Selasa, 26 Juni 2012


Bersepedamotor di Lintas Barat Lampung

Sebuah catatan perjalanan dan kisah perjalanan terdahulu


Di losmen KS - Kota Agung, kini telah menjadi hotel lumayan

Rabu, 7 Desember 2011

Kabar kepastian rekan dari Jakarta yang mengajak jalan-jalan memotoran ke Lampung Barat telah diterima. Artinya persiapan musti dimulai, meski jarak yang ditempuh pendek saja tapi motor yang ada hanya biasa dikendarai dekat-dekat. Bahkan SIM pun sudah lama kadaluarsa mengingat hanya jalan di pedesaan yang jauh dari keramaian, bahkan didepan Polsek dan Polres masih banyak yang berseliweran tanpa helm dan kemungkinan tanpa SIM pula. Kebetulan pula polisi disini cukup bersahabat dengan pengendara motor. Kamis berlalu dengan kesibukan yang membuat tak bisa mencuri waktu ke Polres memperpanjang SIM C, hanya servis rutin di BERES SUZUKI yang sempat terlaksana.

Jum'at hari yang pendek, pagi jam 9 telah berangkat ke Polres di kota Kalianda sekitar 12 Km dari rumah. Sambil ke tukang pres velg, karena velg almu bawaan Skywave melengkung akibat rusaknya jalan pedesaan dan muatan motor yang kerap melebihi kapasitas. SIM selesai dalam waktu 1 jam tapi velg baru selesai jam 14. Dari Polres bergegas ke Masjid Agung, Jum'atan. Selesai semua, kembali ke rumah untuk membereskan bawaan.

Direncanakan rekan-rekan dari Jakarta berangkat selesai jam kantor Jum'at malam, 9 Desember 2011 sehingga diperkirakan tiba di Kalianda, Lampung Selatan dini hari. Meski rumah saya hanya berjarak 150 Km dari Jakarta tapi terletak di Pulau Sumatra sehingga harus menyebrang dengan kapal ferry yang membuat waktu tempuh mencapai 4-5 jam. Karena itu saya memuat bawaan ke Skywave dilaksanakan malam ini juga, diperhitungkan bawaan harus masuk di dalam bagasi semua sehingga jalan-jalan terasa enaknya, ringan dan motor tetap lincah. Terbayang rekan-rekan dari Jakarta yang menggunakan motang (motor tanggung) pasti pada pakai magic jar di belakang motornya. Setelah memuat baju untuk perjalanan 3 hari serta tak lupa peralatan seperti kunci L, yang sangat dibutuhkan jika musti membongkar ban belakang Skywave, selesai sudah maka tinggal istirahat sambil menunggu kedatangan om Sulis dan om Yance.


Kisah Perjalanan Pertama di Jalur ini - 1995

Sambil berusaha memejamkan mata, teringat saat pertama melintas jalur ini tahun 1995. Masih bujang ting tong saat itu, karena "dipanasi" oleh ayah yang telah mencapai Bengkunat jalan darat dengan motor RC100. Maka saya bertekad menembus hingga Krui bahkan Manna atau minimal Bintuhan di jalur Lintas Barat yang baru mulai dibangun menembus belantara. Kami berempat, saya yang membonceng Hasan si pemilik motor dan Benny membonceng Abe dengan 2 motor Suzuki Crystal, nekat berangkat.

Saat itu internet belum seperti sekarang, informasi mengenai jalan hanya bisa diperoleh di sekitar lokasi. Jika sekarang begal merajalela di jalan-jalan sepi maka bisa dibayangkan kondisi keamanan belasan tahun yang lalu. Tapi kami akan melewati daerah pegunungan dan hutan yang secara logika tak kan ada begal yang mau mengambil motor bebek kami disana.

Pagi-pagi kami bergerak dari Kalianda singgah di Bandarlampung yang masih sering disebut Tanjung Karang - Teluk Betung. Dilanjutkan hingga Gisting untuk makan siang kesorean di warung sate yang merupakan makanan favorit disitu. Gisting adalah daerah pegunungan dan peristirahatan dari jaman Belanda. Ketinggian Gisting sekitar 600 meter dpl di punggung Gunung Tanggamus. Sampai titik ini masih perjalanan santai nan mudah apalagi entah berapa kali kami telah mencapai desa ini. Setelah Gisting kami singgah di Way Lalaan, telah pukul 15 sampai di air terjun yang tak jauh dari sisi jalan raya ini.
beginilah jalan Bengkunat hingga Krui

Karena perhitungan tak lagi bisa terus saat malam, maka diputuskan istirahat dan berenang di kolam air terjun dulu. Dan kemudian mencari losmen di Kota Agung, sebuah kota kecil bagian dari Lampung Selatan saat itu namun kini terpisah jauh hingga 4 Kabupaten jaraknya. Kota Agung juga merupakan ujung jalan aspal dari rute yang akan kami tempuh. Serta merupakan pertengahan jarak dari Kalianda ke Krui melalui Lintas Barat yang belum eksis saat itu. Di Kota Agung kami mendapat informasi penting mengenai jalur rawan ke depan.

Tiba di Kota Agung menjelang maghrib dan mudah ditemukan losmen sederhana yang kalau tidak salah ingat tarifnya sekitar 25-30 ribu permalam. Istimewanya Kota Agung adalah merupakan kota persinggahan kapal tanker raksasa yang tak bisa atau tak mau memasuki perairan Laut Jawa, sehingga di Teluk Semaka ini mereka sandar dan membagikan minyak yang dimuatnya ke tanker-tanker yang lebih kecil untuk kemudian diantar ke depo-depo Pertamina di seantero Nusantara. Karena itu Losmen banyak terdapat di kota ini.
Ada beberapa jembatan yang belum dibuat pd th 1995, menyebranginya perlu trik spesial


Untuk peta jalurnya bisa lihat di google map dengan link berikut ini

http://g.co/maps/5f4wx

lebih bagus kalo dilihat dengan opsi terrain on


Jum’at malam, 9 Des 2011

Om Sulis dan Yance tak ada kabarnya lagi setelah SMS bahwa mereka telah bergerak dari Jakarta. Rencana jam 8-9 malam berangkat, ternyata menjelang tengah malam baru jalan. Ditunggu juga percuma karena pasti mereka baru tiba saat fajar nanti. SMS ku balas dengan "Usahakan tidur di Ferry, lumayan 3 jam, setelah sampai Bakauheni telepon saja". Dari Bakauheni ke rumah hanya sekitar 20 menit dgn jarak 20 Km. Malam semakin larut, kantuk pun menjelang.


Sabtu, 10 Des 2011


Sabtu subuh hujan mengucur tidak deras tapi pasti akan membuat motoris basah kuyup. Sekitar pukul 5, brrremmm brreeemm bremm, 4 motor tanggung masuk ke halaman, saya yang baru selesai shalat segera keluar membukakan pintu. Benar ternyata rombongan om Sulis cs sudah tiba dengan kondisi basah kuyup. Loh kok 4 motor, kabar tadi malam hanya jalan berdua.

Ternyata di kapal ferry mereka bersua dengan bro Bayu dan Thomas dari YVCI yang hendak survei lokasi gathering di Pantai sekitar Lampung Selatan. Karena hujan mengguyur diajak lah brader YVCI yang juga tergabung di Nusantaride untuk mampir ke gubug saya di tengah sawah. Setelah perkenalan singkat, semua saya persilahkan istirahat dan mengudap sarapan seadanya. Tadinya mau beli nasi uduk di kota Kecamatan sekitar 2 Km dari rumah tapi karena hujan jadilah nyonya rumah menyediakan nasi goreng ala kadarnya.

