi Tubruk hanya saja menggunakan alat tambahan berupa filter terbuat dari kertas dan corong. Ada corong khusus untuk ini namun bisa menggunakan corong biasa dan akan lebih bagus terbuat dari plat alumunium tapi corong plastik yang saat ini lebih mudah didapat di toko kelontong  juga berfungsi dengan baik. Ukuran corong harus sebesar filter yang dijual khusus untuk kopi.
Seperti juga metode kopi tubruk, air yang digunakan haruslah bersih dan tidak berbau serta berasa.
Panaskan air, jika air yang digunakan adalah air matang atau AMDK maka cukup panaskan air hingga timbul gelembung awal sebelum mendidih. Dan sembari menunggu air memanas;
Siapkan kopi, yang dibutuhkan adalah kopi yang digiling kasar, lebih kasar dari lubang filter. Hal ini dimaksudkan agar aliran air tidak terhambat. Besar butiran kopi ini biasa disebut medium.
Siapkan cangkir dan corong kemudian letakan filter diatas corong. Dan cangkir saji dibawah corong.
Ketika air telah timbul gelembung awal, siramkan sedikit saja hanya untuk membasahi filter. Dimaksudkan agar bau kertas pada filter berkurang. Jerang kembali air dengan api sangat kecil.
Tuangkan bubuk kopi secara merata diatas filter tapi jangan dipadatkan.
Angkat kembali air dari kompor (suhu sekitar 92*C) dan tuangkan secara merata agar semua kopi terendam dan timbul busa. Jika menggunakan air mentah maka biarkan air mendidih dulu kemudian matikan api dan tunggu 1-2 menit. Air yang telah terinfus dengan kopi akan mengalir ke bawah melalui corong ke gelas/cangkir saji. Lanjutkan tuang air hingga cangkir saji terisi maksimal.
Hasil kopi dari metode ini tidak sepahit kopi tubruk karena bubuk yang lebih kasar dan kontak kopi dengan air hanya selintas saja.
Angkat corong dan biarkan 2 menit maka kopi anda siap dinikmati atau ditambahkan gula, duren dll jika suka.

Seduh Dingin
Ini adalah metode yang paling tidak populer tapi wajib dicoba jika kopi seduh biasa membuat lambung anda terganggu.
Siapkan air biasa dengan suhu sekitar 25*C, jika anda tinggal di daerah pegunungan yang bersuhu rendah, gunakan air hangat kuku 40-50*C. Kopi yang digunakan adalah yang sedikit lebih kasar dari yang biasa dijual umum atau biasa disebut medium fine. Kopi Lampung cap Bola Dunia yang kasarnya pas untuk metode ini.
Siapkan tabung dengan penutup yang rapat, bisa menggunakan bekas toples selai dll.
Masukan kopi sebanyak 2 sendok teh penuh (kira-kira 12 gram) ke tabung dan siramkan air secara merata. Sedikit saja hingga kopi basah keseluruhan.  Biarkan 1-2 menit kemudian tambahkan air secangkir dan tutup rapat tabung. Atau sesuaikan perbandingan antara kopi dan air jika ingin membuat beberapa porsi. Biarkan minimal 10 jam, waktu optimal adalah 11 jam.
Setelah 10-12 jam buka penutup tabung dan tuang kopi ke cangkir dengan saringan agar tak banyak bubuk kopi yang ikut masuk ke cangkir saji. Saringan adalah hal penting mengingat rasa bubuk kopinya aneh dan asam jika terkunyah di mulut.
Jika anda mau minum kopi dipagi hari, maka siapkan kopi ini sore hari sebelumnya.
Untuk kopi ini sebaiknya campurkan dengan sirup gula atau kinca (gula aren yang dicairkan). Atau madu. Dan jangan dengan gula pasir.
Rasa kopi dengan metode ini lebih pahit dari kopi tubruk tapi lebih ringan kafein dan asamnya. Berbeda dengan kopi putih (white coffee) yang juga tidak asam tapi kuat kafein.

Menggunakan Alat Seduh
Sekarang sudah banyak dijual alat seduh kopi dari yang modern dan otomatis hingga semi tradisionil yang manual. Untuk menggunakan alat seduh sudah ada aturan baku yang menyertainya. Yang perlu diperhatikan adalah ukuran bubuk kopi, setiap alat mempunyai preferensi sendiri. Ada yang perlu bubuk kasar dan medium adapula yang medium fine (tidak terlalu halus) bahkan ada yang lebih baik dengan bubuk sangat kasar, biji kopi hanya perlu digeprek 2-3 kali hingga menjadi pecahan sebesar pentol korek api.
Ada banyak alat seduh dan variannya, saya hanya menuliskan alat seduh yang pernah saya coba dan saya kuasai.
Dripper
Alat yang nampak paling tradisionil adalah Dripper yang biasa digunakan di Indochina hingga lebih sering disebut sebagai “Vietnam Drip”. Alat sederhana ini berbentuk cangkir namun sisi bawahnya bolong-bolong dan ditempatkan diatas cangkir saji yang sebaiknya terbuat dari kaca/gelas bening. Sesuai namanya, alat ini menggunakan prinsip drip atau tetesan. Bubuk Kopi ditaruh dialat ini kemudian letakan cangkir saji dibawah alat dan tuangkan air panas (90-96*C) kedalam alat dan biarkan cairan kopi menetes ke cangkir saji dibawahnya. Memakan waktu yang cukup lama agar kopi siap diminum, lebih kurang 5 menit. Sehingga di banyak warung di Vietnam disajikan berikut alatnya dan konsumen harus menanti hingga waktunya meminum. Umumnya diminum dengan tambahan susu kental manis yang dituang di cangkir saji sebelum di tetesi kopi.  Hasil kopi dengan metode ini lebih terasa pahitnya  ketimbang asamnya namun lebih ringan dibanding dengan metode tubruk. Dengan menggunakan kopi matang sedang (medium roast) adalah hasil terbaik dan bubuk kasar (medium coarse).

Moka Pot
Alat yang banyak digunakan di negeri-negeri Eropa terutama Italia adalah sebuah bejana berhubungan atas dan bawah. Dibagian paling bawah dimasukan air dan diatasnya menggunakan sebuah tatakan berlubang ditaruh kopi bubuk. Kemudian ditutup rapat dengan bejana bagian atas yang nantinya adalah tempat cairan kopi yang telah jadi. Kemudian bejana bagian bawah dipanaskan diatas kompor/tungku hingga air mengalir melalui kopi dan terus naik hingga bejana atas. Hasil minuman kopi dari alat ini kental, hampir menyerupai espresso. Bubuk kopi yang digunakan  yang berukuran sedikit lebih besar dari lubang-lubang saringan/filter pada alat ini. Tiap merk punya lubang-lubang yang berbeda, nampaknya. Namun bisa juga digunakan dengan bubuk kopi paling halus seperti dijual umum untuk kopi tubruk hanya saja kopi halus ini akan ikut terangkat ke bejana atas tempat cairan kopi siap tuang ke cangkir saji.
Banyaknya volume kopi kira-kira 15 gram untuk 200 ml liter air.

French Press/Plunger
Alat ini juga sudah cukup tua dan sebagaimana namanya banyak digunakan oleh orang di Perancis. Prinsipnya mirip dengan Dripper hanya saja ini tidak menunggu tetesan tetapi ditekan sehingga lebih cepat penyajiannya ketimbang Vietnam Drip. Kemungkinan Vietnam Drip dibuat mencontoh alat ini dengan maksud sebagai metode yang lebih sederhana mengingat dahulu wilayah Indochina adalah jajahan Perancis. Hasil minuman kopi dari kedua alat ini sangat mirip.

Aero Press
Alat ini adalah pengembangan dari French Press, prosesnya sangat mirip dengan Dripper tapi dibantu dengan penekanan sehingga menetes lebih cepat. Alat ini sangat portabel hingga bisa menyeduh kopi dimanapun anda mau. Juga tidak membutuhkan air yang terlalu panas, dengan ditemani thermos sudah cukup untuk memamerkan kehebatan anda menyeduh kopi. Alat ini juga tidak ada resep baku cara membuatnya, banyak cara dan resep bisa dilakukan dengan alat ini sehingga ada kontes khusus untuk menyeduh kopi dengan alat ini.

