Minggu, 19 Oktober 2014

Pagaralam Solorun bagian ketiga

HARI KEDUA

Etape 5, Merpas – Manna 104km; Jam 10.25 – 12.20
Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, sengaja berangkat agak siang demi mensimulasikan bahwa baru tiba di Merpas malam sebelumnya dengan kemungkinan bangun kesiangan, berenang menikmati laut dulu dlsb. Persis sebagai pejalan yang belum pernah singgah di PLS lain, sebagaimana pembaca sekalian nantinya jika menyempatkan mengambil jalur-jalur yang saya sampaikan disini.
Saya sudah cukup hapal juga bahwa jalan menuju Manna dari PLS akan mulus dan cukup lebar. Tikungan juga terhitung lebar-lebar meski banyak juga yang cukup tajam, biasanya menjelang sungai dan jembatan serta sesudahnya. Ini disebabkan sungai yang terletak di bawah lembah, sehingga saat mendekati sungai, jalanan juga menuruni lembah yang biasanya cukup curam.

Pemandangan yang didapat jika mencoba keluar dari Jalinbar, mendaki bukit
Tidak jauh dari PLS Merpas ada sebuah SPBU yang baru, hampir seusia dengan SPBU Lintik di Krui. Saya yakin disana akan menjual pertamax. Meski fuelmeter telah tandas kebawah, saya paksakan sampai di SPBU tersebut. Setelah sekitar 15 km dari gerbang PLS sampailah di SPBU Maje (Bintuhan 2). Saya isikan nexie, pertamax senilai Rp.42.000 dengan harga perliter sama, Rp.12.500,-.
Perjalanan di jalan yang banyak lurus sebetulnya membosankan tapi karena pemandangan hijau kadang dipadu birunya laut, ditingkahi rumah-rumah panggung kayu yang kecoklatan membuat pikiran segar. Tak terlalu bosan juga. 
Disekitar Merpas hingga Bintuhan banyak ditemui tumpukan pasir hitam, itu adalah hasil tambang setempat berupa pasir besi. Diduga pasir besi ini diangkat oleh tsunami jaman purba ke daratan mengingat tidak adanya sumber besi di pegunungan diatasnya. Memang pesisir Barat Sumatera dari Aceh hingga Lampung adalah ‘tsunami sites’. Beberapa ratus tahun sekali akan dilanda tsunami, di wilayah Bengkulu terakhir tercatat tahun 2007 tapi tak terlalu besar dan 1830an setinggi 6 meter. 
Jalan antara Merpas hingga Manna senantiasa mulus sejak belasan tahun lalu. Tapi hal ini lebih disebabkan tak ada truk bermuatan berlebih melintas disini. Bukan karena sikap tegas petugas jembatan timbang namun akibat penghalang pada jalan saat selangkah memasuki Lampung. Penghalang itu berupa tanjakan curam Tebing Manulla yang tak kalah mengerikan dibanding Sedayu dan Tebing Mayit. Entah sudah berapa puluh truk yang tak kuat menanjak hingga merosot mundur dan masuk jurang yang menanti baik disisi kanan maupun kiri. Bagi saya yang arah ke Bengkulu, Tebing Manulla adalah turunan, dan saya lintasi di hari pertama malam hari. Tapi kini sedang dibangun jalan alternatif agar tak lagi perlu melintasi jalan maut tersebut.

*Manulla diambil dari makam atau di Lampung disebut keramat seorang penyebar Islam bernama Syekh Aminullah yang kapalnya kandas karam di pantai dibawah tebing itu.
**Jangan kaget jika makam seorang  penjahat juga disebut keramat, bukan berarti makam yang keramat tapi sekedar makam biasa, karena keramat = makam dlm bahasa Lampung.