Sambil menanti hujan berhenti yang biasanya sekitar pukul 7.30 kami sempat mengobrol, terutama tentang lokasi buat gathering YVCI. Saya menyarankan beberapa tempat yang mungkin. Pilihan pertama di daerah Kalianda, Pantai Merak Belantung yang kebetulan dulu saya kelola. Dan untuk jelas nanti kami akan antar mereka ke lokasi. Kemudian saya tanyakan apakah di ferry mereka bisa nyenyak istirahatnya yang dijawab bahwa tidak tidur sama sekali.

Waduh bisa berantakan nih rencana perjalanan, yang paling saya takutkan adalah kecapekan di pertengahan jalan di bagian hutan yang jika dipaksakan resiko kecelakaan semakin tinggi. Jarak yang akan ditempuh sekitar 350 Km lebih dan kondisi fisik kami yang sudah kepala 4 tentu tidak sesegar 10-20 tahun lalu. Saya sarankan agar mereka tidur dulu 1-2 jam tapi ditolak. Dan setelah hujan reda kamipun bersiap untuk berangkat.

Rencana tidak terlalu ketat harus dituruti apalagi kondisi rekan dari Jakarta sangat lelah, pulang kantor ke rumah urus keluarga lantas berangkat dan begadang. Tujuan pertama adalah Pantai Merak Belantung untuk mengantar Bayu dan Thomas. Tidak jauh sekitar 25 Km dari rumah atau 12 Km dari Kalianda tiba di PMB yang kini setelah dimiliki oleh Bakrie grup dinamai eMBe Beach. Kebetulan petugas yang jaga pagi itu adalah rekan seperjalanan dan semotor ketika saya pertama kali menembus Jalan Lintas Barat tahun '96, Hasan. Rencana YVCI ditampung ybs dengan penjelasan lumayan bahkan diteruskan via telepon kepada pimpinan pengelola yang menggantikan posisi saya disitu.


Sambungan Kisah 1996

Karena bertemu Hasan saya teringat kembali perjalanan kenangan di jalur ini. Ingat bagaimana orang-orang di Kota Agung terperangah mendengar rencana kami ke Krui via Lintas Barat, jalan yang belum jadi. Bahkan banyak yang menyarankan kami berputar arah dan melalui Kotabumi saja yang artinya lewat Jalan Lintas Tengah Sumatera memutar arah ratusan Km. Info yang patut kami percayai adalah dari Polisi Sektor Kota Agung yang pos-nya bersebelahan dengan tempat kami makan malam.

"Kalau pakai (motor) bebek sih mending pulang dik... Atau lewat Kotabumi saja, daripada musti bermalam di tengah hutan" demikian saran beliau.

Dijelaskan lagi bahwa kami baru akan meneruskan perjalanan besok pagi tapi dia justru menambahkan meski badan jalan setelah terbentuk hingga Krui tapi ada beberapa sungai yang belum dibuat jembatannya, tak peduli jalan siang atau malam akan sangat riskan karena 3 sungai diantaranya lumayan lebar dan dalam. Hanya bisa dilewati saat kering padahal hujan di gunung di hulu sungai tak kenal musim, itulah saat kita harus menunggu surut kadang hingga 2 hari. Selain itu hanya jip dan trail saja yang mampu melintas air setinggi dengkul disaat kering tersebut, jelas polisi ramah tadi dan di-iyakan oleh seisi warung makan.

Wah semangat kami jadi kendur. Saya dan Benny, seorang rider dan motocrosser selaku pengendara utama berunding mengenai rencana besok berdasar keterangan yang ada. Menurut Benny, bebek kami bukanlah hambatan tapi justru kelebihan karena saat melintas sungai atau lumpur akan ringan digotong berdua. Co rider kami, Abe dan Hasan yang masih usia belasan termotivasi dengan Benny yang memang paling tua dan bisa diandalkan. Saya jadi ingat pengalaman beberapa tahun sebelumnya saat hendak mencapai Bayah di Selatan JaBar (kini Banten) saat itu terkendala sungai juga kemudian kesulitan menggotong Merzy untuk menyebrang. Apalagi body saya dulu tak lebih dari setengah kwintal.

Semangat kembali menyala mendengar pernyataan Benny. Dan saat melangkah kembali ke losmen kami dikejutkan dengan suara gemerincing yang ketika ditengok ternyata sebuah jip sarat muatan dan orang dengan ban diberi rantai penuh sisa tanah. Tak lama sebuah trail juga dengan rantai di rodanya memasuki Pasar Kota Agung yang masih ramai. Rupanya memang sekitar jam 7 malam banyak muatan hasil bumi masuk dari pegunungan dan dari Bengkunat -pemukiman di jalur yang akan kami lalui.

Nah ini baru sumber informasi yang akurat, serempak kami berpikir sama. Ya, supir jip atau pengendara ojek trail yang baru tiba adalah sumber info terkini. Bergegas kami temui mereka, pertama rider off road terhebat di dunia yang kami hampiri, ternyata dia dari gunung di sekitar saja dan mengangkut kopi 2,3 Kwintal dalam 3 karung goni ditambah 1 penumpang yang duduk diatas tumpukan karung tersebut, luar biasa! Rider offroad yang bangga dan memajang foto keren di facebook setelah melintasi gunung atau medan offroad sejauh belasan Km nampak seperti pemula yang baru belajar nyemplak disini. Yang lebih gila adalah penumpang nekat yang duduk sejajar leher pengendara motornya. Medan yang dilalui sungguh luar biasa kejamnya, licin tanah merah yang selalu basah lembab karena tertutup rimbun kebun kopi atau hutan (jangan tanya jika hujan barusan turun) dan demi mendapat tanjakan yang lebih landai mereka menyusuri punggung bukit yang berarti di Kiri dan Kanan adalah jurang. Meleset sejengkal saja di jalur gunung maka jurang sedalam puluhan hingga seratusan meter menanti.

Sambil menunggu jip dari Bengkunat yang biasanya tiba diatas waktu Isya, kami mengobrol dengan ojeker trail tadi, menurut ceritanya, ada ojeker yang jatuh ke jurang dan mayatnya tak pernah bisa ditemukan karena jurangnya sangat curam sedalam 200 meter lebih. Aneh pikir kami, setelah 2 hari pasti timbul bau dan mudah menemukannya. Jika lebih dari sehari tidak ketemu maka pencarian dipastikan gagal karena telah jadi santapan penunggu hutan, jelas sang ojeker. Satu lagi kami mendapat info bahwa sang penguasa hutan masih banyak berkeliaran disini. “Bisa meong atawa serigala jeng biruang kang” jawab ojeker yang anak transmigran dari Garut ini saat kami tekankan Harimau kah maksudnya.

Sayangnya dia belum pernah ke arah Bengkunat sejauh 60an Km,

“trail sih tidak narik sejauh itu kang, kalo udah ada jalan yang bisa dilewatin jip kita oper disitu”.