Espresso Manual
Alat ini digunakan untuk membuat kopi paling kental dan menjadi biang dari berbagai bentuk penyajian kopi yang  umum dijual di cafe/kopi tiam sekarang ini. Tapi kebanyakan cafe saat ini menggunakan Espresso Machine otomatis bertenaga listrik. Meski metodenya juga dengan menekan (press) alat ini namun hasil minuman kopinya jauh berbeda dengan French Press.
Berikut gambar cara menggunakan espresso manual yang saya ambil dari website kopikopen.com
Gambar espresso manual

Mesin Espresso
Cara menggunakan mesin ini sangat baku sesuai petunjuk manual alat, agak sulit untuk berinovasi menggunakan alat ini. Kebanyakan kopi maka saringan akan macet, terlalu sedikit kopi maka hasilnya kurang terasa. Lagipula mesin ini terlalu mahal untuk digunakan di rumah.

Syphon
Alat ini juga terdiri dari 2 bejana, namun umumnya terbuat dari bahan gelas/kaca berbeda dengan Moka Pot yang dari metal. Kompor yang digunakan pun khusus, mirip kompor pemanas makanan yang dinyalakan dengan spiritus. Saya belum pernah mencoba namun pernah disajikan kopi dengan metode yang dipertontonkan ini disebuah mall.
Mudah saja caranya namun perlu hati-hati mengingat alat ini terbuat dari kaca dan berbentuk bulat.
Isikan air panas thermos (suhu sekitar 75*C) ke bejana bawah (air thermos dimaksudkan agar proses tak terlalu lama). Pasang filter dan katup di bejana atas. Sambungkan kedua bejana diatas dudukan alat. Tuangkan kopi bubuk ke bejana atas. Siapkan dan nyalakan kompor mini kemudian letakkan dibawah bejana bawah. Ketika air mendidih akan terdorong naik ke bejana atas dan bercampur dengan kopi. Setelah semua air naik keatas kecilkan api dan aduk campuran kopi di bejana atas. Selesai mengaduk matikan api. Air yang telah terinfus kopi akan mengalir kebawah lagi. Setelah semua air kembali ke bawah maka kopi anda siap dituang ke cangkir saji.
Ukuran banyaknya bubuk kopi kira-kira 12 gram (2 sendok teh penuh) untuk 200 ml air.
Masih ada beberapa cara menyeduh kopi menggunakan alat-alat lain namun saya belum pernah mencobanya sehingga tidak mau sekedar salin-tempel tulisan orang tanpa pernah mempraktekan. Mengenai cara menggunakan alat-alat ini secara lebih rinci, silahkan ke website penjual peralatan kopi  ini saja: Teknik Menyeduh Kopi  atau Cara Menyeduh Kopi atau Tips Seduh Kopi

Cara Meminum Kopi
Cara meminum kopi yang saya suka adalah menyiapkan sejumput gula aren dan biarkan kopi tanpa gula. Sruput kopi dan lanjut dengan mengambil sejumput gula aren untuk dikecap demi menghilangkan rasa pahit dari kopi. Buat saya meminum kopi seperti ini apalagi kopi espresso atau hasil moka pot, sangat nikmat dan dua kali lipat menambah semangat. Ada pula yang menghilangkan pahit kopi di lidah dengan cemilan manis. Atau dengan coklat batangan. Pada dasarnya biarkan kopi anda tanpa gula jika ingin menikmati kopi sebenarnya.
Tapi jika hanya ingin menunda kantuk dan mendapat semangat tambahan, minum saja kopi sebagaimana anda suka biasanya. Jangan biarkan orang lain mempengaruhi cara minum kopi yang sudah anda anggap nikmat selama ini.
Jika di warung kopi biasa, saya hanya memesan kopi beton yang maksudnya campuran bubuk kopi dan gula sama banyak volumenya.

Penutup
Jika anda tertarik menggunakan alat seduh, Syphon adalah alat yang paling unik apalagi jika dipajang di dapur atau mini bar. Sementara Vietnam Drip adalah alat paling simple dan murah, bahkan ada yang menjualnya dibawah Rp.50.000,- per unit atau French Press jika ingin lebih cepat hasilnya, French Press juga tidak terlalu mahal. Dan Moka Pot adalah alat pilihan saya karena menghasilkan kopi yang paling enak dengan simplisitas dan harga alat yang murah, hasil kopi moka pot juga bisa dikreasikan menjadi kapucino atau latte dlsb seperti espresso.
Pada level selanjutnya anda harus memikirkan untuk memiliki alat penggiling sendiri. Dan pada level diatasnya adalah membeli alat penggoreng kopi yang juga sudah dijual versi ringkasnya. Dan terakhir, ada baiknya anda membeli kebun kopi sekalian :D kemudian memelihara musang dan menghasilkan kopi luwak... hehehe
Menanam beberapa pohon kopi sendiri juga bukan ide buruk, jika anda tinggal di daerah berketinggian lebih dari seratus meter (100m) dpl seperti daerah Bogor bisa mencoba menanam Robusta. Sebagai informasi, harum bunga kopi saat bermekaran di pagi hari jauh lebih wangi dari bunga hias manapun, tercium hingga jarak puluhan meter, artinya anda bakal menebarkan wewangian ke seluruh kompleks rumah :D. Yang bisa menyaingi hanya bunga Wijaya Kusuma nan legendaris itu, bedanya bunga kopi mekar di pagi hari saat orang sudah bangun.
 Beberapa situs mengenai menyeduh kopi yang perlu anda baca:
Penggunaan Kopi Lampung adalah rahasia nikmatnya es kopi di kedai Tak Kie
http://lifestyle.okezone.com/read/2015/08/06/298/1191820/brown-sugar-cocok-sebagai-pemanis-minuman-kopi
http://kopikopen.com/2015/06/cara-menyeduh-kopi/
http://www.ottencoffee.co.id/majalah/cara-menyeduh-kopi-yang-benar/
http://www.ottencoffee.co.id/majalah/category/brewing-method/
http://www.kopijavalorek.com/2012/06/tip-seduh.html

Resep Ekstra: 
Untuk menemani minum kopi silahkan coba resep cemilan yang mudah dibuat berikut ini.
Colenak Karamel
Colenak adalah makanan khas Parahyangan. Bahan dasarnya peyeum sampeu alias tape singkong.
Cara membuat colenak tradisionil, mudah sekali tapi memerlukan pemanggang dengan arang.
Tape dipanggang kemudian ditaburi parutan kelapa remaja (tidak tua dan tidak muda/dugan) dan terakhir disiram kinca atau gula merah yang dicairkan.
Untuk resep kali ini saya modifikasi agar bisa dibuat di rumah tanpa perlu repot menyalakan arang. Cukup sediakan wajan berdasar rata (lebih baik jika dilapisi teflon atau lapisan anti lengket lain). Panaskan wajan kemudian beri sedikit margarin dan lebih mantap lagi jika menggunakan non salted butter. Setelah margarin/butter mencair, ratakan ke seluruh permukaan wajan yang rata. Masukan potongan tape yang telah dipipihkan ke wajan dan balik ketika bagian bawah telah kecoklatan.  Angkat tape jika kedua bagian sudah kecoklatan, tapi untuk tape yang agak basah dan lembek perlu sedikit menggosong agar tape lebih kering.
Susun tape satu lapis diatas piring kecil. Parut kelapa remaja diatasnya. Atau bisa juga keju cheddar.
Buat karamel dengan memasukan sedikit (setengah hingga 1 sendok teh) margarin/butter ke wajan kecil, panaskan hingga meleleh dan tambahkan gula pasir minimal 2 sendok makan. Aduk terus gula hingga mencair dan berubah warna menjadi kuning tua. Jika mulai menjadi coklat segera angkat dari api (jangan tunggu menjadi berwarna coklat semua karena artinya telah gosong). Siramkan merata keatas tape dan parutan kelapa/keju kala karamel masih cair .  Sebaiknya jangan teralu banyak membuat karamel karena hanya bisa dipakai saat cair, sementara jika sebentar saja diangkat dari api akan mulai mengeras menjadi permen. Penambahan margarin/butter agar karamel tidak terlalu keras digigit ketika telah dingin.
Catatan:
Semua resep telah dicoba di dapur.

Minggu, 19 Oktober 2014

Catatan Ringkas Pagaralam Solorun

Ringkasan Perjalanan Pagaralam Solorun

· Pra Etape, Penengahan(rumah) – Bandarlampung 69km. Jam 9.10 - 10.40
Jika dihitung jarak dari Pelabuhan Bakauheni ke Bandarlampung: 98Km; Isi bensin full tank di SPBU Kekiling (SiangMalam) Pertamax 3,5 liter = Rp.44.000; Mizone Rp.6.500.


