Sabtu, 06 Agustus 2016

Sekilas Catatan Tentang Terbentuknya Propinsi Lampung (1857 -1967)

Diposting dan disalin sesuai dengan aslinya dari: Naskah Sejarah Daerah Lampung Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun anggaran 1977/1978


Masa Kolonial Hindia Belanda

Memasuki abad ke-20 dapat dikatakan tidak ada lagi wilayah di Lampung yang bebas dari kekuasaan Belanda. Sejak gugurnya Radin Inten II (5 oktober 1856), berakhir pulalah perlawanan rakyat Lampung. Perlawanan yang timbul kemudian dapat dikatakan tidak berarti sama sekali sehingga Lampung cukup terkendali. Pemerintahan di daerah dipegang oleh masing-masing kebuayan atau marga/mego dengan restu dari pemerintahan Belanda. Dasar kebuayan inilah nantinya yang akan menjadi sistem pemerintahan marga (marga-stelsel) yang ditetapkan dalam IGOB (Inlandsche Geneente Ordonnantie Buitengewesten) pada tahun 1928.
Sejak tahun 1857 pemerintahan di Lampung dikepalai oleh seorang residen yang dibantu oleh sekretaris dan tujuh orang kontroler, yang kesemuanya terdiri dari orang Belanda, mereka menerapkan sentralisasi seperti di Jawa tetapi mendapat tantangan karena tidak cocok dengan sistim yang ada yaitu sistem kebuayan/marga yang berdasarkan desentralisasi (otonomi). Dengan sistem sentralisasi yang dijalankan oleh pemerintahan Belanda pernah terjadi kegoncangan dalam masyarakat, yaitu ketika sistem kebuayan seolah tidak dihormati, maka sejak tahun 1859 orang orang dari daerah Rebang dan Kisam menggunakan kesempatan untuk berpindah ke Selatan serta orang Abung mendesak ke Timur ke wilayah kebuayan lainnya. Sistem kebuayan adalah sistem yang sudah berjalan sejak era kesultanan Banten dan Palembang sebelum VOC Belanda menundukan kesultanan-kesultanan tersebut, terutama di daerah Utara yang mempunyai kebuayan. Sistem ini menitik-beratkan pada musyawarah dan mufakat dengan desentralisasi/otonomi dalam pelaksanaanya. Sistem desentralisasi ini tidak sesuai dengan kehendak pemerintah Belanda. Tetapi Belanda tidak bisa berbuat banyak karena adat istiadat masih dipegang teguh oleh penduduk Lampung yang tercermin pada upacara – upacara adat yang masih dipatuhi. Akhirnya pimpinan berdasarkan kebuayan terpaksa dipenuhi belanda dalam tahun 1928, pada tahun ini marga menuntut adat Lampung diakui berikut hak ulayatnya. Tetapi dalam pelaksanaanya sudah sangat dibatasi, dimana hak ulayat tersebut hanya tinggal berupa wewenang mengurus tanah oleh marga atas nama pemerintahan Belanda.
Pengaturan secara lengkap administrasi pemerintahan daerah Lampung terjadi pada tahun 1929, termuat dalam staatsblad 1929 No. 326, dimana antara lain diatur, Lampung dijadikan satu afdeling yang dikepalai oleh residen. Afdeling Lampung dibagi atas lima onder afdeling yang masing masing dikepalai oleh seorang kontroleur dan dipedang oleh bangsa Belanda. Residen berkedudukan di Teluk Betung, sedangkan kontroleur berkedudukan di kota-kota Telukbetung, Kotaagung, Sukadana, Kotabumi dan Menggala. Selanjutnya tiap-tiap onder afdeling dibagi dalam beberapa distriik yang dikepalai oleh demang. Tiap distrik dibagi lagi dalam onder distriik yang dikepalai oleh asisten demang. Bagi daerah kolonialisasi onder distrik dikepalai oleh seorang asisten wedana. Pangkat demang atau asisten demang/asisten wedana dijabat oleh seorang pribumi, pada tingkat paling bawah, diakui sistem marga yang dikepalai oleh seorang Pasirah yang memimpin kepala-kepala kampung yang disebut kepala suku.
Walaupun keadaan di Lampung sudah aman dan stabil, dengan adanya pengaruh pergerakan nasional di Jawa serta melihat sistem marga merupakan alat bagi pemerintahan Belanda, maka timbul kelompok anti sistem marga yang dipelopori oleh tokoh-tokoh pergerakan yang pada waktu itu baru tumbuh di Lampung, namun karena banyak mendapat pengaruh dari partai komunis Indonesia yang baru saja mengadakan pemberontakan di Jawa dan Sumatera Barat maka pergerakan ini tidak mendapat dukungan dari rakyat setempat, lagi pula rakyat yang mengikuti pergerakan akan ditindas oleh Belanda.
Berdasar adat Lampung, kedudukan kepala (pengetua kelompok genealogis) diwariskan namun tetap dengan eleksi. Maka kepala marga pun dipilih oleh penyimbang-penyimbang suku, jadi dalam pemilihan terbatas ada marga yang dihormati tentang tata adatnya untuk kemudian residen mengangkat orang yang berhak yang dipilih oleh para penyimbang. Sebaliknya ada pula marga yang mengenal pemilihan umum untuk kepala marga, yaitu marga-marga Pasemah (orang Rebang dan Kisam) serta orang-orang pendatang, dimana hubungan genealogis tidak begitu dipentingkan lagi.
Sejak ditetapkankannya status marga dan beberapa distrik kolonisasi, marga-marga tersebut adalah :