Apalagi Bengkunat hasilnya adalah udang lobster jadi tak mungkin diangkut dengan motor. Tapi dia sering mendengar dari rekan jeeper yang dari sana bahwa hambatan tersulit adalah di puncak jalan di tengah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang disebut Patok Seket (50) karena sangat curam dan belum diperkeras alias masih tanah merah. Dan justru di wilayah itu adalah perlintasan gajah. Dan gajah yang jika lewat berombongan ini kadang tidur atau main seenaknya di tengah (calon) jalan, tak bisa diusir begitu saja dengan klakson karena justru gajah-gajah ini akan marah.
bagian jalan yang baru dikupas mencapai 10 kilometer th 1995

Tunggu punya tunggu, jip dari Bengkunat tidak juga datang. Mungkin tak ada muatan atau ada kerusakan di jalan. Karena lelah dan nyali turun naik mendengar cerita horor di jalur yang akan kami lalui maka kami putuskan untuk tidur dan besok saja cari info lanjutan. Kebetulan bandar lobster tujuan muatan dari Bengkunat gudangnya di sebelah losmen kami sehingga mudah mencari sang pembawa kabar besok pagi, mengingat biasanya mereka tidur di gudang itu.

Pagi ketika kami bangun, pemilik losmen menyediakan kopi asli 100% dengan rasa jauh lebih nikmat dari seduhan Starbuck, ternyata ada penumpang dari Bengkunat yang menginap di losmen kami. Sumber info terkini yang segera kami wawancarai.

“Wah hampir celaka kami semalam” ujar pembukaan dari penumpang yang ternyata nelayan lobster yang hendak pulang ke Kalianda.

“Kemaren sore rombongan gajah melintas di patok seket dan kelihatannya mereka sedang marah, berulang-ulang teriak dan hilir mudik disitu”,

“rupanya pagi sebelumnya ada pengendara motor yang gugup sehingga menabrak salah seekor anak mereka yang sedang menyebrang dan bermain di jalan, tapi justru motor yang ringsek dan pengendaranya beruntung karena cepat dilarikan ojek lain”.

Seharian itu tak ada motor yang berani lewat karena takut jadi pelampiasan amarah induk gajah. Dan gajah yang memang pendendam bisa mencegat motor karena suara knalpotnya terdengar dari jauh. Trail disitu memang tanpa saringan knalpot demi menambah tenaga mesin. Tapi kondisi jalan bisa dilalui semua kendaraan karena telah dipasang batu pondasi hingga pasir batu kecuali sekitar 2 Km di Patok Seket. Waduh, bukan berita baik justru menambah horor saja….

Dan info tambahan bahwa jarak 100 km dari Bengkunat ke Krui yang sulit dilalui karena 5 sungai dan 2 diantaranya besar belum terjembatani. Juga info telah ada kampung di jarak tersebut, sekitar 5 kampung. Wah ini berita yang sedikit melegakan, dari 3 sungai besar berkurang jadi 2. Tapi info tentang 5 kampung dan sebuah tukang tambal ban di jarak 100 km cukup mengkuatirkan. Apalagi tambahan info tentang kampung atau disini disebut pekon, bahwa selepas Kota Agung sebaiknya tidak singgah di pekon manapun baik sebelum TNBBS dan terutama sesudahnya yang berarti antara Bengkunat hingga Biha di wayah Krui. Ditekankan jangan mampir di Pekon Negeri Ratu Ngambur, bahkan juga diingatkan oleh pemilik losmen yang berasal dari pekon dimaksud.

Keasyikan mengenang jaman dahulu jadi lupa dengan ride report nya nih…


Sabtu siang, 10 Des 2011

Setelah mengantarkan bro Bayu dan Thomas ke embe beach kami meninggalkan mereka dengan Hasan. Lanjut perjalanan dengan tujuan pertama Bandarlampung utk singgah di rumah orang tua om Yance dan rendezvous dengan teman-teman kami disini yang ingin ikut jalan-jalan bareng. Sambil menunggu rekan-rekan tadi, om Sulis menyempatkan tidur. Terlihat dia sangat lelah setelah begadang di kapal ferry.

Lebih dari 1 jam kami menanti HS Naibaho alias Ucok dan Mogank. Setelah siap ternyata jam menunjukan pukul 11 lewat. Perjalanan dilanjutkan dan karena masih cukup kenyang disuguhi banyak kue di rumah ortu om Yance, kami menunda makan siang hingga sampai di Pringsewu. Sebelumnya kami isi bensin di SPBU Bandarlampung karena menurut Ucok di luar kota kerap habis premiumnya dan pertamax hanya tersedia di sedikit SPBU.

Yance yang mengendarai Scorpio dimodif keren banget bergaya Supermoto dan Sulis dengan Tiger nya yang tidak lupa menggendong magic jar di rak belakang serta saya dengan Skywave, Ucok – Blade dan Mogank mengendarai V-ixion. Komplet semua tipe motor jalan bareng kali ini. Sport diwakili V-ixion, Bebek diwakili Blade, Skubek - Skywave, Supermoto - Scorpio modified dan Sport Cruiser diwakili Tiger.

Memasuki kota Pringsewu perut terasa lapar karena telah lewat jam 1 sementara makan berat terakhir adalah sarapan jam 7 pagi. Mogank berinisiatif mengajak makan di kedai bang Akbar tidak jauh melewati pasar. Menu utama disini adalah ayam bakar tapi tidak satupun dari kami yang memesan itu. Saya pilih belut goreng yang ternyata sangat gurih dan crispy, kalo om Bondan pasti bilang “maaknyuuus…”. Makanan lain yang dipesan juga memuaskan. Dan kami berlima menghabiskan kurang dari 100 ribu rupiah, sekitar 80 ribu lah. Kejadian menarik di Pringsewu ini adalah mayoritas penduduknya berbicara bahasa Jawa, apapun suku aslinya, sehingga serasa singgah makan di Semarang.

Tema jalan-jalan kali ini adalah “finding nemo” alias mencari spot buat memancing dan sukur-sukur bisa mancing serta dapet monster air. Karena itu berdasar info yang didapat om Sulis di Jakarta bahwa spot mancing air tawar ada di Waduk Batu Tegi. Dan lokasi ini tidak jauh dari Pringsewu tapi keluar jalur Lintas Barat Sumatera sekitar 20 Km menuju Pulau Panggung dan mengarah ke dam dari situ. Petunjuk rambu jalan sangat jelas untuk mencapainya.

Karena saya tak begitu suka memancing di air tawar jadi tidak tahu dimana titik yang bagus disitu, langsung saya ajak rombongan menuju dam sekaligus titik terdekat di tepi waduk. Sesampainya, hujan gerimis membasahi kami. Dan satu kesalahan fatal ternyata brader Ucok tidak membawa baju ganti bahkan jas hujan pun tidak. Terpaksa kami berteduh di satu-satunya gubuk kosong disekitar dam beserta 2 pasang muda-mudi. Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 3 sore dan hujan masih mengguyur. Wilayah sekitar Batu Tegi dihuni pemukim yang kebanyakan berasal dari Sumatera Selatan OKU.

Obrolan Ucok yang pandai berkelakar menyaingi Sule membuat suasana hujan yang dingin menjadi hangat. Dan kami mendapat informasi bahwa tempat memancing disekitar itu adalah di daerah Mandi Angin sekitar 3-5 Km lagi melewati jalan masuk ke dam. Ikan disana besar-besar dan kini juga menjadi spot pariwisata yang lebih menarik dibanding di dam yang hanya menjadi tempat muda-mudi memadu janji mengobral gombal.