Cerita pembuka klik disini

· Etape 1, Bandarlampung – Kota Agung 96km. Jam 11.50 – 13.10 dan 13.45 – 14.20
Bdl-Prs 41km; Makan di Pringsewu Rp.16.000; Bensin di KotaAgung premium Rp.15.000,-; Aqua dan snack Rp.12.500 plus parkir, minimart disini ada tukang parkirnya.

· Etape 2, Kota Agung – kota kecamatan Bengkunat 95km. Jam 14.45 – 16.15
Tambah bensin hingga full di SPBU KotaAgung 2, Pertamax Rp.17.000; Ambil foto di tanjakan Sedayu; Balapan dengan hujan, sejak masuk hutan TNBBS sektor Sedayu sudah nampak mendung menghitam, sampai Bengkunat hujan tertinggal di belakang sekitar 2-3 menit; Aqua dan snack Rp.10.000,-; Hujan gerimis hingga jam 16.40.


hanya beginilah saya mencatat perjalanan


· Etape 3, Bengkunat – Krui 56km. Jam 16.45 – 18.40
Hujan gerimis besar, terpaksa stop di depan Pura Melasti sekitar Way Jambu menjelang Biha, menunggu hujan sambil melihat kemungkinan ambil foto sunset di Pura; Pakai jas dan celana hujan, lanjut trabas gerimis; Isi full di SPBU Lintik (Krui 2) Pertamax Rp.43.000; Makan di Krui kota Rp.20.000; Hujan membesar ditunggu reda; Jam 20.05 hujan reda.

· Etape 4, Krui – Merpas 82km. Jam 20.10 – 22.35
Jalan sebagian besar berliku tajam dan sebagian kecil rusak parah; Gelap jadi tak bisa kencang atau jika dipaksakan kemungkinan besar terjun ke jurang dengan laut sebagai dasarnya; Istirahat sebentar di minimart paling ujung BaratLaut di Lampung, kec Pugung; Aqua dan snack Rp.12.000; Melewati hutan TNBBS sektor Lemong sendiri, sepanjang 25an km hanya berpapasan sekali dan 2 kali menyalip kendaraan lain; Mulai terasa linu di dengkul karena celana agak basah tersiram gerimis dari Bengkunat hingga Pura Melasti.

· Istirahat di Merpas 2 hari 3 malam sekalian meredakan linu di dengkul dan pinggang, baru sadar umur sudah mendekati separuh abad ; Sembari istirahat, jalan-jalan mencari lokasi bagus untuk foto sekalian mencari riding position yang enak di matik berjok kecil. Sebelumnya pakai matik ber-jok tambun sungguh enak, tak terasa jalan jauh. Sembari juga cari kebun yang mau dijual. Jalan-jalan ini total sekitar 55 kilometer; Pegal linu sudah tak terasa, terimakasih pada neoRhemacyl tablet dan cream; Terimakasih juga pada Habbatusauda yang menjaga agar tensi tidak melonjak akibat melahap daging kambing kurban.

Cerita Hari Pertama klik disini


· Etape 5, Merpas – Manna 104km. Jam 10.25 – 12.20
Sengaja berangkat agak siang dengan mensimulasikan bahwa baru tiba di Merpas malam sebelumnya dengan kemungkinan bangun kesiangan; Jalan mulus dan lebar, sedikit tikungan; Isi bensin full di SPBU Maje (Bintuhan 2), Pertamax Rp.42.000; Ambil foto di Kaur Tengah; Makan di simpang Rukis, Manna Rp.20.000; Ambil foto kota Manna.

· Etape 6, Manna – Tugu Rimau, Pagaralam 103km. Jam 13.15 – 14.25 dan 14.55 – 17.50
Isi bensin Pertamax Rp 33.000; Ketemu gereja di tepi jalan di pedesaan diluar kota Manna adalah suatu hal yang cukup aneh karena di jalur Manna-Pagaralam hampir tidak ada transmigran, bisa dikatakan semua adalah penduduk asli; Hampir sepanjang jalur ini bersisian dengan sungai/air Manna; 30 menit istirahat di air terjun Luguran yang sudah menjadi tujuan wisata bagi penduduk kota Manna, berada tepat disisi jalan Manna-PgA; Mendapat cerita memang ada penduduk asli beragama Protestan sejak 1965; Ngopi asli Rp4.000; Bertemu penggemar memancing, joran dan reel sudah cukup berkualitas, memancing di sebuah lubuk di aiie Manna di wilayah SumSel (Tanjung Sakti), ikan target: Hampala; Mendaki menuju ketinggian 1900 meter dpl; Ngopi sachetan dan snack Rp.6000 di tugu Rimau.

Cerita mengenai Manna-Pagaralam disini


· Istirahat mencari penginapan turun dari tugu Rimau jam 18.35; Ambil foto Pagaralam dari atas saat malam; Sebelum ke hotel, makan di Simpang Petani, RM Dua Putra, makanan enak dan ternyata orang Jawa tapi Jawa Lampung, Rp.16.000; Minimart aqua Asti; Dapat saran Mirasa Hotel, sedikit keluar dari kepadatan pasar arah ke Kepahyang. Hotel pelit, ngasih breakfast cuma setengah porsi dan kopi encer, tarif termurah Rp.130.000; Ada hotel lain yang lebih murah tapi kurang nyaman karena ditengah padatnya pasar; Villa di jalan menuju tugu Rimau paling murah 120ribu tapi penuh; Banyak hotel baru juga; Sarapan siang plus kopi kental di DuaPutra lagi, Rp.20.000; Ketemu becak motor Verza; Berbincang dengan staf media lokal, Pagaralam Pos tentang kotanya; Keliling kota, pabrik teh, titik loncat paralayang dan area pendaratan; Total jarak ditempuh dari tugu Rimau ke kompleks pemkot 14 km, keliling kota 34 km; Masih banyak kebun kopi ditengah areal perkotaan; Jam 11.25 baru start etape selanjutnya dari SPBU simpang Manna yang kebetulan pertamax-nya sedang habis.https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Pagar_Alam

· Etape 7, Pagaralam – Baturaja 170 km. Jam 11.25 – 14.30 dan 15.30 – 16.55
Seharusnya etape ini dibagi menjadi 2: Pagaralam – Semende DL dan Semende DL – Baturaja; Arah keluar kota menuju simpang Jarai, di papan petunjuk jalan tertulis arah Lahat atau Palembang; SPBU Lematang (Pagaralam 2) di jalan itu ternyata sama saja pertamax kosong dan premium antri panjaaang sama dengan di SPBU 1; Beli bensin eceran premium Rp.16.000 > 2 liter; Ambil foto di batas kota yang juga merupakan tempat kejadian perang mempertahankan kemerdekaan paling seru di SumSel; Masuk jalan pintas yang sempit di Simpang Jarai; Mulak Ulu; Semende Darat Laut; Warung Ponorogo hanya beli bensin eceran 1 liter Rp.10.000 bonus permen 6 buah; Ambil foto air terjun Tenang; Masuk ke lokasi wisata Curup Tenang Rp.15.000, Teh Botol es Rp.6.000; Simpang Meo; Beli bensin eceran lagi di Singapura Baturaja 1 liter Rp.8.000; SPBU Baturaja isi full pertamax Rp.34.000.


Cerita mengenai begal di Jalinsum klik ini


· Etape 8, Baturaja – Bandarjaya 214km. Jam 17.25 – 20.00 dan 7.10 – 9.10
Seharusnya ini dibagi 2 juga, Baturaja – Baradatu dan Baradatu – Bandarjaya;
Istirahat di pusat kota Baturaja, es kacang merah dan 2 pempek ada’an Rp.11.000; Tak berlama-lama di Baturaja karena balapan dengan waktu operasi begal; Maghrib di Martapura, labas; Minimart simpang Baradatu aqua Rp.2.000; Makan Rp.26.000 di Jalinsum semua lebih mahal dibanding Jalinbar; Tak berani terus karena sudah menjelang waktu begal beroperasi dan Nex meski paling kencang diantara matic 110 lain tetap bukan lawan MX, FU atau King tunggangan para kriminil; Cari penginapan di Baradatu jalan perlahan-lahan, tak ketemu karena mati listrik; Bukit Kemuning dapat hotel sederhana Rp.75.000; Hotel Murni ternyata lebih pelit dibanding Mirasa di Pagaralam, minta air panas segelas saja tak dikasih, sudah beli kopi sachet dan energen plus roti Rp.12.000. Ngopi subuh jalan kaki dulu ke pasar 400 meter Rp.3000; Lanjut perjalanan jam 7.10; Isi Bensin di SPBU Bukit Kemuning full tank premium Rp.24.000, duit menipis tak berani beli pertamax lagi; Aqua Rp.2000; Stop sebentar di Kotabumi; Tarik gas pol karena janji dengan sohib di Banjay jam 9; Finish etape 8 jam 9.10.