Pantai Hili, foto diambil th 2011
Tanpa terasa Bintuhan terlewat, Pantai Hili menyambut, keunikan pantai ini: dipenuhi dengan hamparan batu sebesar kepala bayi. Jika terpikir oleh-oleh untuk istri menguleg sambal di rumah, silahkan singgah dan pilih sendiri batunya. Kemudian terlintas pertigaan Muara Sahung, jika masuk ke jalan Muara Sahung akan tembus hingga Pulau Beringin  terus ke Banding Agung ditepi Ranau bagian SumSel, tapi masih harus menempuh jalan tanah. Yang menurut Jon Henri kemarin tinggal sekitar 5-6 km.
Kemudian wilayah utara Kaur yang biasa disebut Padang Guci. Dan nampaknya kini sedang kasak kusuk membentuk kabupaten baru yang diberi nama Besemah Selatan. Kemungkinan penduduk wilayah Padang Guci – Tanjung Kemuning adalah suku Besemah/Pasemah berasal dari dataran tinggi Besemah yang menjadi tujuan akhir perjalanan saya. Disini ada sebuah jembatan panjang dan jika sempat berhenti ditengah kemudian menoleh ke kiri (Barat) maka terlihat sebuah air terjun kecil yang jatuh langsung di lubuk dari sungai atau aiie (air) dalam bahasa setempat.

Pemandangan di jalan menuju Manna
Tak jauh dari jembatan, terlewatilah perbatasan kabupaten antara Kaur dan Bengkulu Selatan. Kemudian lagi-lagi ditemukan pencabangan jalan yang membingungkan karena sama besar kedua jalan lanjutan. Apalagi kedua cabang jalan didepan membentuk sebuah jalan lurus, seperti jika kita keluar dari jalan kecil masuk jalan yang lebih besar. Belok kiri atau kearah Barat adalah jalan yang semustinya menuju Manna. Dan gapura kota Manna pun terlampaui.
Di depan ada sebuah cabang jalan lagi, dari papan petunjuk tertulis ke kiri adalah menuju Pantai Pasar Bawah. Jika masih ada waktu, bagus juga melewati jalan lama tersebut, jalan itu melewati pantai terus ke kota Manna. Akhirnya sampai di Simpang Rukis, kota Manna, persimpangan ramai yang kedua di kota Manna. Karena di propinsi Bengkulu tidak ada jaringan minimart berantai, saya coba berhenti di minimart atau warung semi swalayan yang banyak terdapat sejak dari Merpas, repotnya hanya, kebanyakan tidak sekomplit minimart berantai. Tapi karena saya di Manna, kota yang lumayan besar saya perkirakan bakal komplit. Benar saja, yang saya cari tidak ada, adanya jenis lain, semerk dan sama-sama hitam bungkusnya. Yang saya cari hitam kombinasi biru, adanya hitam kombinasi hijau. Terpaksalah beli yang ada saja.
Tak jauh saya rencanakan makan siang sekaligus menamatkan etape 5 disitu. Sebuah rumah makan bernama Riung Bandung yang dimiliki oleh orang sunda, tentu masakan sunda tapi sudah dimodifikasi dengan lidah setempat, seperti biasa ditambah cabai dan merica bumbu-bumbunya. Ternyata RM RiungBandung tutup, entah karena sudah bangkrut yang tidak mungkin karena biasanya sangat ramai disitu pada jam makan siang, kemungkinan besar karena mudik Lebaran Haji. Akhirnya saya putuskan untuk makan tak jauh disebelahnya, terus terang karena saya tertarik dengan sub judul warung tersebut “Masakan Jemau Kitau”, wajib dicoba nih... Jadilah saya akhiri etape ini di RM Panorama, masakan khas Manna.
Panorama Jemau Kitau
 

Etape 6, Manna – Tugu Rimau, Pagaralam 103km; Jam 13.15 – 14.25 dan 14.55 – 17.50
Begitu memasuki warung makan langsung saya ke bagian display makanan. Hmmm... mirip sekali masakannya dengan Minang, serba bersantan. Saya lihat ada cincang dua macam, satu berbumbu khas minang santan dan merah sementara yang satu lagi seperti opor. Kemudian ada ikan nila goreng yang disebut sebagai mujair, tadinya saya berharap ada ikan laut mengingat Manna adalah kota di tepi Samudra. Tapi mungkin si pewarung dari sisi daratan atas Manna yang dengan aiie Manna sebesar itu pastinya ikan air tawar juga menjadi favorit disini.
Selesai makan, saya sempatkan memotret warung dari jalan. Baru kemudian melanjutkan perjalanan etape 6. Jam 13 kurang sedikit saat meninggalkan warung. Tapi saya putar-putar dulu sang kota kenangan. Ada sedikit romansa “sephia” membekas di kota ini *bukan untuk ditiru, bukan pula saya mencontohkan.
Walaupun meteran bensin si nexie masih lumayan, saya mencari pertamax dulu atau jika tak ada cukuplah premium. Mengingat dari Manna hingga Pagaralam 80 km tak bakal ada SPBU. Sebetulnya ada SPBU dan menjual peratamax juga menjelang simpang Rukis tadi, masih di tepi Jalinbar tapi saya lihat sepi, tak ada pelayanan serta pompa premium dan solarnya ditutup kain pembungkus hanya pompa pertamax yang dibuka. SPBU lain di Manna ini bukan di tepi jalan menuju Pagaralam tapi agak masuk kedalam kota. Saya Isi bensin Pertamax Rp 33.000 disini, jarak dari SPBU Maje tadi hampir 100km.