Sekitar pukul 16 lebih hujan mereda dan segera kami tancap gas mengejar waktu karena diputuskan untuk terus hingga Krui hari itu sementara masih 200 Km bahkan lebih jarak yang harus ditempuh. Perjalanan dilanjutkan tanpa banyak berhenti mengambil gambar lagi meski banyak spot menarik. Keluar dari Gisting kami menemui tugu batas kota Kota Agung di ketinggian sekitar 600 m dpl padahal pusat kota berada di pantai dan didepan adalah jalan menurun sekitar 15 Km ke 0 m dpl. Tak jauh ada spot yang menarik buat mengambil foto Kota Agung

Menjelang maghrib kami tiba di ibukota Kabupaten Tanggamus karenanya layak disebut kota dan karena namanya sudah Kota Agung menjadi kota Kota Agung. Sebetulnya kota atau kuta dalam terminasi bahasa Lampung berarti pagar. Karenanya banyak nama daerah/desa berawalan kota di propinsi ini karena pada zaman dahulu kebanyakan pemukiman diberi pagar untuk menghindari binatang liar masuk seenaknya. Dan yang layak disebut kota sebagaimana dalam term bahasa Indonesia hanyalah kota Kota Agung dan kota Kotabumi yang direncanakan menjadi ibukota Propinsi pemekaran dari Lampung.

Perut belum terasa lapar sehingga kami beristirahat di warung kecil pinggir jalan di seberang SPBU Kota Agung yang kosong premiumnya, untuk menghirup bandrek susu dan kopi serta mengemil gorengan gegodoh (sejenis bakwan dan dimakan dengan cuka pempek) makanan percampuran antara Jawa dan Palembang. Mencari Bensin menjadi hal krusial buat saya dan Ucok yang memiliki tangki kecil. Dan benar saja pernyataan Ucok saat berangkat tadi, SPBU di sini kosong dan tadi di Gisting juga kosong serta sempat melihat SPBU di Pringsewu juga memajang tulisan kosong. Terpaksa kami membeli eceran seharga 7000 per liter. Meski masih ada 2 SPBU lain didepan namun apakah ada premium disana…

Kelakar Ucok saat beristirahat benar-benar menyegarkan. Bahkan om Sulis yang terlihat sangat lelah tadi nampak segar kembali setelah tertawa lepas. Setelah adzan Isya perjalanan dilanjutkan. Tapi saat bersiap berangkat ada warga Kota Agung yang memperingatkan bahwa jika berniat jelek ke arah sana maka akan berhadapan dengan para penguasa hutan… horor yang menimbulkan trauma bagi Ucok dan Mogank karena mereka biasa mendengar rawan akan begal dan rampok di jalan sepi di Lampung dan tidak memperhatikan bahwa wilayah rawan adalah di bagian Timur Lampung. Kisah horor orang Kota Agung yang lebih sebagai hoax atau hiperbola dari kejadian nyata mengingatkan kembali pada kisah 1996.


Lagi, Cerita Dari 1996

Kami berempat akhirnya berangkat jam 7.30 pagi dari Kota Agung, melintasi jalan bekas diaspal sekitar 20 Km, penuh lubang dan becek karena malam tadi hujan besar disini. Jam 9.30 kami terkaget-kaget dengan tanjakan yang menghadang, 45 derajat bahkan lebih padahal 20 Km sebelumnya relatif rata. Inilah Sedayu yang sempat disebut oleh sumber info kami tadi. Tapi kapasitas mesin 2 tak 110 cc sungguh mencukupi buat meliwati halangan ini, sebagai perbandingan trail enduro hanya 100 cc sanggup. Dengan yakin kami gas pol motor Suzuki yang bandel ini. Entah karena sudut piston yang menjadi lebih tegak di tanjakan ini atau sebab lain, bebek ini menjadi perkasa menaklukan tanjakan curam yang hampir tanpa putus sepanjang lebih kurang 5 Km. Beruntung telah diperkeras bagian jalan disini untuk memudahkan truk pengirim material pembuat jalan di atas.

Setelah mencapai akhir tanjakan kami beristirahat di pos pemantau TNBBS. Dan ternyata memang pos peristirahatan para pengendara motor. Sebelum jalan ini dibentuk pos ini berada di tengah hutan dan bisa memandang ke segala penjuru untuk melihat satwa liar sebagai pos para peneliti asing. Disini kami bertemu rombongan trail yang hendak dijual di daerah sekitar, ada sekitar 6 buah namun yang akan dijual hanya 3 dan sisanya buat para pengendara pulang ke Wonosobo, sebuah kecamatan setelah Kota Agung. Agak mengejutkan ternyata trail DT 100 bekas tahun perakitan 1970an ini dijual 2 kali lipat harga Crystal baru.
diatas tebing Sedayu

Tapi nilai itu sepadan mengingat saat itu tak ada trail keluaran terbaru, trail asli termuda adalah Binter KE125 yang merupakan motor pertama saya di tahun 1982 dan TS 100 MKN dari Suzuki tapi cukup berumur dan sulit onderdilnya. Ada Yamaha YT, jelmaan dari RX-S yg keluar baru saat itu namun dianggap ringkih oleh ojek gunung. Trail Yamaha ini didatangkan dari wilayah pegunungan Jawa Barat yang saat itu telah diaspal dan trail menjadi kurang berguna.

Dalam obrolan di pos peristirahatan kami tanyakan pada ojeker trail apakah mendengar berita gajah mengamuk dan mencegat motor-motor. Ya mereka tahu kabar itu dan sebabnya mereka memasang saringan knalpot ala kadarnya agar tidak berisik dan didengar gajah. Biasanya gajah hanya mengamuk seharian kecuali ada korban di pihak mereka, bisa berhari-hari tak ada yang berani melintas dengan apapun. Dan jalur laut menjadi alternatif bagi warga Bengkunat. Kekuatiran kami akan begal yang lebih dahsyat berupa sekelompok gajah sirna karena penjelasan rekan ojeker.

Sekali lagi kami diingatkan oleh mereka bahwa jangan mampir di Ngambur serta Ngaras dan jika air Way Bambang tinggi lebih baik balik ke Bengkunat daripada istirahat menunggu surut di kampung yang terletak di sisi sungai (way) tersebut. Terkesan mereka salut atas keberanian kami menggunakan bebek melintas disini namun juga tertawa kecil melihat kebodohan kami. Hal ini terbukti tidak jauh dari situ, disekitar Patok Seket jalanan seperti bubur tanah merah dengan kemiringan hampir 45 derajat menghadang, sebuah truk tersangkut 100 meter masuk di jalan tanah tersebut, mundur yang menurun tak bisa apalagi maju menanjak. Sebelum Patok Seket kami menjumpai juga banyak kotoran binatang sebesar tampah, itu bukti kemarin sang gajah bermain disini.

Rombongan trail dengan mudah melintas, yang tadinya kami salip di jalan keras kini mereka yang berjaya. Kami terseok-seok meter demi meter. Hingga akhirnya tersangkut tak bisa bergerak lagi karena ban sudah penuh dengan tanah yang memenuhi rongga spakbor. Baru sekitar 500 meter dan puncak tanjakan masih sekitar 500 meter di depan. Dengan sengaja kami lepas spakbor agar bisa meneruskan perjalanan. Ban pun kami kurangi anginnya agar lebih menggigit di lumpur. Penumpang, Abe dan Hasan jelas turun berjalan kaki yang lebih cepat dari motor.