· Etape 9, Bandarjaya – rumah di Penengahan LamSel 131km atau jika ke Bakauheni 151 km.
Tempat rendevouz, parkiran Mesjid Agung Banjay ternyata panas tersorot mentari; Geser ke RM Minang Indah persis disebelah Utara Mesjid, sarapan siang, makanan enak tapi mahal Rp.36.000, halaaah anggaran cuma sisa Rp.64.000 plus recehan; Yang janjian tak menampakan batang hidungnya, dasar legislatif sering lupa dengan janji kampanye; Isi bensin full tank premium SPBU Natar Rp.24.000 (lupa tepatnya, nggak tercatat); Singgah di rumah saudara, istri lagi menginap di Bandarlampung; Karena sudah jadwal servis gratis, singgah di Suzuki Center, servis & ganti oli; Makan siang kesorean di kota Kalianda, mi pangsit plus teh botol Rp.20.000.

· Total 69 + 96 + 95 + 56 + 82 + 104 + 101 + 170 + 214 + 131 = 1118 kilometer
Pengeluaran lain-lain: Rp.18.000 x 6; Rp.35.000 celdal; Rp.67.000 gunting kuku, tissue basah, masker dlsb
kota Pagaralam, masih dipenuhi bangunan khas Sumatera Selatan


· Peta silahkan klik link ini: https://www.google.co.id/maps/ms?msi...76204,2.535095

Ditambah keliling kota Pagaralam dan mencari lokasi foto sekitar 100km. Perjalanan kali ini mencapai 1200 kilometer.

Cerita penuh disini

Pagaralam Solorun bagian keempat - habis



Istirahat,  

Satu Malam di Pagaralam

Kemungkinan waktu maghrib disitu adalah sekitar jam 18.30 WIB, sembari menunggu saya pesan kopi sachet-an. Tadi sore sudah menenggak kopi kental sehingga saya tak berani menambah kopi khas daerah pegunungan Sumatera lagi. Kuatir hipertensi menjelang dan stroke yang sempat saya alami beberapa tahun sebelum ini bakal menghantui perjalanan. Kemarin di Merpas sempat merasakan pening akibat menyantap sop kambing hasil pembagian kurban, berhasil saya redam dengan meminum habbatussauda kapsulan yang memang saya siapkan dari rumah. Seandainya jika tak juga hilang rasa pening akan saya telan juga simvastatin dan captopril yang juga siap di tas pinggang. Alhamdulillah dengan habbatussauda sudah cukup. 

Mengenai keindahan alam di Pagaralam, lihat sendiri deh, capek tangan mengetik. Tak akan cukup sepuluh halaman untuk mendeskripsikan keindahan Pagaralam dengan gunung Dempo-nya. Kamera secanggih apapun dengan keahlian memotret luar biasa juga tak mampu memberikan gambaran menyeluruh, apalagi saya yang newbie dibidang fotografi digital. 

Mengenai persenjataan, kamera prosumer saya anggap cukup mumpuni untuk sekedar mengabadikan dan menambah aksen fotografi. Apalagi jika hanya menggunakan sepeda motor, bakal direpotkan membawa DSLR murni atau mirrorless dengan berbagai lensanya, ditambah kekuatiran akan terjadi sesuatu jika jatuh karena harga lensa ada yang jauh lebih mahal dari kameranya.

Kecuali anda adalah fotografer profesional maka prosumer sudah lebih dari cukup. Bahkan DSLR antik Canon 450D yang sempat dimiliki sudah saya jual. Saya pilih Fuji HSX series karena diujung lensa tetap-nya masih bisa dipasangkan filter berukuran diameter 58mm, bisa CPL atau ND dlsb. Tak ada prosumer lain yang bisa seperti ini, aksen fotografi bisa dikreasikan dengan kamera tak terlalu mahal ini. Saya pilih tipe terendah karena menggunakan baterai AA yang mudah ditemukan jikalau lupa men-charge eneloop X. Sayangnya tak bisa menyimpan gambar dalam format RAW namun tak menjadi masalah mengingat saya juga tak pandai menggunakan software photoshop tetapi di tipe atas Fuji HSX bisa merekam dalam RAW.

nexie di kompleks pengolahan teh

 Setelah maghrib menyelimuti kawasan tugu Rimau di ketinggian gunung Dempo, suhu pun turun terus dan penjaga serta para pedagang disitu hendak menutup usaha mereka. Malam memang tak ada kegiatan disitu, bisa saja menginap di Mushalla asal kita bersih dan menghormati rumah Allah itu. Selesai shalat saya menuruni gunung hingga ketinggian cukup guna mengambil gambar lampu-lampu kota. Dari ketinggian dan jarak yang jauh, lampu itu terlihat buram disebabkan kabut tipis yang entah gejala alam musim kemarau atau kabut asap kiriman dari dataran rendah, yang pasti Palembang disaat yang sama sedang diselimuti kabut asap tebal menebal efek dari kebakaran hutan.

Selesai mengambil foto, saya hampiri sebuah villa yang tak jauh dari lokasi memotret tadi. Tanya-tanya harga mencari info yang mungkin berguna suatu saat kelak. Villa berbentuk sebuah kamar saja dihargai Rp.150ribu permalam dan itu yang termurah, di kompleks villa sebelahnya Rp.120ribu namun sedang penuh dan ada acara. Saya coba tawar Rp.100ribu karena saat itu bukan penghujung minggu dan sepi dan tidak diperbolehkan. Sebenarnya saya tidak berminat bermalam di villa karena saya belum lagi melihat kota Pagaralam. Belum mencari kuliner setempat sebagai sisipan kegiatan.  

Akhirnya memasuki pusat kota Pagaralam, masih cukup ramai di malam yang masih sangat muda itu. Putar-putar sempat tersasar karena ada jembatan yang ditutup sedang diperbaiki, diputuskan mengikuti jalan utama saja. Melewati pasar utama kemudian jalanan mengecil, dari dua lajur dengan median taman menjadi satu jalur saja. Kebetulan ada sebuah minimart diujung jalan itu, seketika saya arahkan nexie ke parkiran. Persis disebelahnya ada sebuah rumah makan, RM Dua Putra. Meski saya mencari sop atau makanan hangat tapi tak ada salahnya mencoba makan disitu karena saya lihat cukup bersih dan rapih.

Dari keterangan ibu rumah makan yang ternyata dari Jawa, jawa Lampung tapi, lokasi disekitar itu disebut Simpang Petani atau juga alun-alun karena diseberangnya memang ada sebentuk taman besar seperti alun-alun hanya saja di pemukiman di Sumatera sebenarnya tidak dikenal istilah alun-alun. Pagaralam banyak dihuni pemukim asal Jawa Tengah dan Timur bahkan di pegunungan dan perkebunan teh lebih dari 90 persen orang Jawa. Pantas dari tadi di Rimau dan di villa semua mengaku orang Jawa.

Selesai makan baru saya berbelanja ke minimart yang kasirnya seorang gadis cantik bernama Asmi. *inilah mengapa di awal sekali saya sebutkan menulis adalah pekerjaan yang lebih mengerikan dibanding mengendarai motor. Kalau sampai dibaca istri... lebih parah akibatnya dibanding terserempet bus ALS. Dan saya tak berani menuliskan lebih lanjut tentang Asmi ini...

Sesuai petunjuk Asti, saya menuju hotel Mirasa atau hotel satunya lagi tak jauh dari Mirasa. Tak jadi ke hotel Telaga Biru yang mungkin lebih murah tapi lokasinya di tengah pasar dan kemungkinan kamarnya kecil-kecil. Untuk melepas kepenatan diatas jok nexie yang kecil, saya perlu tempat yang cukup nyaman. Kedua hotel ini terletak di arah menuju Kepahyang atau lurus saja dari Simpang Petani itu. Karena Mirasa yang pertama kali saya lewati dan terlihat cukup asri, seperti bungalow maka saya putuskan untuk menginap disitu saja.