kota Manna jalan menuju ke Pagaralam


Dan jalanan keluar Manna arah Pagaralam mulai mendaki, sedikit demi sedikit pendakian makin terasa. Hingga melewati bagian dari kecamatan Pino. Saya jalan tidak terlalu cepat disini karena ingin menikmati pemandangan dan kehidupan sehari-hari disitu. Hanya 1 kali belasan tahun lalu saya melalui jalan ini, itupun dengan membetot gas kuat-kuat karena sudah terhambat semalaman dan memutar 200an kilometer akibat jalan di Krui terputus. Saya perhatikan apa saja yang ada di tepi jalan, terutama warung, bengkel ataupun tambal ban. Saya rekam di kepala sehingga jika suatu waktu lewat lagi dan terjadi masalah bisa diantisipasi. Tak lupa menikmati pemandangan dan memperhatikan sungai/aiie Manna, memperhatikan titik pemancingan.
Ternyata banyak juga rumah menyerupai villa dengan kolam ikan sepenuh halaman, seakan rumah itu terapung di kolam. Tiba-tiba saya melihat sedikit keanehan, sebuah bangunan gereja baru selesai dibuat. Apakah banyak pendatang dari jawa disini, pikir saya. Setahu saya semua adalah penduduk asli, pendatang dari Jawa atau Jawa Lampung hanya banyak di wilayah Merpas dan di sebelah Utara kota Bengkulu serta disekitar Curup. Mengapa gereja saya asosiasikan dengan orang Jawa, karena di wilayah Lampung gereja hanya terdapat di pemukiman Jawa dan penduduk asli tidak ada yang beragama selain Islam. Sementara untuk mengasosiasikan dengan orang batak jelas tidak mungkin karena sedikit sekali saya menemukan tambal ban sepanjang jalan itu *hehehe kalimat terakhir ini hanya guyon, becanda, jangan marah ya lae...
Sambil masih mengira-ngira ternyata perjalanan sudah cukup jauh dan menjelang penghabisan pemukiman di tepi jalan Manna-Pagaralam di wilayah Bengkulu. Ketika keluar sebuah tikungan tak jauh dari gereja tersebut, saya terhenyak karena sebuah air terjun lumayan besar terlihat di tepi sebuah jembatan. Cukup ramai pengunjungnya di hari yang panas itu. Jejeran warung juga menghias sisi lain dari jembatan itu. Segera saya hentikan nexie di warung pertama.
Saya memang ingin minum kopi, kopi asli setempat, karena ketinggian di daerah itu sudah cukup untuk tanaman kopi, beberapa kali saya melintasi kebun kopi sebelumnya. Semakin kabita untuk menenggak minuman penambah daya jelajah itu. Setelah pesan kopi, langsung saja mencabut senjata, Fujifilm HSX25EXR kaliber 58mm. Dan terabadikanlah aiie Luguran itu, demikian namanya disebut penduduk Manna dan sekitarnya. Dan memang bukan air jatuh 90 derajat, hanya berupa turunan air yang sangat tajam.
Air Terjun Luguran
Saat meminum kopi, saya sempatkan mengobrol. Tak lama kemudian ada serombongan anak muda menggunakan mobil pick up mendatangi air terjun membawa drum-drum dan ember, hendak mengambil air. Saya tanyakan pada pewarung mengapa dan darimana mereka, jawabannya adalah karena mereka sedang hajatan sehingga sumur yang menyusut menjadi kurang airnya. Mereka tinggal disekitar gereja, lanjut keterangan pewarung. Kebetulan, saya tanyakan soal gereja, ternyata memang ada penduduk asli setempat yang menganut Protestan sejak akhir 1965 terutama. Saya tahu bahwa sedikit lagi didepan, di wilayah Tanjungsakti, Lahat, SumSel banyak juga penduduk asli yang menganut agama selain Islam. Pewarung melanjutkan keterangan bahwa jika di Tanjungsakti memang banyak penganut Katholik sejak dulu kala, jaman Belanda.
Setelah kopi tandas dan obrolan juga komplit dari keterangan mengenai diri saya, motor Suzuki nex yang baru pertama mereka lihat dan saya dapatkan keterangan mengenai aiie Manna, ikan yang bisa dipancing dlsb. Maka saya pun pamit, melanjutkan perjalanan. Cukup jauh juga sisi jalan kosong tak ada rumah penduduk, kebun dan hutan saja mengisi pemandangan. Bahkan ketika melintasi perbatasan Bengkulu dan Sumatera Selatan tak ada gapura yang menandakan. Hanya sebuah patung burung Garuda yang lebih diasosiasikan sebagai batas wilayah teritorial militer antar KOREM.
Saat mata menyapu pemandangan saya melihat dua orang pemancing sedang melemparkan kail berumpan singkong rebus. Sejenak saya singgah, mereka memancing di sebuah lubuk, tikungan sungai yang biasanya cukup dalam. Mereka duduk diatas sebuah pondasi jembatan gantung yang sedang dibuat. Menurut keterangan pemancing ini, mereka mengincar ikan Hampala atau Besemah. Sama seperti keterangan yang saya dapat di warung kopi aiie Luguran tadi.