Sayang kamera yang kami bawa masih analog dan hasil berikut film negatif nya entah dimana kini karena beberapa kali saya pindah rumah, tak bisa dilacak lagi dimana foto kenangan itu.

Akhirnya kami sampai di puncak tanjakan. Dan terlihat jalur turun yang tidak lebih mudah dari menanjak. Kemiringan yang diukur dengan lensa kamera analog yang memiliki bulatan terbagi 8 di jendela bidiknya dan menembak pohon tegak, terlihat lebih dari 45 derajat tepatnya sekitar 60 derajat. Beruntung turunan ini hanya sekitar 100 meter, bak menuruni jurang. Sebuah Landcruiser Hardtop terlihat menyangkut di tebing setelah tak bisa menghentikan laju dengan rem dan terus merosot di licinnya tanah merah hingga sang supir memilih tebing sebagai rem paling pakem. Kami putuskan untuk merosot miring dengan melintangkan motor agar bisa sampai di bawah dengan selamat. Alhamdulillah akal bung Benny berhasil. Bahkan 2 dari rombongan trail tadi terjatuh ringan hingga kini kami berbarengan lagi. Mereka memuji akal kami menuruni tebing mayit, julukan tanjakan/turunan itu.

Alhasil sampailah kami di Bengkunat, sebuah bekas pelabuhan bagi kapal pengangkut kayu log. Dan memang mengenaskan situasi disekitarnya. Hutan telah habis dibabat dan tertinggal semak alang-alang sejauh mata memandang. Kewajiban pengusaha kayu hutan untuk menanam kembali tak dilaksanakan disini dan merupakan ladang pejabat kehutanan era orba meminta upeti. Jam sudah pukul 2 ketika kami tiba di Bengkunat. Penebangan kayu massif tak ada lagi disini tapi raungan mesin chain saw milik perorangan masih kerap terdengar.

Tanpa menghabiskan waktu kami istirahat minum kopi di warung yang tersedia bagi para pencari lobster dan makan bekal yang kami bawa dari Kota Agung. Perjalanan kami lanjutkan dengan target mencapai Krui sore itu juga. Keterangan dari posko jip di Bengkunat bahwa Krui bisa dicapai dalam 4 jam dan air sungai siang itu surut semua. Bergegas kami berangkat kembali.

Dan sesampai di sungai tanpa jembatan pertama adalah sungai kecil, dengan mudah kami lintasi air semata kaki lebih sedikit. Tantangannya cuma harus mengikuti alur bentukan arus air yang melengkung. Kemudian sungai selebar lebih dari 50 meter yang harus kami lewati. Dan sesuai pengalaman barusan maka penumpang berjalan menyebrang sembari mencari jalur tercetek buat sang bebek berenang. Sembari menunggu, sebuah jip dengan tenangnya melintas di jalur yang lurus saja diantara kedua ujung jalan. Ternyata di tengah kedalaman sungai menelan utuh roda jip tersebut. Karena panik sang supir mengendurkan gas maka tamatlah riwayat jip itu, mogok. Tak lama sebuah trail juga memintas di jalur sebelah jip itu yang lebih cetek, sekitar separo ban terendam tapi tetap ikut macet ditengah sungai. Pemantau jalan telah sampai di tepi dan jalur sudah bisa kami lihat juga akibat sibakan air oleh jip tadi. Tapi kesulitannya adalah jalur cetek itu berdasarkan tumpukan batu kecil bulat yang labil, bahkan jalan kaki pun dapat terpleset akibat batu bergelinding disitu, inilah sebab trail tidak mau melintas jalur itu.

Kami tak ada jalur lain, apalagi melihat trail pun mogok ditengah jalan. Atau gantian motor yang menaiki kami. Nekat sajalah, paling basah kuyup pikir kami. Sekaligus saya gas dan tiba diseberang dengan selamat meski ban belakang berjoget tidak keruan, tepuk tangan dari penumpang jip menyertai. Giliran Benny tancap gas dan ternyata dia melakukan aksi wheelie atau standing istilah kami anak jaman dulu. Dan seketika bergemuruh tepuk tangan dan teriakan horee dari penumpang jip dan beberapa penduduk yang berdatangan hendak menolong jip tadi. Dan ketika Benny tiba diseberang suit-siulan nyaring terdengar ramai. Semua orang memandang kami sembari angkat jempol, bangga rasanya.

Di sungai kedua pun begitu, hanya tak pakai aksi standing. Aksi kami turun miring/melintang di turunan ekstra curam dan pilih jalur di sungai akhirnya ditiru oleh ojeker trail disana. Dan kisah kami melintas dengan motor bebek pun menjadi legenda kecil disitu, tentu dengan bumbu luar biasa. Sekitar tahun ’99 telah banyak bebek Suzuki di wilayah itu. Hal ini saya ketahui ketika melintas lagi namun kali itu dengan jip Toyota LC Canvas pesanan pembeli di Bengkulu. Ketika mereka bercerita kehebatan kami dulu yang sudah lebih banyak bumbunya, saya hanya bisa tersenyum kecil dan tak mau menyebut bahwa yang mereka ceritakan adalah saya sendiri karena malu mengingat sebetulnya tidak sehebat itu yang kami lakukan. Dan hanya berkomentar “begitulah kalau orang kota, memang seperti ketakutan melewati jalan kampung tapi mereka lebih banyak akal jadi tetap bisa lewat meski lucu jadinya”.
pecah ban di Ngambur

Kejadian menarik terakhir di petualangan 1996 adalah ketika salah satu ban bocor di dekat pekon Ngaras yang juga diwanti-wanti agar tidak disinggahi. Terpaksa kami bongkar ban disitu. Dan tukang tambal terdekat adalah sekitar 30 Km di belakang yang telah kami lewati, pekon Siging yang juga pelabuhan kayu log. Atau di depan kemungkinan terbesar baru ada di Biha yang entah berapa puluh Km di depan. Di tengah belantara tak ada yang bisa kami tanya. Pilihan masuk akal adalah kembali ke Siging, berdua menunggu di lokasi dan dua lagi membawa ban bocor tersebut ke tambal ban. Resiko yang menunggu adalah berhadapan dengan warga Ngaras yang dikabarkan ganas dan tukang meracuni tamunya. Akhirnya setelah diundi Benny dan Abe ke tambal ban karena juga motor mereka yang bocor. Sementara saya menunggu dengan ketar-ketir. Sekitar 1 jam kemudian baru ada orang yang meliwati kami dan memandang dengan penuh curiga tapi setelah melihat motor kami tanpa ban belakang dia tak lagi menatap dan melajukan gerobak kerbaunya ke arah pekon Ngaras sekitar 2 Km masuk hutan dari rencana jalan Lintas Barat ini. Tak lama dua orang menghampiri kami dengan sepeda motor dan nampak beberapa orang berjalan dibelakang dari arah Ngaras. Matilah kami, pikir kami berdua. Pasti dengan garang kami akan diseret mereka dan dicekoki racun timex.