Mandi adalah kegiatan yang pertama saya lakukan di hotel, tak peduli betapa dinginnya air disitu. Kemudian beristirahat dan mencoba membuka facebook di bb. Sepanjang jalan dari Merpas hingga tugu Rimau sulit sekali membuka halaman fb karena minim sinyal 3G dan saya hanya berlangganan paket bb dasar saja. Tapi notifikasinya terus masuk. Ada sebuah notifikasi dari rekan pengelola kegiatan wisata arung jeram di Pagaralam dan dari tadi saya penasaran untuk melihatnya. Oh oh ternyata dia mengundang di kompleks villa di sebelah tempat saya mencari info. Villa yang penuh dan ada acara tadi. Karena badan sudah cukup lelah, serta belum hapal jalan disini, akibat berputar-putar tersesat, saya hanya ingat jalan menuju villa itu cukup jauh memutar ke simpang Manna dulu.
 
rumah Bari
Keesokan harinya pagi-pagi sekali saya bersiap melanjutkan perjalanan. Etape berikut adalah etape panjang dan perjalanan per hari juga sangat panjang, melebihi bagian perjalanan Hari Pertama. Sayangnya hotel Mirasa ternyata cukup pelit dengan menyediakan sarapan terlalu sedikit porsinya buat pejalan (traveller) yang menggunakan sepedamotor. Hanya setengah porsi nasi goreng dibanding hotel-hotel lain, bahkan yang lebih murah tarifnya. Dan segelas plastik kopi encer.

Mungkin sebaiknya justru tidak menyediakan sarapan sekalian. Tapi mengingat Mirasa juga sebuah restoran, seharusnya mereka memberikan sarapan dengan ekstra baik agar citra restorannya ikut terangkat, kemudian dilain waktu sang traveller akan mencoba makan di restoran Mirasa atau merekomendasikan pada rekan atau menuliskan dengan baik. *Untuk tulisan dalam versi bahasa Inggris yang akan dikirimkan ke lonely planet, bagian ini akan saya tiadakan.  Yang lebih menyedihkan adalah kopi yang disediakan dalam gelas plastik, apakah gelas beling terlalu mahal di Pagaralam, entahlah... Gelas plastik ketika dicuci dengan sabun colek akan menyimpan bau sabun dan bagi penikmat kopi bau sabun itu sangat mengganggu.
 
saya di depan Mirasa
Jam 8 pagi saya telah bersiap melanjutkan perjalanan. Semua peralatan lenong telah naik diatas motor. Dan lanjut jalan dengan tujuan pertama adalah menambah sarapan di rumah makan diluar. Dan RM Dua Putra kembali menjadi pilihan karena inilah yang pertama saya temukan. Sebetulnya ingin juga mencoba warung kecil penjual sarapan seperti bubur ayam, lontong sayur atau nasi uduk jika ada. Hanya saja karena ingin bersegera saya kembali makan di tempat semalam, rasanya cocok dan murah tidak sebanding dengan tempatnya yang cukup mewah. Kebetulan saya juga ingin membeli masker di minimart. Perjalanan hari itu akan melalui kota-kota yang biasanya berdebu, bahkan jika tidak memintas jalan akan melalui jalur perlintasan truk-truk batubara, sedetik saja berada di belakang truk batubara maka dijamin semua bagian wajah menghitam hingga kedalam lobang hidung. *kasir minimart pagi itu ternyata masih gadis cantik semalam.

Selesai makan saya putuskan untuk kembali melihat-lihat kota. Kali ini tidak tersesat karena hari terang membuat mudah menerka jalan. Saya menemukan sebuah Rumah Bari di desa PagarJaya. Rumah ini merupakan bentuk rumah adat khas dataran tinggi Pasemah serta paling asli menurut keterangan dari pemiliknya, bang Yunus. Bentuk atapnya mirip rumah gonjong minang hanya gonjongnya lebih tegak sedikit.

Dilanjut menuju pabrik pengolahan teh milik PTPN 7. Kemudian mendaki memutar melewati jalan semalam ketika turun dari Rimau. Dan tembus kembali di Gunung Gare. Melirik jam, ternyata sudah cukup siang. Sikap tidak disiplin saya ini berbahaya bagi perjalanan karena di etape 8 menanti sebuah jalur yang rawan begal. Jika saja saya mengendarai motor yang lebih kencang atau dengan rombongan lebih dari 3-4 orang tak akan menjadi masalah.

Segera saya menuju SPBU di dekat simpang Manna, simpang ini disebut demikian karena salah satu jalannya menuju kota Manna sekian puluh kilometer dibawah sana. Ternyata pertamax disini habis diakibatkan premium sudah habis juga dari kemarin. Sedikit menyesal seharusnya saya isi dari kemarin malam. Antrian kendaraan mengular menunggu premium yang sedang dicurah. Tak mungkin menunggu, saya lanjut saja Etape 7 dari SPBU itu tanpa mengisi, menurut petugasnya di depan arah ke Lahat masih ada SPBU tidak terlalu jauh.

rumah-rumah di Pagaralam


HARI KETIGA

Etape 7, Pagaralam – Baturaja 170 km; Jam 11.25 – 14.30 dan 15.30 – 16.55

Seharusnya etape ini dibagi menjadi dua bagian; Pagaralam – Semende Darat Laut dan Semende DL – Baturaja. Tapi karena saya tak tahu ada apa di Semende maka saya jadikan satu saja. Sama sekali saya lupa sebagian besar apa yang ada disepanjang jalan ini, lebih dari 10 tahun lalu pertama dan terakhir melalui jalan pintas Pagaralam – Baturaja ini. Yang teringat hanyalah air terjun mendekati penghujung jalan pintas, kemungkinan termasuk wilayah simpang Meo. 

Saya sempatkan berfoto di perbatasan kota Pagaralam arah Lahat yang juga tempat bersejarah sebagai medan pertempuran antara pasukan republik dengan agresor Belanda. Kontur alam disitu memang sangat cocok untuk menyergap pasukan agresor yang jauh lebih baik persenjataannya. Kakek almarhum pernah ikut bertempur disitu seperti diceritakan ayah.

Dan setelah kecewa karena pertamax juga habis di SPBU Pagaralam yang kedua serta antrian premium demikian panjang. Saya beli eceran Pertamini 2 liter Rp.16.000 dan berharap cukup hingga tiba di Jalinsum (tengah) nanti. Dan tak lama saya menemukan kembali jalan mirip di perbatasan kota tadi. Serta menemukan relief penyambutan, nampaknya batas kota telah digeser hingga di jembatan dekat persimpangan ke Baturaja.

Kemudian tibalah di simpang Tebat (kalau tidak salah, CMIIW) dan saya berbelok ke kanan memasuki jalan yang jauh lebih kecil dibanding jalan Pagaralam – Lahat. Ada papan petunjuk bahwa jalan yang saya pilih adalah arah Baturaja. Dan terus saja saya ikuti jalan yang masih berada di wilayah kabupaten Lahat. Ternyata ada sebuah desa bernama Kota Agung disitu. Setelah melalui perkebunan tanpa pemukiman beberapa kilometer tibalah di kecamatan Semende Darat Laut. Sepertinya ada perubahan, seingat saya dulu hanya bernama Semendo dan kini ada tambahan Darat Laut, mungkin ini kecamatan pemekaran. 

Perjalanan yang saya kira dekat saja, bisa tembus dalam 1 jam ke simpangMeo, ternyata cukup jauh. Setelah memasuki ibukota kecamatan Semende saya lihat ada papan petunjuk jalan mengarah kepada dua buah lagi kecamatan yang membawa nama Semende, artinya ada 3 atau bahkan 4 kecamatan Semende kini, sebentar lagi jadi kabupaten pasti. Suku Semende ini suka mengembara, menghuni bukit-bukit yang tidak ditempati suku-suku asli lain. 
pemandangan disekitar perbatasan MuaraEnim dengan Lahat

Di propinsi Lampung banyak sekali perkampungan orang Semende, yang cukup terkenal dan telah menjadi kota kecil adalah Bukit Kemuning. Bahkan hingga ke ujung Selatan Lampung, di dekat rumah saya menjelang Bakauheni ada desa yang dihuni oleh suku Semende. Di Bengkulu juga banyak sekali, apalagi di wilayah kabupaten Kaur yang berbatasan dengan wilayah suku Semende yang termasuk di Kabupaten OKU Selatan. Andai semua entitas suku Semende pulang ke wilayah asalnya maka Semende bisa jadi lebih besar dari kabupaten induknya, Muara Enim. 