Tak terhitung jumlahnya jembatan gantung yang dibuat masing-masing ini. Setiap pemilik kebun atau rumah terpaksa membuat jembatan sendiri, jembatan pribadi untuk menuju jalan raya sebagai sarana transportasi cepat. Mengingat satu-satunya jembatan yang menyeberangi sungai Manna berjarak beberapa kilometer hingga belasan kilometer dari kebun mereka padahal jalan raya ada didepan mata diseberang sungai.
Ketiadaan batas ini membuat saya mengira pemancing tadi masih berada di wilayah Bengkulu dan ternyata saya salah duga. Mungkin karena dahulu wilayah Tanjungsakti sempat masuk wilayah Bengkulu sehingga tak ada batas berupa gapura. Hanya saja akibat jalan menuju Manna senantiasa terputus longsor akhirnya penduduk meminta untuk kembali menjadi bagian dari Sumatera Selatan. Hingga kini TanjungSakti menjadi kecamatan di kabupaten Lahat. 
Jembatan Pulautimun, area berarung jeram Pagaralam
Sebelumnya persepsi saya perbatasan propinsi adalah di Pulautimun sebuah desa di Tanjungsakti, dimana jalanan menyeberangi sungai Manna, sebuah batas alam. Setelah senantiasa di sisi kanan jalan, kini sungai berada di sisi kiri. Tetap mengikuti aliran aiie Manna hanya berpindah sisi saja.
Jalanan terus saja mendaki tak henti. Melewati pedesaan Tanjungsakti yang berumah panggung tinggi dari kayu. Sungguh asri nuansa disini. Dan toleransi kehidupan beragama juga tinggi mengingat ada dua agama yang menjadi mayoritas disini. Sejak dari aiie Luguran hingga Pulautimun tak ada rumah penduduk di sisi jalan namun sejak jembatan besar tadi mulai terlihat perkampungan lagi. Sembari memacu motor saya memperhatikan jika ada gereja tua untuk difoto. Tapi mungkin terlalu cepat memacu, tak nampak sebuah gereja pun.  
Setelah melewati pertigaan yang nampaknya mengarah ke kecamatan pemekaran dari Tanjungsakti, sisi jalan kembali kosong dari rumah. Tikungan mulai cetar membahana kembali dan tak jauh tanda-tanda kota mulai nampak, sisi jalan berpemandangan indah mulai dipenuhi anak-anak muda pada sore-sore yang dingin itu. Motor-motor mereka dijejerkan rapih dan nampak bersenda gurau seperti layaknya orang menjelang dewasa. Serasa usia saya baru 19 tahun saja melihat suasana itu.
Tak saya sangka, ternyata mereka juga sangat ramah. Menawari saya untuk singgah bergabung dengan mereka. “Sini bang, minum dulu” sembari mengangkat botol minuman ringan. Saya jawab dengan “terima kasih, takut kemalaman”. Jam sudah menunjukan pukul 16 lewat banyak dan saya tidak pasti berapa kilometer lagi harus ditempuh. Batas kota saya mahfum sudah dekat tapi tujuan akhir etape ini adalah tugu Rimau dengan jalan berliku mendaki hingga 1900 meter diatas permukaan laut atau naik 1000 meter lebih dari ketinggian rata-rata kota Pagarlam di 850m dpl. Jalan menuju tugu Rimau juga tak saya ketahui apakah sudah beraspal atau belum. Jika belum kemungkinan bisa 2 jam melaluinya dengan nexie yang terpaksa dilambatkan karena bantingan suspensi sungguh kurang nyaman.
tugu rimau kira-kira terletak di ujung warna hijau kebun teh ditengah gunung Dempo
Setelah batas kota jalanan kembali menurun lurus panjang-panjang. Tak terlihat jelas papan petunjuk jalan sehingga sedikit terlewat sebuah pertigaan besar mengarah ke Gunung Gare, kompleks perkantoran pemkot yang dibangun sedikit diluar kota, diatas gunung. Dan saya balik arah untuk memasuki persimpangan yang mendaki tadi. Menurut Googlemap jalan terdekat ke tugu Rimau melalui Villa Gunung Gare dan artinya tidak perlu memasuki pusat kota terlebih dahulu jika dari arah Manna.
Sesampai di depan Villa dan perkantoran pemkot saya cek koordinat dengan blackberry OS 7, GPSTools nama aplikasinya. Ternyata ketinggian kompleks perkantoran ini sekitar 1000 m dpl. Pandai juga orang Pagaralam mengirit listrik, praktis kantor-kantor disitu tak perlu AC. Karena saya tahu keramahan dari sapaan anak-anak muda tadi, saya beranikan untuk bertanya pada gerombolan pemuda yang lagi nyore disitu. Saya tanyakan mengenai arah dan kondisi jalan menuju tugu Rimau. 

Jam sudah menunjukan pukul 17 lewat banyak, jika tak memungkinkan saya pilih mencari penginapan dulu dan baru esok pagi ke tugu Rimau. Tapi penjelasan sembari menunjukan lokasi yang jelas terlihat dari Gunung Gare membuat saya yakin dlm 30 menit bisa mencapai lokasi, sekitar 12 kilometer saja jaraknya. Sebetulnya jika ditarik garis lurus, jarak nya hanya 4,5 km. Segera saya lajukan kembali si nexie, mengikuti alur jalan berliku yang dimelarkan hingga hampir 3x lipat jarak lurus agar pendakian tak terlalu curam. 
Sempat berhenti juga mengambil gambar indahnya pemandangan. Tiada kata selain, Subhanallah indahnya ciptaanMu yang maha Agung. Meski kabut tipis menghalangi pengambilan gambar oleh kamera prosumer saya, mata ini sungguh dimanjakan. Padahal pemandangan ijo royo-royo begini bukan hal aneh, bahkan sebagai penduduk pedesaan di kaki Gunung Rajabasa, tiap hari saya lihat disekitar rumah juga hijau raya. Apalagi bagi orang kota dataran rendah, pasti senang sekali melihat alam seperti ini. Mirip di Puncak, Jabar beberapa puluh tahun lampau.
Pagaralam saat mulai menyalakan lampu kota dilihat dari tugu Rimau

Akhirnya tugu Rimau dicapai jam 17.51, karena letaknya yang lebih di Barat, hari masih cukup terang disini. Selesailah etape ini. Tinggal menunggu malam dan mencoba mengambil gambar Pagaralam dari ketinggian diwaktu gelap. Saya tahu bahwa nanti bulan akan bersinar tampak membulat karena hari itu sudah mendekati pertengahan kalender bulan.


Bersambung kesini....

1 komentar:

  1. Suatu saat saya harus kesini naik motor.. Penuturan ridingnya bikin pembaca jg pgn jalan ksana om :D

    BalasHapus