Tak disangka, kedua orang yang meghampiri kami menyapa ramah dan menyatakan ingin membantu atau menawari persinggahan untuk menunggu di rumah mereka sambil makan minum dulu. Haaah! Justru itu yang diwanti-wanti oleh semua orang untuk tidak kami lakukan baik di Ngambur atau Ngaras. Racun timex terkenal di seantero Lampung, awal 1980an daerah tempat tinggal kami di Kalianda juga terkenal akan kekejaman warganya memainkan racun ini. Hasan sebagai putra daerah Kalianda juga paham benar bahwa ada beberapa orang di sekitarnya yang suka meracuni orang tak dikenal jika tak ada musuh yang ingin dihabisi nyawanya. Ya pemelihara ilmu racun ini harus melancarkan aksi minimal 1 kali tiap tahun atau racun dimaksud akan menimpa dia atau keluarganya. Itu sebabnya mereka suka meracuni orang tak dikenal karena sedikit sekali orang, yang tahu mereka berilmu racun, berani memusuhi. Bahkan penganut tingkat tinggi dapat mengirimkan racun dari jauh tanpa harus bertemu.

Tawaran itu kami tolak dengan terbata-bata dan dipahami oleh mereka bahwa kami telah mendengar kabar yang salah atau menggeneralisir warga Ngaras dan Ngambur, kedua pekon bermarga sama “buay bejalan di way” atau arti harfiahnya komunitas berjalan di air. Mereka pun balik bertanya kami darimana, setelah tahu dari Kalianda mereka malah menyebut guru ilmu racun disitu adalah orang Kalianda atau orang Lampung menyebutnya Way Handak. Dan hanya segelintir orang yang menguasai ilmu itu disitu. Intinya cerita orang luar mengenai desa mereka adalah hoax. Ya tapi kalau yang segelintir itu adalah anda maka matilah kami, pikir saya… tawaran kami tolak dengan halus bahwa sebentar lagi rekan kami yang menambal tiba karena sudah 2 jam pergi. Dan mereka membenarkan tambal ban terdekat di Siging karena jika ke arah Biha lebih jauh, baru ada di Way Jambu sekitar 40 Km ke depan tepatnya di pangkalan kontraktor pembuat jalan ini.

Begitulah perjalanan petualangan awal melintas jalan Trans Barat Sumatra. Sesudah menambal ban masih ada masalah berupa kemalaman tiba di Way Jambu, tempat dimana bisa membeli bensin selain di Bengkunat dan Siging, tentu dengan harga luar biasa mahal. Ternyata setelah malam menjelang, sebuah motor tak hidup lampunya, mungkin putus terguncang dan satu lagi remnya tidak berfungsi akibat bongkar pasang ban tadi. Jadilah kami berjalan seperti orang buta dan orang pincang yang saling menuntun. Alhasil jam 11 malam kami baru tiba di Krui dengan sebuah motor ban luar belakang tersobek batu.

Rencana awal perjalanan akan diteruskan ke Manna di Bengkulu yang jalannya juga sedang dibuat menembus TNBBS sisi Utara. Kemudian baru putar arah pulang via Pagar Alam. Tapi kondisi keuangan sudah mepet, akibat harus beli ban baru, kanvas rem dan perbaikan lampu di Krui. Karenanya kami harus pulang via Liwa dengan singgah di Danau Ranau. Sebenarnya ke Krui bukan kali pertama tapi sudah ketiga kali, hanya sebelumnya lewat jalur normal via Kotabumi sebagaimana jalan pulang kali ini.

Kembali ke ride report perjalanan bermotor terakhir dengan om Sulis cs…

di gerbang TNBBS Sedayu 1995

Sabtu malam, 10 Des 2011

Berangkat dari istirahat di Kota Agung menjelang Isya dengan badan segar akibat lelucon Ucok. Tak lama berjalan, lewat sebuah truk tangki premium dari arah berlawanan dengan kencang yang berarti kosong isinya karena baru mengisi SPBU di depan. Benar saja di SPBU Pematang Sawa premium tersedia, semua mengisi penuh tangkinya kecuali saya dan Ucok yang kepalang beli eceran.

Seingat saya yang belum ke Krui lagi sejak 2 tahun terakhir, SPBU Pematang Sawa tak jauh selewat Kota Agung adalah SPBU terakhir dan baru ada di Krui berjarak 150 Km. Namun SPBU Krui ini meski bukan lagi krisis pembagian premium pun lebih sering kosong. Karena ratusan motor laut bermesin Yamaha 2 tak dengan kapasitas mesin diatas 250cc (15 PK) nampaknya tidak dihitung Pertamina dengan benar sebagai konsumen premium. Padahal mereka setiap hari melaut dan butuh ribuan liter premium. Dan ada juga yang bermesin Honda “klotok” 4 tak kecil dibawah 200 cc (5-7 PK). Satu truk tangki premium di SPBU Krui habis dalam setengah hari dan baru dikirim lagi 2 hari kemudian.

Karena itu kami harus siap membeli eceran saat di Krui nanti. Prediksi yang ternyata salah karena di Way Jambu telah berdiri SPBU baru yang bahkan menjual Pertamax. Di Ngaras Ngambur pun telah ada Indomaret, kalo takut diracun disini bisa membeli aqua gelas dulu jika mau bertamu di rumah warga (hehehe, gadis di Ngambur hingga Krui dan Bintuhan terkenal kecantikannya).

Selesai isi bensin kami terus dan jumpa dengan tanjakan tercuram di jalur ini, Sedayu. Karena hari telah gelap, sebelum mendaki Sedayu yang juga berarti memasuki TNBBS, saya ingatkan pada semua untuk tetap merapat dan jangan terpisah jauh, usahakan jarak antar motor sekitar 20 meter saja. Meski kini telah ramai di jalur ini namun kewaspadaan harus terus dijaga saat malam hari. Apalagi saya memahami bahwa Sulis dan Yance belum tidur nyenyak dari kemarin. Gajah telah lama tak muncul disini dan kekuatiran utama lebih pada kejahatan sesama manusia. Ternyata di Sedayu yang 2 tahun lalu masih juga sepi kini mulai ada beberapa warung makan, disini juga terdapat spot pemandangan indah berupa dataran Tanggamus dan Teluk Semaka yang dipenuhi tanker. Mungkin setahun dua lagi bakal penuh dengan rumah makan besar disini mengingat ini adalah jalur terdekat ke Padang dari pulau Jawa.

Tebing mayit kini tinggal cerita karena sebelum jalan ini dibuka resmi sekitar th 2000 sudah dipapas sehingga kini tak lebih curam dari Sedayu. Melewati Patok Limapuluh yang juga batas antara Lampung Barat dan Tanggamus pun lancar saja malam itu. Hanya setelah sampai dibawah setelah melewati pelabuhan Bengkunat, terlihat om Sulis yang berada paling depan mulai disorientasi, banyaknya tikungan hair pin kecil dan gelap sering understeer. Ngantuk luar biasa nampaknya. Saya yang berada paling belakang demi menjaga kerapatan rombongan merangsek ke depan untuk memimpin karena hapal jalan, setelah memberi kode agar semua merapat di belakang saya, laju motor dibuat steady pada kecepatan 60 kpj. Sekitar 5-6 Km di depan kami akan menemui jalan ekstra lurus panjang-panjang dari kantor kecamatan Bengkunat hingga Biha sejauh puluhan kilometer dan ada sebuah trek lurus sepanjang 5 km, diselingi tikungan hanya 5-10 derajat kemudian lurus lagi 2-3km, bak di jalan tol. Tapi musti hati-hati jalan malam karena jalan sempit dan ada beberapa tikungan yang nampak lebar padahal sangat tajam hampir 90 derajat juga lubang di tengah jalan yang bersembunyi di tikungan.