  • 1. Dantaran
  • 2. Pesisir Rajabasa
  • 3. Ratu
  • 4. Legun
  • 5. Ketibung
  • 6. Teluk Betung
  • 7. Balau
  • 8. Way Semah
  • 9. Sabu Menanga
  • 10. Ratai
  • 11. Punduh
  • 12. Pedada
  • 13. Merak Batin
  • 14. Tegineneng
  • 15. Badak
  • 16. Putih
  • 17. Limau
  • 18. Kelumbayan
  • 19. Pertiwih
  • 20. Putih
  • 21. Limau
  • 22. Buay Belunguh
  • 23. Tulang Bawang Pesisir
  • 24. Benawang
  • 25. Way Ngarip SemUong
  • 26. Pematang Sawah
  • 27. Rebang Pugung
  • 28. Pugung
  • 29. Buay Selagai Kunang
  • 30. Rebang (Buay) Seputih
  • 31. Buay Baradatu
  • 32. Buay Nunyai
  • 33. Buay Bunga Mayang
  • 34. Kasui
  • 35. Buay Semenguk
  • 36. Buay Pemuka Pengiran Udik
  • 37. Buay Tuba
  • 38. Buay Pemuka Pengiran
  • 39. Buay Bahuga
  • 40. Buay Barasakti
  • 41. Buay Pemuka Pengiran Ilir
  • 42. Buay Pemuka Bangsa Raja
  • 43. Jabung
  • 44. Melinting
  • 45. Sekampung
  • 46. Subing Labuan
  • 47. Gedong Wani
  • 48. Batanghari
  • 49. Sukadana
  • 50. Unyi Way Seputih
  • 51. Subing
  • 52. Buay Beliuk
  • 53. Buay Nyerupa
  • 54. Anak Tuha
  • 55. Pubian
  • 56. Buay Unyi
  • 57. Mesuji Lampung
  • 58. Buay Bulan Udik
  • 59. Tegamoan
  • 60. Suai Umpu
  • 61. Buay Bulan Ilir
  • 62. Buay Aji
Demikian keadaan pemerintahan pada zaman Hindia Belanda sampai kedatangan bangsa Jepang ke indonesia. Pada zaman Jepang struktur pemerintahan itu tidak dirubah hanya istilah-istilah diganti dengan istilah–istilah Jepang.
Daerah Lampung sejak abad ke-16 sudah didatangi oleh pendatang dari Banten, dan secara besar-besaran dari daerah Sumatera Selatan datang kedaerah Lampung pada pertengahan abad ke-19, sedangkan kolonisasi dari Jawa secara intensif mulai pada abad ke-20, mereka menghuni daerah-daerah yang belum diolah dan tergolong subur. Mulailah terlihat pemukiman yang mendiami daerah  SANG BUMI RUA JURAI ini hidup rukun dan penuh toleransi, bahkan terjadi pengakuan terhadap orang Rebang dan Kisam sebagai warga pribumi Lampung yang menghuni beberapa wilayah tertentu. Terlebih pada masa kemerdekaan telah banyak terjadi perubahan pandangan dalam pikiran orang Lampung untuk lebih terintegrasi antara masyarakat Jawa dengan masyarakat Lampung, Bahkan lambang pemerintah daerah Lampung terdapat kalimat “ SANG BUMI RUA JURAI” yang menunjukkan sikap bahwa golongan penduduk asli dengan kaum pendatang mempunyai suatu tempat dan tugas yang sama dalam membina wilayah ini untuk kemajuan negara dan bangsa.


Pendudukan Jepang

Ketika perang pasifik meletus dibulan Desember tahun 1941 Hindia Belanda berada di pihak sekutu. Hanya dalam waktu sekitar 100 (seratus) hari Jepang berhasil menghancurkan pertahanan Inggris di Birma, Malaya, dan singapura. Juga berhasil menghancurkan pertahanan Amerika di Pilipina, serta menundukkan pertahanan Belanda di Indonesia hingga pada 8 maret 1942 di Kalijati, Jawa Barat, Belanda menyerah tanpa syarat.
Sumatera dibawah kekuasaan pemerintahan Jepang berpusat di Singapura yang disebut shonanto, Jepang memasuki daerah Lampung dari arah Palembang. Pendudukan balatentara Jepang segera menjadikan Lampung sebagai keresidenan yang dikepalai oleh seorang residen militer (Lampung Syucokan) yaitu kolonel Kurita, yang dibantu seorang kepala kepolisian yang bernama Sebakihara. Sebagaimana sistim pemerintahan Jepang di pulau Jawa, maka dibawah keresidenan diadakan kabupaten, dibawahnya lagi ada kewedanaan yang dikepalai oleh seorang Gunco sebutan pengganti demang, yang dijabat oleh seorang pribumi. Dibawah kewedanaan terdapat wilayah asisten wedana yang nanti menjelma menjadi wilayah kecamatan dikepalai oleh seorang asisten demang/asisten wedana (fuku gunco), dibawah nya adalah kampung/desa yang disbut Ku. Dan di setiap kewedanaan diangkat seorang Ciko Sidukan berkebangsaan Jepang yang bertugas mengawasi dan membimbing Gunco agar setia dan tak menyimpang. Tidak berlangsung lama pada tanggal 15 agustus 1945, Jepang akhirnya menyerah terhadap sekutu, setelah terlebih dahulu dijatuhkan bom atom oleh Amerika Serikat.

Era Kemerdekaan

Berita menyerahnya Jepang diterima di Palembang lewat petugas radio domei dan modohan, kabar kekalahan tersebut sampai ke Lampung. Tidak lama kemudian terdengar berita lewat radio oleh kepala penerangan karesidenan Lampung yaitu Amir Hasan, bahwa proklamasi telah diumumkan kepada dunia internasional pada tanggal 17 agustus 1945. Kedatangan Mr. Abbas dari Jakarta memperkuat berita dan ia segera menyelenggarakan pertemuan antara para tokoh dan pemuka masyarakat di Tanjungkarang dan sekitarnya guna mengambil langkah berikut sesuai petunjuk pemerintah pusat Jakarta. Beliau juga ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagai residen pertama untuk Lampung setelah Proklamasi. Dan segera membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah Lampung yang di kemudian hari digantikan oleh dewan perwakilan rakyat. Kemudian disusul dengan dibentuknya Komite – Komite Nasional tingkat kewedanaan dan kecamatan.
Tanggal 5 september 1945 ada instruksi dari pusat untuk pengalihan kekuasaan di berbagai kewedanaan, pengibaran bendera merah putih secara menyeluruh dan penjagaan seperlunya. Sebagai ketua KNIDL yang pertama kali ditunjuk Wan Abdurrahman, dan semua jawatan maupun isntansi milik Jepang segera direbut dan pindah tangan menjadi milik pemerintahan RI. Jawatan penerangan (syuseito hodokan) dengan segala kelengkapannya diambil alih oleh Amir Hasan sebagai kepala penerangan daerah Lampung, dengan diambil-alihnya percetakan Krakatau maka lebih lancarlah komunikasi dengan warga daerah hingga kepelosok. Sementara itu berdirilah API (Angkatan Pemuda Indonesia) menghimpun para pemuda, menyusun laskar bersenjata seperti lasykar tani, barisan Banteng, Pesindo, Napindo dan lain sebagainya.
Setahun kemudian, pada tanggal 9 september 1946 Residen Lampung Mr. Abbas dipaksa untuk melepaskan jabatannya selaku residen sah oleh sebuah badan yang menamai dirinya sebagai PPM (Panitia Perbaikan Masyarakat) dengan beberapa tokohnya antara lain: Zainal Abidin, Juned, Azhari, Datuk Amin, Oemar Bey, Sutan Mudsi, Haji Mansyur dan sebagainya. Usaha pendaulatan ini berhasil, lalu Residen Lampung dijabat oleh Dr. Barel Munir. Akan tetapi dia mengundurkan diri pada tanggal 29 November 1947 dan sebagai gantinya diangkatlah Rukadi sebagai residen daerah ini.
Pada waktu terjadi perang (aksi militer) Belanda kedua 1948, ibukota karesidenan Lampung diduduki pasukan Belanda karena itu menyingkirlah pemerintahan karesidenan bersama stafnya ke Menggala lewat Kasui. Karena hal tersebut bertentangan dengan keputusan Komite Nasional karesidenan (DPR), atas dasar itu KNIDL bermusyawarah dengan para pimpinan partai mengangkat Mr. Gele Harun (putra Dr. Harun) sebagai kepala pemerintahan darurat Karesidenan Lampung. Yang kemudian mendapat persetujuan sah dari pemerintahan darurat provinsi Sumatera Selatan saat itu.
Karena situasi keamanan yang belum stabil, maka tempat kedudukan staf berpindah-pindah dari sekitar Gedong Tataan ke Pringsewu, Talang Padang dan Bukit Kemuning. Pada saat berkedudukan di Bukit Kemuning disusun staf pemerintahan secara lengkap berdasar hasil keputusan perundingan antara RI dan Belanda yang dikenal dengan persetujuan Roem Royen. Yakni guna persiapan untuk menerima oper alih kekuasaan dari tangan Belanda. Dan didalam susunan staf tersebut ditegaskan bahwa Mr. Gele Harun adalah residen Lampung. Ketika Belanda harus menyerahkan dan mengakui kekuasaan RI sebagai akibat dari hasil KMB 1949, maka Mr. Gele Harun yang menerima kekuasaan langsung dari pihak Belanda di Telukbetung.
Pada tahun 1950 berdasarkan plebisit rakyat di kewedanaan Krui yang menghasilkan keinginan untuk bergabung dengan Lampung, sejak saat itu, Krui yang semula bagian dari Keresidenan Bengkulu masuk menjadi bagian wilayah Karesidenan Lampung. Perkecualian untuk wilayah Kewedanaan Krui di onder distriik Bintuhan yang memilih tetap dibawah Bengkulu. Dengan demikian maka karesidenan Lampung meliputi seluruh ujung Selatan dari Pulau Sumatera.
Sistem Pemerintahan Negeri di Lampung berdasarkan IGOB Staatsblad no. 490 Tahun 1953 dengan adanya Ketetapan Gubernur Sumatera Selatan no.53/1951 mengenai perubahan kepala marga, maka jumlah negeri di Lampung yang semula 62 buah berubah menjadi 35 buah negeri saja.
Melihat luasnya wilayah keresidenan serta kemampuan potensi perekonomiannya, maka berdasarkan Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-undang No. 13 tahun 1964, yang kemudian menjadi Undang-undang No. 14 tahun 1964 maka Karesidenan Lampung ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I. Dengan demikian Lampung Sejak 1964 berdiri sendiri sebagai Propinsi dan tidak lagi menjadi bagian Propinsi Sumatera Selatan. Sebagai gubernur KDH Tingkat I Lampung saat itu diangkatlah Kusno Danupoyo, kemudian pada tahun 1967 terpilih Zainal Abidin Pagar Alam, dan semenjak akhir tahun 1972 jabatan gubernur KDH Tingkat I lampung dipegang oleh Brigjend TNI Sutiyoso.