Saya sengaja melewati pasar Semende tanpa istirahat, dari perbatasan Pagaralam tadi hanya berhenti untuk ambil beberapa foto saja tanpa minum apapun. Mungkin cukup lama juga saya berhenti memotret, bahkan sempat memasuki kebun yang mirip dengan tebing kraton yang sedang tren di Bandung, tepatnya di perbatasan kabupaten Lahat dengan Muara Enim. Yang saya incar guna beristirahat adalah air terjun. Jam sudah menunjukan pukul 13.45 di pasar Semende.

Ternyata setelah menikung ratusan kali menempuh belasan kilometer dari pasar Semende, tak jua sampai di penampakan air terjun yang saya lihat dulu, saat melirik ke fuel meter ternyata merunduk ke E. Segera isikan 1 liter begitu menemukan sebuah kios bensin. Ternyata kios itu juga sebuah warung makan dengan judul Ponorogo. Saya coba melihat kedalam tapi tidak tertarik untuk makan disitu, suram apalagi masih full perut inisetelah sarapan setengah porsi dan sarapan siang sebagai tambahan. Ternyata bensin eceran disitu bernilai Rp.10.000 dengan bonus 4 buah permen, uang 20ribuan dikembalikan 10ribu dengan 4 buah permen. 

Setelah beberapa kilometer kemudian nampak sebuah jurang tinggi yang jelas terlihat dasarnya adalah sebuah lembah permai. Sekalian berisitirahat sejenak akibat terlalu lelah menikung dengan gaya pembalap road race. Entah berapa ratus bahkan ribu tikungan sejak dari Pagaralam tadi memacu nexie di kecepatan maksimal yang aman, demi membelah pegunungan dan perbukitan Sumatera Selatan secepat mungkin. Diatas lembah saya ambil foto, tidak terlalu bagus jika nampak difoto meski dengan sudut terlebar. Sesaat kemudian saya lanjutkan mengejar point of interest yang telah ditetapkan sebelum perjalanan dimulai. Tidak sampai satu kilometer rasanya, seketika nampak dikejauhan, di dinding lembah yang berhadapan, sebuah air terjun ganda. Ternyata di lembah ini letaknya. Saya berhenti lagi untuk memotret sekalian melihat situasi jalan menuju air terjun itu. Saya tidak sempat melihat jam, tapi dari exif kamera terlihat saat itu jam 14.15. Hanya merasakan saat itu telah demikian sore. 

Nampaknya ada jalan dibawah, karena jalan ini terus menurun. Benar saja tak jauh dari tempat memotret tadi, ada sebuah jembatan dan diseberangnya terdapat persimpangan. Sebuah papan petunjuk menuliskan “Air Terjun Curup Tenang > 1km”. Langsung saja belok masuk persimpangan itu. Loh... ternyata desa itu bernama Indramayu, kecamatan Bedegung kabupaten Muara Enim.
Air terjun ini sudah menjadi obyek wisata yang cukup baik. Berbagai fasilitas tersedia cukup lengkap, bahkan beberapa kolam pemancingan juga ada. Sayangnya tarif masuk yang dikenakan cukup tinggi, Rp.5000 untuk orang dan Rp.10.000 untuk motor. Parkir motor yang aman adalah didepan di dekat pos penjagaan, meski sebenarnya bisa menggunakan motor lebih mendekati tapi menurut penjaganya, parkiran di dalam tak ada yang memperhatikan apalagi motor saya ada tas samping yang tak saya lepaskan disitu.
 
Air Terjun Curup Tenang di Bedegung
Rencananya istirahat malah jadi berolahraga. Air terjun harus dihampiri dengan berjalan kaki lumayan jauh. Terpaksa jaket yang masih terpakai saya lepaskan karena cucuran keringat. Sesampainya di warung terdekat dengan air terjun saya memesan teh dalam kemasan dengan es. Selesai mengambil beberapa foto, karena saya tak pandai menjalankan photoshop maka harus ambil gambar dengan berbagai setting-an serta kemudian memilih hasil terbaik. 

Hampir satu jam di air terjun Curup Tenang, curup berarti air terjun dalam bahasa setempat, mirip sebutan di JawaBarat: curug. Jam terus berdetak padahal saya harus segera melintasi daerah yang terkenal rawan begal dalam perjalanan hari ini. Kemungkinan bisa menembus hingga Bandarjaya sebelum terlalu malam masih ada. Tapi semua asumsi hanya berdasar ingatan yang sudah banyak terkikis selama belasan tahun.

Tanpa membuang waktu lagi saya lajukan nexie hingga dalam beberapa menit telah melampaui simpang Meo. Ingatan memang tak selamanya benar, saya mengira cukup beberapa menit saja dari simpang Meo ke Baturaja. Hampir 1 jam menaklukan Jalinsum yang lebar untuk mencapai jarak 56km. Sempat pula terpaksa menambah bensin eceran lagi di Singapura, sebuah nama desa yang unik. Sayangnya karena terburu-buru tak sempat memotret plang di depan kantor desa itu.
Jalanan menuju Baturaja mengikuti alur sungai yang dipenuhi riam kecil dan ringan. Sepanjang sungai banyak sekali yang sedang bermain air, bukan mandi. Mereka menggunakan ban dalam bekas traktor selebar 1,5 meter lebih bermain arung jeram. Seru juga seandainya punya waktu lebih mencicipi berenang di sungai yang terlihat masih bening. Akhirnya menemukan SPBU lagi dan pertamax disediakan disini. Saya isikan tangki nexie penuh-penuh.

Baru menjelang pukul 17 saya tiba di pasar Baturaja. Saya tidak memilih jalan by pass karena ingin melihat pusat kota, mencari jajanan yang jarang ditemui atau jika ada, jajanan khas. Masih belum terasa lapar tapi memang perut perlu diisi makanan sedikit. Ketika melintas di depan sebuah hotel, terlihat warung pempek dan es kacang. Segera saya hentikan nexie. Dan berakhirlah etape 7 tepat jam 16.55 disitu.


Etape 8, Baturaja – Bandarjaya 214km; Jam 17.25 – 20.00 dan 7.10 – 9.10

Seharusnya ini dibagi 2 juga, Baturaja – Baradatu dan Baradatu – Bandarjaya.
Istirahat di pusat kota Baturaja, saya pesan es kacang merah dan 2 pempek ada’an. Es-nya enak, kacangnya al dente, tidak terlalu lembut tapi juga tidak keras dan saya minta ditambahkan tape singkong. Ada’an adalah salah satu jenis pempek, bentuknya bulat seperti baso dan di warung itu rasanya cukup enak. Selesai membayar Rp.11.000 untuk es dan 2 bulatan adaan, tanpa buang waktu saya lanjutkan perjalanan etape 8. Saya sadar bahwa kecil kemungkinan bisa menembus hingga Bandarjaya dibawah jam 8 malam.

Setidaknya bisa mencapai Baradatu atau Bukit Kemuning adalah target maksimal. Saat keluar dari batas kota Baturaja sudah menunjukan jam 17.35. Dan pas adzan Maghrib sedang melintas di Martapura. Nexie terus saja saya pacu bak kesetanan, hingga ada pengendara motor laki tipe racing yang mengira saya ingin mengajaknya balapan. Tentu saja di bagian jalan yang lurus dengan mudah ia melewati saya. Tapi saat stuck di belakang truk atau bus saya salip lagi, juga ketika ia mengendurkan gas di tikungan langsung bisa tertempel kadang tersalip. 

Sebetulnya bukan ingin membalap tapi memanfaatkan sisa-sisa cahaya matahari agar mencapai jarak sejauh mungkin. Bila hari telah gelap, mata saya sulit melihat dengan baik karena lampu standar terbilang redup. Kemudian pandangan juga terbatas pada area yang tersorot lampu. Padahal saya biasa memandang luas jalan di depan hingga bahu dan jejeran bangunan. Segala hal saya antisipasi, misal seorang anak tergesa keluar dari rumah di jarak 100 meter ke depan sudah menjadi peringatan bagi saya.  

malam di jalinsum
Akhirnya gelap tak dapat ditolak, beberapa belas kilometer dari perbatasan SumSel – Lampung suasana sekitar sudah membiru tua sangat. Tak jauh dari Martapura adalah perbatasan kedua propinsi. Kini saya telah memasuki Lampung lagi. Tapi wilayah kabupaten Way Kanan itu juga bukan daerah aman bagi motor sendirian. Jam sekitar Maghrib juga waktu favorit para kriminil ini beraksi. Modal yakin saja, saya lanjutkan perjalanan karena antara Martapura hingga menjelang Baradatu nanti terbilang daerah yang kosong tanpa pemukiman di sisinya, sebuah daerah yang tepat untuk membegal. Meski mata hampir tak melihat apapun selain bagian yang tersorot lampu, gas nexie masih saya tahan tinggi tapi tidak mentok. Sengaja saya sisakan gas jika ada penampakan mencurigakan di spion bisa saya hentak gas sembari melakukan gerakan preventif. 

Dan tiba-tiba ada sebuah lampu motor nampak di spion, semakin mendekat dan semakin dekat. Dada bergemuruh tak tentu, tangan bergetar dan terasa dingin, disusul sebuah lampu lagi. Pastilah ini mereka, sang penguasa jalan, pikir saya. Tak terasa gas semakin saya tarik. Beberapa kali terantuk gelombang dan lobang kecil jalanan membuat badan terbanting tapi stang saya pegang dengan erat, sempat geal-geol juga karena gelombang berikut lobang berturutan dilindas roda-roda nexie. 

Tapi nampaknya itu lampu dari motor sport yang semakin dekat di bagian jalan lurus dan terlihat menjauh saat memasuki tikungan. “begal pemula nih, nggak berani nikung cepat” pikir saya. Harus memanfaatkan advantage tikungan. Jika nanti di depan tikungan ada sebuah rumah, atau bangunan apapun yang nampak berpenghuni harus segera saya masuki, berpura-pura sudah sampai di tujuan.
Tapi sisi jalan senantiasa kosong, kalaupun ada rumah tapi gelap tak berlampu. Jantung saya sudah berdegup kencang, terpikir untuk menyerah saja, yang penting hidup. Dan ketika jalan lurus cukup panjang, motor itu telah berada di samping. Saya hentak gas sekaligus dan sempat melaju lebih 1 ban tapi motor sport full fairing bermesin tanggung keluaran terbaru dari pabrik berlogo sayap tentu bukan tandingan buat nex. 

Biasanya begal mensejajarkan kemudian pemboncengnya mencabut senjata api menodong memaksa kita berhenti. Atau jika ternyata mereka bukan pemilik senjata api, bisa lebih parah karena main sabet tongkat/rante/golok agar korban terjatuh. Salah satu kiat menolak bala adalah usahakan tetap berkecapatan tinggi, mereka juga tidak terlalu tolol untuk menyabet dalam kecepatan tinggi karena jika terjatuh, motor buruan mereka juga bubar berantakan. Aneh motor ini malah menyalip saja dan sendirian pula malah kasih klakson...

O... oh ternyata itu motor yang tadi merasa balapan dengan saya dari Martapura. Legaaaaa rasanya. Dan sebagai solidaritas, saya ikuti dia tanpa saya coba susul lagi. Akhirnya malah menjadi teman seperjalanan. Wah jika berdua begini saya berani langsung ke Bandarjaya, tapi melihat setelan pakaian pengendara CBR dia adalah orang dekat, mungkin hanya sampai Baradatu. 

Karena itu, saat didepan terlihat neonsign sebuah minmart saya salip dia dan kasih kode mengajak dia mampir. Kami sudah berjalan tak terlalu kencang lagi sejak insiden klakson tadi. Nampaknya ia mengangguk. Dan segera nexie saya arahkan ke minimart. Saat memarkirkan motor saya lihat, pengendara CBR tidak ke minimart tapi ke rumah disebelahnya. Tak lama dia keluar dengan masih memakai jaketnya. 

“Mau kemana, bang?” ujarnya sembari terus mendekat memperhatikan nexie;
belum sempat saya jawab, ia melanjutkan “waah... saya kira ini ep-yu lho, bang!” nampak wajahnya sedikit keheranan. Saya tentu saja angkat kerah sembari menegakkan badan *becanda lho, sebenarnya saya tersipu malu karena sempat mengira orang yang ternyata ramah ini adalah begal.

“Mau pulang ke Bakau. Ya ini ef-yu matik” ujar saya sambil tersenyum menjawab sekaligus.

“ke Bakauheni, bang?? Wah masih jauh banget itu”, “kurang aman jalan di depan, lebih baik menginap saja dulu bang” lanjutnya. “Atau menginap di rumah saya tapi di Martapura, kita balik lagi nanti jam 9an”.

“waduh, terimakasih banyak, memang lagi cari penginapan kok ini tapi ya nggak usah pake balik lagi, disini ada kan, hotel”, “tadinya saya kira mau ke Bandarlampung, mungkin bisa barengan kita” saya menyaut serta lanjut menceritakan bahwa sempat mengira ia begal tadi, makanya tancap gas. Sekalian menerangkan bukan mengajak balapan. Ia memaklumi dan menebak juga bahwa saya pasti mengira dirinya begal.

Lantas ia menceritakan sedang ada urusan disitu, nampaknya ngapel karena tak lama seorang gadis manis muncul dari sebelah dan mengatakan kopinya sudah siap. Ia pun mengajak saya masuk ke sebelah untuk minum kopi. Sebetulnya saya lapar, belum makan sejak sarapan siang tadi tapi demi menghormati saya ikut juga. Sembari jalan ia mengenalkan diri, Iman demikian pula saya menyebutkan nama. 

Sambil minum kopi, Iman berulang-ulang menyatakan kekagumannya dengan si FU matik. Iman juga menyatakan bahwa ia berasal tidak jauh dari Bakauheni, tepatnya di Palas Sukamulya. Wah ini namanya ketemu orang sekampung. Palas tidak jauh dari rumah saya dan saya tahu bahwa Sukamulya dihuni oleh pemukim asal Tasikmalaya. Langsung saja saya praktekan bahasa sunda. Obrolan menjadi semakin akrab. Dan Iman semakin kaget mengetahui saya baru saja dari Pagaralam dan semakin kaget mengetahui bahwa melalui Bengkulu untuk ke Pagaralam dan baru pulang via Jalinsum, “wanian euy si akang teh, meuni sorangan deui” begitu kira-kira ungkapannya.

Tak terasa sudah jam 19.30, saya segera pamit untuk meneruskan perjalanan. Iman berkeras mengajak menginap di Martapura, sebenarnya di jalan antara Martapura dengan Baturaja. Terlalu jauh jika musti balik lagi kesana. Dan ternyata juga, Iman adalah karyawan RM Siang Malam yang kini ditempatkan di cabang Baturaja. Sebelumnya memulai sebagai asistant of chef di Siang Malam didekat rumah kami. Dunia tak selebar daun kelor tapi daun kelor bisa selebar dunia juga...

Dan saya lanjut menarik gas dengan pesan agar berhati-hati, berulang-ulang dari Iman dan tunangannya. Saya menyadari tidak mungkin juga untuk terus-terusan membiarkan jantung berdetak kencang mengira-ngira begal. Kalaupun selamat dari tindak kriminil, bisa jadi stroke saya kambuh di Bandarjaya.

Baradatu ternyata sedang dilanda pemadaman listrik bergilir, pantas gelap semua dari tadi. Karena gelap pula beberapa penginapan di Baradatu tak terlihat oleh mata rabun ini. Akhirnya saya terus saja hingga Bukit Kemuning. Ada penginapan juga disitu, pasti. Bukit Kemuning jauh lebih besar dari Baradatu, kota persimpangan dan tempat istirahat kendaraan umum sejak jaman dahulu kala. Hanya dibutuhkan waktu kurang lebih 30 menit dari Baradatu untuk tiba di Bukit. 

Sekitar jam 20.00 saya masuk penginapan Murni, ditengah keramaian pasar Bukit Kemuning sebelum pertigaan besar dari arah Utara. Mengambil kamar seharga Rp.75.000,- . Saya memesan kopi dan menanyakan makanan, ternyata tidak bisa memesan apapun di penginapan itu. Sekedar air panas segelas juga tak bisa padahal saya punya kopi dan energen sachet. Terpaksalah saya keluar mencari makanan di warung seberang. Setelah kembali ke hotel, saya mandi dimana ruang mandi berada diluar kamar, tepatnya satu di lantai bawah kamar. 

Selesai mandi saya cek sosmed di internet melalui smartphone, kemudian terlelap. Subuh saya terbangun, kamar hotel ditengah pasar ini kecil sekali, tak memungkinkan menggelar sajadah. Segera saya keluar mencari kopi dan sayangnya penjual kopi cukup jauh di bagian lain pasar. Dan kebetulan melalui sebuah Mesjid maka saya sempatkan Subuh-an.

Sembari ngupi saya unggah ke sosmed foto suasana subuh di Bukit Kemuning. Sekembali dari warung kopi, saya bersiap, mandi. Kemudian melanjutkan perjalanan.  Jam 7.10 pagi start dari hotel Murni yang pelit itu. Andai tak kuatir begal, andai berombongan dengan 1-2 orang lagi saya yakin tadi malam pasti lanjut. Dan menjelang subuh kemungkinan besar bisa sampai kembali di rumah di Bakauheni. 
subuh di Bukit Kemuning

Hal penting dalam melintasi daerah rawan begal adalah bergerak secepat mungkin seperti saya sebut diatas. Dan atur rombongan untuk selalu berjarak rapat. Motor dengan pengendara paling besar tubuhnya atau paling berani berada paling belakang. Nomor dua dari belakang adalah motor dengan pengendara paling cepat. Jarak antar motor jangan lebih dari 10 meter, hal ini diperlukan latihan untuk menjaga jarak dalam kecepatan tinggi. Pengertian antar pengendara juga perlu dibahas sebelumnya agar semakin saling memaklumi. Jika membawa tripod lebih baik lagi diikat di tubuh sebagai penghalang sabetan senjata begal. Memungut bambu atau kayu sebelum melintas serta membawanya dengan diikat diselempangkan juga tindakan yang tidak buruk. 

Perkiraan saya bisa tembus dalam 2 jam hingga Bandarjaya dari Bukit Kemuning. Dan dari Bandarjaya sekitar 3-4 jam sampai Bakauheni. Perkiraan ini ditunjang dengan mulus dan lebarnya Jalinsum. Tak meleset perhitungan jam 9 sudah melewati Jembatan Terbanggi Besar. Dan saya sudah berjanji akan bertemu dengan sahabat yang saya kenal melalui sebuah forum bersepedamotor di Bandarjaya sekitar jam 9 pagi ini.

Jam 9.10 saya menamatkan etape ini didepan Mesjid Agung Bandarjaya. Karena parkiran motor di depan Mesjid terasa terik tersorot matahari dan sangat kebetulan saya juga belum sarapan kecuali beberapa potong roti saat ngopi subuh tadi, saya geser ke RM Minang Indah. Seingat saya baru kedua kali nya saya makan di restoran Padang dalam perjalanan kali ini, setelah pertama di Krui. 

Lebih dari 1 jam saya menunggu sohib yang berjanji menemui di Mesjid Agung Bandarjaya. Tapi bulu hidungnya satupun tidak terbawa angin ke lokasi rendevouz, apalagi batang hidungnya ternampak...


Etape 9, Bandarjaya – rumah di Penengahan LamSel 131km atau jika ke Bakauheni 151 km.

Tak banyak yang bisa saya tulis di etape ini karena sudah tidak mencatat apapun lagi. Bahkan saat mengisi kembali bensin saya lupa dimana dan berapa. Ini sudah etape euforia bakal sampai dalam hitungan jam. Beberapa kilometer lagi sudah memasuki kabupaten tempat saya tinggal meski dari batas kabupaten masih 90an kilometer baru tiba di rumah. Yang tercatat hanyalah jam keberangkatan dari Bandarjaya, 10.35 pagi.

Etape ini saya cukup menceritakan mengenai daerah Bandarjaya yang menjadi besar karena merupakan tempat istirahat berbagai angkutan umum. Bukit Kemuning masih terhitung rawan sehingga kendaraan besar pengangkut barang hanya sekedar berhenti makan atau minum kopi saja karena disitu juga pusat perkulakan kopi terbesar di Lampung. Sementara di Bandarjaya kendaraan bisa istirahat dan parkir bermalam tanpa gangguan. Dua Jalan Lintas Sumatera masih melalui Bandarjaya, Jalinsum dan Jalintim. Jalinbar masih sepi dari truk karena beberapa tanjakan/turunannya terkenal ekstrim. Meski ke Bengkulu atau Padang jauh lebih dekat melalui Jalinbar, truk bermuatan penuh berlebih akan tetap memilih Jalinsum menuju kedua ibukota Propinsi itu.

Setelah Bandarjaya adalah GunungSugih yang merupakan ibukota kabupaten Lampung Tengah, hanya sebuah desa yang mendadak jadi kota beberapa belas tahun lalu karena menjadi lokasi perkantoran pemkab. Awalnya pusat pemerintahan LamTeng adalah di Kota Metro, sejak ditetapkan sebagai Kotapraja dengan Walikota dan administrasi sendiri, ibukota digeser ke GunungSugih. Metro tidak terletak di Jalan Lintas yang manapun, kota ini merupakan pusat pemukiman transmigran kedua setelah Gedong Tataan re: Pringsewu. Tapi karena datarannya lebih luas dan rata, lebih banyak transmigran yang dikirimkan kesitu. Seperti juga di Pringsewu, di kota ini seperti berada di Jawa saja, bedanya dengan Pringsewu, masih banyak orang asli Lampung Tengah bertempat tinggal disini mengingat dahulu adalah pusat pemeritahan kabupaten.

Saya hanya melewati persimpangan menuju Metro dan tidak masuk kedalam kota yang berjarak sekitar 30km dari Jalinsum. Persimpangan menuju Metro sudah terletak di kab Pesawaran yang beberapa tahun lalu masih Lampung Selatan. Tak jauh dari situ sudah memasuki Lampung Selatan kembali, tandanya adalah Pelud Radin Inten II di Branti. Melewati Natar dan terus memasuki wilayah ibukota propinsi Lampung, Bandarlampung. 

Saya sempat melihat odometer yang menunjukan angka 5600 km lebih, sudah waktunya melakukan perawatan buat si nexie. Jadwal servis gratis yang ketiga terlampaui, daripada saya pulang dan kembali ke Bandarlampung esoknya, saya arahkan nexie menuju pusat pelayanan Suzuki. Salah satu yang saya sesalkan adalah Suzuki menutup pusat pelayanannya di Kalianda, kota kabupaten di dekat rumah saya.
@ Suzuki Centre, Bandarlampung

Setelah singgah di rumah keluarga dari istri, tempat istri menginap selama saya tinggal ke Pagaralam, nexie saya arahkan menuju Bakauheni. Sementara istri dan anak serta supir yang sudah diminta untuk menjemput dengan R4 menyusul dibelakang. Saya sempatkan makan mi sebagai makan siang yang kesorean di kota Kalianda. Mie pangsit Ade Wongso ini saya rasakan sebagai mie yang paling enak dan pas dengan anggaran yang memang sudah tipis, kalau tidak salah tersisa Rp.20.000 sesampainya di rumah. Artinya saya tidak sampai mengganggu duit SHU yang saya ambil dari PLS, Merpas.

_________________________________


 
* Sekedar mengingatkan, Jalinsum = Jalan Lintas Sumatera adalah jalan yang pertama ada  melintasi Sumatera dari Lampung (Bakauheni) hingga Banda Aceh, biasa juga disebut Jalinteng.

Jalinbar = Jalan Lintas Barat, hitungannya berawal dari Bandarlampung ke arah KotaAgung dan terus hingga bertemu Jalinsum di Padang Panjang, Sumbar.

Jalintim = Jalan Lintas Timur berawal dari Terbanggi, Bandarjaya hingga Medan, Jalinpantim  Lampung adalah sambungan Jalintim dari Bakauheni hingga bertemu Jalintim di Menggala.


Demikian catatan perjalanan ini, semoga bisa sedikit membantu bagi yang merencanakan berpetualang 3-4 hari di Sumatera. 


Bagi yang dari Palembang saya menyarankan rute: Palembang-Baturaja-Muaradua-Liwa-Krui-Merpas, 450an km dan kembali melalui rute Merpas-Manna-Pagaralam-Lahat-Palembang dengan jarak yang hampir sama 450an kilometer juga. Seperti tertera di Peta Rute> Palembang-Muaradua-PLS-Pagaralam-Palembang
 
Sampai jumpa di perjalanan yang akan datang...

Ringkasan di link ini (klik disini)