Asik didepan, di jalan lurus tak terasa gas ditarik hingga mencapai 100 kpj lebih sedikit. Tapi spion tetap dipantau, dan setiap melirik 4 buah lampu masih setia membuntuti. Begitu sampai di daerah transmigran Bali, pekon Marang saya kendurkan gas untuk mengajak singgah istirahat di pura di tepi jalan dan pantai. Ternyata 2 buah lampu yang terpantau di spion milik pengendara lain dan terus melaju saat saya berhenti di depan pura. Ternyata hanya Ucok, Mogank dan saya yang jalan merapat tadi. Wah Sulis dan Yance yang sama-sama mengantuk tertinggal jauh di belakang, jalan ini lurus hingga 3 km lebih dan tak terlihat lampu Scorpio dan Tiger milik mereka. Sebelum memutuskan menyusul saya memberi waktu dengan menyulut sebatang rokok putih lights, jika rokok habis mereka belum muncul maka kami akan balik kanan. Untung tak ada sesuatu hal buruk, rokok habis dan mereka tepat melintas.
Pura di Pantai Melasti, Marang kab PesBar, d/h LamBar

Tak jauh kami melihat SPBU Way Jambu yang membuat saya dan Ucok senang luar biasa mengingat isi tangki kami akan habis sedikit kilometer lagi, rencana akan beli eceran di pekon disitu tapi ternyata ada SPBU yang banyak stok premiumnya bahkan menjual Pertamax yang disepanjang kabupaten Tanggamus tidak ada. Isi penuh dan Yance serta Mogank juga. Hanya om Sulis yang terus jalan dengan perlahan. Rupanya dia sudah tidak kuat menahan kantuk sehingga tak mampu berjalan cepat, sampai disitupun lebih karena dituntun om Yance. Selepas Way Jambu adalah Biha yang kini juga telah terdapat mini market waralaba. Ternyata om Sulis telah rebahan di depan Indomaret. Istirahat dan minuman penyegar diselingi candaan Ucok membuat segar dan lelah tak terasa lagi. Ditambah info optimis dari mBak kasir bahwa Krui paling 15 menit perjalanan lagi, ada benarnya jika kondisi segar dan motor dipacu. Kenyataan paling cepat Biha ke Krui adalah 30 menit karena jalan yang akan dilalui adalah jalan lama yang sebagaimana biasa banyak tikungan tidak seperti buatan ‘90an yang lurus bahkan di gunung pun ambil singkat sehingga banyak kemiringan jalan yang curam.
beristirahat di perjalanan 2011

Dengan semangat menyala om Sulis kembali memimpin dimuka, tak disadari olehnya bahwa saat kantuk atau lelah maka lebar pandangan kita pun semakin sempit. Dalam kondisi segar bugar sudut pandang pengemudi kendaraan mencapai 160 derajat dan semakin cepat memacu kendaraan semakin sempit demikian pula saat lelah, pandangan diluar fokus selebar l.k 60 derajat cenderung diabaikan. Itulah sebab seringnya kecelakaan padahal titik bahaya telah masuk dalam pandangan. Saat kondisi bugar, penampakan di sudut mata akan bahaya seperti gerakan orang akan menyebrang atau tikungan tajam segera direfleks dengan mengendurkan kecepatan. Tapi dalam kondisi lelah akan diabaikan dan saat bahaya persis di depan mata baru mendapat perhatian.

Itu tampaknya yang terjadi ketika om Sulis terkejut karena jembatan (yang sedang diperbaiki) di palang kayu menghadang jalan, meski nampak jelas telah dibuat jembatan sementara persis di sebelah kiri. Kekagetan beliau karena hanya melihat jalan dipalang dan sudah sangat dekat, refleks yang timbul adalah menarik rem kuat-kuat dan hasilnya adalah terpeleset diatas gravel jalan perbaikan. Gedubrak! Saya yang agak jauh di belakang mengira Sulis kecemplung di celah yang tak ada alas jembatannya. Ternyata hanya jatuh dan tak ada luka apapun kecuali lecet sedikit pada magic jar **untung ber merk GIVI andai Miyako atau Cosmos pasti beneran banyak yang antri membawa piring kosong di belakang Tiger, wkwkwkkkkwww.

Jam 11 malam kami pun tiba di Krui, persis seperti 15 tahun lalu. Tapi Krui kini telah menjadi kota ramai meski bukan ibukota Kabupaten seperti Kota Agung. Dan Krui telah eksis sebagai kota perdagangan sejak jaman Raffles. Serta ya, Krui adalah eks jajahan Inggris seperti juga Bengkulu. Kini sangat banyak hotel dan losmen serta cottage di pantai-pantai Krui. Dan bule berkeliaran seperti di Kuta Bali tahun ‘70an karena Krui terkenal akan ombaknya untuk surfing. Dalam skala para surfer, Krui berada di urutan 5 besar ombak terbaik di dunia. Ada yang menempatkan krui di rank #3 dan #2 diatas Mentawai tapi umumnya mencatat Krui no.2 terbaik di wilayah Sumatera setelah Mentawai yang terhitung terbaik di pertama di dunia.

Bedanya dengan Kuta adalah “there’s no free tits show in this moslem country”. Bahkan di Kampung Bali perempuan bule tetap dilarang bugil di depan umum. Tapi bule yang nyerocos bahasa kita adalah jamak. Malah ada satu orang bule yang bicara sangat lancar bahasa Indonesia tapi dengan logat Lampung yang khas, andai dia ke Jakarta dan bicara disana pasti orang akan bingung dengan logatnya yang tidak biasa.
Yance mencoba menyebrang sungai yang pd 1995 saya seberangi dgn motor bebek

Krui adalah kota nelayan di tepi Samudra Indonesia. Disini tidak pernah ada hari tanpa ikan. Dan kebanggan Krui adalah black marlin yang datang ramai ke Krui bulan Februari – Maret. Ikan yang bisa mencapai berat 1,5 kwintal ini ditangkap dengan pancing dan sumber penghasilan terbaik sepanjang tahun karena laku dijual 25 ribu rupiah per Kg. Juga ikan Tuna dan Cakalang kerap membanjiri Krui hanya saja belakangan ini Tuna sering dicegat oleh nelayan kapal long liner di tengah Samudra sehingga kini jarang merapat ke pinggir. Sementara nelayan Krui hanya bermodal motor laut *disebut demikian karena perahu kecil bermesin Yamaha 2 tak, jika besar disebut kapal motor serta biasanya bermesin diesel marine.

Selain ikan dan turis surfer, Krui juga penghasil getah damar karena pohon damar disini di’kebun’kan, ditanam dan dipelihara sejak jaman nenek moyang hingga kini nampak Krui dikepung hutan damar. Bahkan suami Ratu Elizabeth dari Inggris yang aktivis lingkungan hidup sering berkunjung ke Krui menikmati hutan tropis paling terawat ini.

Setelah makan malam di pasar Krui dengan ikan GT yang disebut simba di Lampung atau cuwek di Jawa, kami menuju rumah Oom Kholidin *karib dari ayah saya. Biasanya jika memancing atau mudik ke mertua di Pulau Pisang di dekat Krui maka saya menginap di rumah adik dari tante saya ini. Oom yang satu ini masih nampak awet muda, gagah tinggi besar seperti perawakan kebanyakan orang Krui dan Bintuhan. Di depan rumah Oom Kholidin adalah rumah salah satu paman sekaligus adik ipar dari 2 mantan Presiden RI, Sukarno dan Megawati. Ibu Fatmawati memang berasal dari Bintuhan sebuah kota kecil di Bengkulu yang lebih menginduk ke Krui saat Jalan Lintas Barat belum eksis dan Bintuhan terisolir sehingga lebih dekat ke Krui via laut apalagi dahulu ada kapal kayu yang rutin melayari jalur Krui – Jakarta.
di danau Ranau 1995 


Minggu, 11 Desember 2011

Sulis dan Yance segera terlelap, saya dan Ucok masih mengobrol dengan Oom Kholidin hingga dini hari. Rencana besok adalah memancing tapi sayangnya tidak musim ikan monster dan hanya musim ikan Layur yang besarnya “hanya” 5-6 kg dan panjang hampir 2 meter untuk mancing malam. Dan tongkol lilin yang berukuran sebesar lilin lampu jumbo di subuh hari. Ikan tongkol ini akan menjadi umpan buat mancing malam dan lebih pasti dapat jika mancing subuh. Tapi tak mungkin kedua rekan dari Jakarta bisa bangun subuh. Terlewat kesempatan mendapat ikan tongkol yang meskipun kecil tapi sekali angkat pancing yang diseret (trolling) biasanya berisi 4-5 ekor. Benar saja, om Yance yang paling belakangan, jam 10 pagi baru bangun. Mandi dan sarapan selesai jam 12. Pagi-pagi tadi saya sempatkan membeli ikan di pendaratan nelayan dan dimasak Oom Kholidin yang telah sendiri, dulu saat wo dang (panggilan utk almh istri beliau) masih ada, pasti banyak makanan laut istimewa terhidang.

Singkat cerita, kami memancing malam itu dan terpaksa pulang karena hujan menghampiri. Ketika berangkat bak mengejar matahari terbenam dan pulang bak dikejar hujan. Malam itu kami teruskan mengobrol di rumah Surya, tokoh nelayan sekaligus ipar saya. Dan info utk ‘finding nemo’ di Krui terjawab semua. Semakin larut maka kami memutuskan balik ke rumah oom Kholidin utk tidur. Besok rencana kembali ke Jakarta karena lusa Yance dan Sulis juga Ucok sudah ditunggu atasan masing-masing di kantor mereka.


Senin, 12 Desember 2011

Pagi seperti biasa saya membeli serabi Krui, serabi yang dibuat dari tepung beras dan santan kemudian dimakan dengan serundeng ikan atau rendang atau ikan goreng/panggang saja. Rencana pulang jam 8 an pun terlewat karena bangun telat. Adzan dzuhur baru siap untuk berangkat. Karena waktu kerja om Yance dan Sulis sangat mepet dan jika kami meluncur ke Ranau atau lewat Liwa menuju Bandarlampung maka dipastikan akan terlalu malam tiba di Bakauheni. Maka jalan berangkat dipilih sebagai rute terdekat. Apalagi sejak dari Kota Agung kemarin kami jalan malam karenanya tidak melihat pemandangan di jalan. Meluncur lah kelima motor berbeda tipe dan merk ini. Tujuan pertama bukan langsung arah pulang tapi ke daratan terdekat dengan Pulau Pisang, menyusuri Lintas Barat arah ke Bengkulu. Hanya sekitar 15 Km kami pun sampai di Tebakak, ambil gambar sebentar dan kembali ke Krui. Karena ada masalah dengan lampu sein salah satu motor maka diputuskan untuk singgah di bengkel sejenak. Bengkel sekaligus toko onderdil dan aksesori tepat disamping tugu Ikan Marlin dan tepat di tempat dulu pada 1996 kami mengganti ban dan lain-lain.

Akhirnya kami meluncur juga arah pulang, menikmati pemandangan sepanjang pesisir Samudra Indonesia yang tak sempat dilihat keempat rekan yang semua baru pertama kali melalui jalur ini. Dan curamnya Sedayu kini bisa dilihat dan membuat om Yance menyempatkan berfoto ria di bagian yang memiliki kemiringan sekitar 55 derajat.

Menjelang maghrib kami tiba di Gisting dan memutuskan untuk istirahat terakhir disitu. Gisting terkenal akan sate kambing-nya tapi saya belum 3 bulan lalu terkena stroke akibat hipertensi. Demi mengendalikan keinginan menyantap makanan kegemaran itu maka stang motor saya arahkan masuk ke warung nasi yang juga terkenal (lupa namanya, kalo tak salah warung bu Iyah) yang berada di pekon Gisting Atas, sekitar 3km dari pasar Gisting kearah Kota Agung di tepi sebelah Selatan jalan raya. Harga murah dan makanan maknyusss terutama pecel dan kepala ayam goreng atau ikan mas goreng yang jika mau, harus minta di hangatkan dengan menggoreng kembali dahulu, harap maklum ini warung bukan restoran.

Malam pun menyelimuti, dingin nya Gisting seperti di Cipayung Bogor. Perjalanan dilanjutkan dan target mencapai rumah saya di dekat Bakauheni sebelum pukul 10 malam. Agar rekan Sulis dan Yance dapat tiba di Bakauheni sebelum jam 12. Kemudian diharapkan bisa nyenyak di kapal Ferry hingga jam 3 dini hari untuk melanjutkan ke Jakarta sekitar 3-4 jam dan langsung ke kantor tanpa ke rumah dulu.

Kemungkinan Yance dan Sulis kerepotan mencari tempat tidur di Ferry *sebetulnya ada banyak ferry yang mempunyai kelas lesehan full ac dan sangat nyaman untuk tidur. Tapi jika kebetulan mengejar waktu dan ferry yang segera berangkat adalah yang kurang bagus dan tak mau menunggu maka tidur dengan penyejuk angin laut di lantai besi adalah opsi paling nyaman.

Begitulah catatan perjalanan kami…


Catatan kaki :

Pengaspalan dan pembuatan jembatan di Lintas Barat selesai pada 1999-2000, jalan kerikil tajam (atau gravel istilah keren nya) sepanjang 150 km yang dapat merobek ban luar atau membocorkan ban dalam menjadi cerita lalu yang tak bisa diulang disini. Jika 1996 ditempuh dalam belasan jam, setelah mulus, jalan yang banyak lurusnya ini bisa ditempuh dalam 3 jam hingga 2 jam saja. Interaksi dengan masyarakat tanpa melihat status apakah tukang ojek atau petani biasa menjadi pengalaman hidup yang bermanfaat. Kadang tingkah kita yang 'snob' dengan motor yang jauh lebih baik dari kendaraan masyarakat sekitar menimbulkan iri kecil, 'belagu lu anak kota' demikian biasanya suara hati rekan2 ojeker di desa. Saya pernah mengalami saat berlari 80 kpj di trek tanah kering disalip ojek trail sambil wheelie/standing dan memandang dengan sinis cuma karena lewat memakai helm komplit(ketahuan anak kotanya) dan terlalu kencang di perempatan jalan setapak. Segera saya hampiri dan berpura-pura menanyakan jalan yang sebetulnya saya sudah tahu sekedar mengakrabkan diri dan kemudian mengobrol hingga ia malah menawarkan pondoknya utk bermalam. Meski memilki GPS, jika ada orang tempat bertanya akan lebih baik singgah dan turun sejenak dan bertanya langsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar