Minggu, 19 Oktober 2014

Catatan Ringkas Pagaralam Solorun

Ringkasan Perjalanan Pagaralam Solorun

· Pra Etape, Penengahan(rumah) – Bandarlampung 69km. Jam 9.10 - 10.40
Jika dihitung jarak dari Pelabuhan Bakauheni ke Bandarlampung: 98Km; Isi bensin full tank di SPBU Kekiling (SiangMalam) Pertamax 3,5 liter = Rp.44.000; Mizone Rp.6.500.


Cerita pembuka klik disini

· Etape 1, Bandarlampung – Kota Agung 96km. Jam 11.50 – 13.10 dan 13.45 – 14.20
Bdl-Prs 41km; Makan di Pringsewu Rp.16.000; Bensin di KotaAgung premium Rp.15.000,-; Aqua dan snack Rp.12.500 plus parkir, minimart disini ada tukang parkirnya.

· Etape 2, Kota Agung – kota kecamatan Bengkunat 95km. Jam 14.45 – 16.15
Tambah bensin hingga full di SPBU KotaAgung 2, Pertamax Rp.17.000; Ambil foto di tanjakan Sedayu; Balapan dengan hujan, sejak masuk hutan TNBBS sektor Sedayu sudah nampak mendung menghitam, sampai Bengkunat hujan tertinggal di belakang sekitar 2-3 menit; Aqua dan snack Rp.10.000,-; Hujan gerimis hingga jam 16.40.


hanya beginilah saya mencatat perjalanan


· Etape 3, Bengkunat – Krui 56km. Jam 16.45 – 18.40
Hujan gerimis besar, terpaksa stop di depan Pura Melasti sekitar Way Jambu menjelang Biha, menunggu hujan sambil melihat kemungkinan ambil foto sunset di Pura; Pakai jas dan celana hujan, lanjut trabas gerimis; Isi full di SPBU Lintik (Krui 2) Pertamax Rp.43.000; Makan di Krui kota Rp.20.000; Hujan membesar ditunggu reda; Jam 20.05 hujan reda.

· Etape 4, Krui – Merpas 82km. Jam 20.10 – 22.35
Jalan sebagian besar berliku tajam dan sebagian kecil rusak parah; Gelap jadi tak bisa kencang atau jika dipaksakan kemungkinan besar terjun ke jurang dengan laut sebagai dasarnya; Istirahat sebentar di minimart paling ujung BaratLaut di Lampung, kec Pugung; Aqua dan snack Rp.12.000; Melewati hutan TNBBS sektor Lemong sendiri, sepanjang 25an km hanya berpapasan sekali dan 2 kali menyalip kendaraan lain; Mulai terasa linu di dengkul karena celana agak basah tersiram gerimis dari Bengkunat hingga Pura Melasti.

· Istirahat di Merpas 2 hari 3 malam sekalian meredakan linu di dengkul dan pinggang, baru sadar umur sudah mendekati separuh abad ; Sembari istirahat, jalan-jalan mencari lokasi bagus untuk foto sekalian mencari riding position yang enak di matik berjok kecil. Sebelumnya pakai matik ber-jok tambun sungguh enak, tak terasa jalan jauh. Sembari juga cari kebun yang mau dijual. Jalan-jalan ini total sekitar 55 kilometer; Pegal linu sudah tak terasa, terimakasih pada neoRhemacyl tablet dan cream; Terimakasih juga pada Habbatusauda yang menjaga agar tensi tidak melonjak akibat melahap daging kambing kurban.

Cerita Hari Pertama klik disini


· Etape 5, Merpas – Manna 104km. Jam 10.25 – 12.20
Sengaja berangkat agak siang dengan mensimulasikan bahwa baru tiba di Merpas malam sebelumnya dengan kemungkinan bangun kesiangan; Jalan mulus dan lebar, sedikit tikungan; Isi bensin full di SPBU Maje (Bintuhan 2), Pertamax Rp.42.000; Ambil foto di Kaur Tengah; Makan di simpang Rukis, Manna Rp.20.000; Ambil foto kota Manna.

· Etape 6, Manna – Tugu Rimau, Pagaralam 103km. Jam 13.15 – 14.25 dan 14.55 – 17.50
Isi bensin Pertamax Rp 33.000; Ketemu gereja di tepi jalan di pedesaan diluar kota Manna adalah suatu hal yang cukup aneh karena di jalur Manna-Pagaralam hampir tidak ada transmigran, bisa dikatakan semua adalah penduduk asli; Hampir sepanjang jalur ini bersisian dengan sungai/air Manna; 30 menit istirahat di air terjun Luguran yang sudah menjadi tujuan wisata bagi penduduk kota Manna, berada tepat disisi jalan Manna-PgA; Mendapat cerita memang ada penduduk asli beragama Protestan sejak 1965; Ngopi asli Rp4.000; Bertemu penggemar memancing, joran dan reel sudah cukup berkualitas, memancing di sebuah lubuk di aiie Manna di wilayah SumSel (Tanjung Sakti), ikan target: Hampala; Mendaki menuju ketinggian 1900 meter dpl; Ngopi sachetan dan snack Rp.6000 di tugu Rimau.

Cerita mengenai Manna-Pagaralam disini


· Istirahat mencari penginapan turun dari tugu Rimau jam 18.35; Ambil foto Pagaralam dari atas saat malam; Sebelum ke hotel, makan di Simpang Petani, RM Dua Putra, makanan enak dan ternyata orang Jawa tapi Jawa Lampung, Rp.16.000; Minimart aqua Asti; Dapat saran Mirasa Hotel, sedikit keluar dari kepadatan pasar arah ke Kepahyang. Hotel pelit, ngasih breakfast cuma setengah porsi dan kopi encer, tarif termurah Rp.130.000; Ada hotel lain yang lebih murah tapi kurang nyaman karena ditengah padatnya pasar; Villa di jalan menuju tugu Rimau paling murah 120ribu tapi penuh; Banyak hotel baru juga; Sarapan siang plus kopi kental di DuaPutra lagi, Rp.20.000; Ketemu becak motor Verza; Berbincang dengan staf media lokal, Pagaralam Pos tentang kotanya; Keliling kota, pabrik teh, titik loncat paralayang dan area pendaratan; Total jarak ditempuh dari tugu Rimau ke kompleks pemkot 14 km, keliling kota 34 km; Masih banyak kebun kopi ditengah areal perkotaan; Jam 11.25 baru start etape selanjutnya dari SPBU simpang Manna yang kebetulan pertamax-nya sedang habis.https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Pagar_Alam

· Etape 7, Pagaralam – Baturaja 170 km. Jam 11.25 – 14.30 dan 15.30 – 16.55
Seharusnya etape ini dibagi menjadi 2: Pagaralam – Semende DL dan Semende DL – Baturaja; Arah keluar kota menuju simpang Jarai, di papan petunjuk jalan tertulis arah Lahat atau Palembang; SPBU Lematang (Pagaralam 2) di jalan itu ternyata sama saja pertamax kosong dan premium antri panjaaang sama dengan di SPBU 1; Beli bensin eceran premium Rp.16.000 > 2 liter; Ambil foto di batas kota yang juga merupakan tempat kejadian perang mempertahankan kemerdekaan paling seru di SumSel; Masuk jalan pintas yang sempit di Simpang Jarai; Mulak Ulu; Semende Darat Laut; Warung Ponorogo hanya beli bensin eceran 1 liter Rp.10.000 bonus permen 6 buah; Ambil foto air terjun Tenang; Masuk ke lokasi wisata Curup Tenang Rp.15.000, Teh Botol es Rp.6.000; Simpang Meo; Beli bensin eceran lagi di Singapura Baturaja 1 liter Rp.8.000; SPBU Baturaja isi full pertamax Rp.34.000.


Cerita mengenai begal di Jalinsum klik ini


· Etape 8, Baturaja – Bandarjaya 214km. Jam 17.25 – 20.00 dan 7.10 – 9.10
Seharusnya ini dibagi 2 juga, Baturaja – Baradatu dan Baradatu – Bandarjaya;
Istirahat di pusat kota Baturaja, es kacang merah dan 2 pempek ada’an Rp.11.000; Tak berlama-lama di Baturaja karena balapan dengan waktu operasi begal; Maghrib di Martapura, labas; Minimart simpang Baradatu aqua Rp.2.000; Makan Rp.26.000 di Jalinsum semua lebih mahal dibanding Jalinbar; Tak berani terus karena sudah menjelang waktu begal beroperasi dan Nex meski paling kencang diantara matic 110 lain tetap bukan lawan MX, FU atau King tunggangan para kriminil; Cari penginapan di Baradatu jalan perlahan-lahan, tak ketemu karena mati listrik; Bukit Kemuning dapat hotel sederhana Rp.75.000; Hotel Murni ternyata lebih pelit dibanding Mirasa di Pagaralam, minta air panas segelas saja tak dikasih, sudah beli kopi sachet dan energen plus roti Rp.12.000. Ngopi subuh jalan kaki dulu ke pasar 400 meter Rp.3000; Lanjut perjalanan jam 7.10; Isi Bensin di SPBU Bukit Kemuning full tank premium Rp.24.000, duit menipis tak berani beli pertamax lagi; Aqua Rp.2000; Stop sebentar di Kotabumi; Tarik gas pol karena janji dengan sohib di Banjay jam 9; Finish etape 8 jam 9.10.

· Etape 9, Bandarjaya – rumah di Penengahan LamSel 131km atau jika ke Bakauheni 151 km.
Tempat rendevouz, parkiran Mesjid Agung Banjay ternyata panas tersorot mentari; Geser ke RM Minang Indah persis disebelah Utara Mesjid, sarapan siang, makanan enak tapi mahal Rp.36.000, halaaah anggaran cuma sisa Rp.64.000 plus recehan; Yang janjian tak menampakan batang hidungnya, dasar legislatif sering lupa dengan janji kampanye; Isi bensin full tank premium SPBU Natar Rp.24.000 (lupa tepatnya, nggak tercatat); Singgah di rumah saudara, istri lagi menginap di Bandarlampung; Karena sudah jadwal servis gratis, singgah di Suzuki Center, servis & ganti oli; Makan siang kesorean di kota Kalianda, mi pangsit plus teh botol Rp.20.000.

· Total 69 + 96 + 95 + 56 + 82 + 104 + 101 + 170 + 214 + 131 = 1118 kilometer
Pengeluaran lain-lain: Rp.18.000 x 6; Rp.35.000 celdal; Rp.67.000 gunting kuku, tissue basah, masker dlsb
kota Pagaralam, masih dipenuhi bangunan khas Sumatera Selatan


· Peta silahkan klik link ini: https://www.google.co.id/maps/ms?msi...76204,2.535095

Ditambah keliling kota Pagaralam dan mencari lokasi foto sekitar 100km. Perjalanan kali ini mencapai 1200 kilometer.

Cerita penuh disini

Pagaralam Solorun bagian keempat - habis



Istirahat,  

Satu Malam di Pagaralam

Kemungkinan waktu maghrib disitu adalah sekitar jam 18.30 WIB, sembari menunggu saya pesan kopi sachet-an. Tadi sore sudah menenggak kopi kental sehingga saya tak berani menambah kopi khas daerah pegunungan Sumatera lagi. Kuatir hipertensi menjelang dan stroke yang sempat saya alami beberapa tahun sebelum ini bakal menghantui perjalanan. Kemarin di Merpas sempat merasakan pening akibat menyantap sop kambing hasil pembagian kurban, berhasil saya redam dengan meminum habbatussauda kapsulan yang memang saya siapkan dari rumah. Seandainya jika tak juga hilang rasa pening akan saya telan juga simvastatin dan captopril yang juga siap di tas pinggang. Alhamdulillah dengan habbatussauda sudah cukup. 

Mengenai keindahan alam di Pagaralam, lihat sendiri deh, capek tangan mengetik. Tak akan cukup sepuluh halaman untuk mendeskripsikan keindahan Pagaralam dengan gunung Dempo-nya. Kamera secanggih apapun dengan keahlian memotret luar biasa juga tak mampu memberikan gambaran menyeluruh, apalagi saya yang newbie dibidang fotografi digital. 

Mengenai persenjataan, kamera prosumer saya anggap cukup mumpuni untuk sekedar mengabadikan dan menambah aksen fotografi. Apalagi jika hanya menggunakan sepeda motor, bakal direpotkan membawa DSLR murni atau mirrorless dengan berbagai lensanya, ditambah kekuatiran akan terjadi sesuatu jika jatuh karena harga lensa ada yang jauh lebih mahal dari kameranya.

Kecuali anda adalah fotografer profesional maka prosumer sudah lebih dari cukup. Bahkan DSLR antik Canon 450D yang sempat dimiliki sudah saya jual. Saya pilih Fuji HSX series karena diujung lensa tetap-nya masih bisa dipasangkan filter berukuran diameter 58mm, bisa CPL atau ND dlsb. Tak ada prosumer lain yang bisa seperti ini, aksen fotografi bisa dikreasikan dengan kamera tak terlalu mahal ini. Saya pilih tipe terendah karena menggunakan baterai AA yang mudah ditemukan jikalau lupa men-charge eneloop X. Sayangnya tak bisa menyimpan gambar dalam format RAW namun tak menjadi masalah mengingat saya juga tak pandai menggunakan software photoshop tetapi di tipe atas Fuji HSX bisa merekam dalam RAW.

nexie di kompleks pengolahan teh

 Setelah maghrib menyelimuti kawasan tugu Rimau di ketinggian gunung Dempo, suhu pun turun terus dan penjaga serta para pedagang disitu hendak menutup usaha mereka. Malam memang tak ada kegiatan disitu, bisa saja menginap di Mushalla asal kita bersih dan menghormati rumah Allah itu. Selesai shalat saya menuruni gunung hingga ketinggian cukup guna mengambil gambar lampu-lampu kota. Dari ketinggian dan jarak yang jauh, lampu itu terlihat buram disebabkan kabut tipis yang entah gejala alam musim kemarau atau kabut asap kiriman dari dataran rendah, yang pasti Palembang disaat yang sama sedang diselimuti kabut asap tebal menebal efek dari kebakaran hutan.

Selesai mengambil foto, saya hampiri sebuah villa yang tak jauh dari lokasi memotret tadi. Tanya-tanya harga mencari info yang mungkin berguna suatu saat kelak. Villa berbentuk sebuah kamar saja dihargai Rp.150ribu permalam dan itu yang termurah, di kompleks villa sebelahnya Rp.120ribu namun sedang penuh dan ada acara. Saya coba tawar Rp.100ribu karena saat itu bukan penghujung minggu dan sepi dan tidak diperbolehkan. Sebenarnya saya tidak berminat bermalam di villa karena saya belum lagi melihat kota Pagaralam. Belum mencari kuliner setempat sebagai sisipan kegiatan.  

Akhirnya memasuki pusat kota Pagaralam, masih cukup ramai di malam yang masih sangat muda itu. Putar-putar sempat tersasar karena ada jembatan yang ditutup sedang diperbaiki, diputuskan mengikuti jalan utama saja. Melewati pasar utama kemudian jalanan mengecil, dari dua lajur dengan median taman menjadi satu jalur saja. Kebetulan ada sebuah minimart diujung jalan itu, seketika saya arahkan nexie ke parkiran. Persis disebelahnya ada sebuah rumah makan, RM Dua Putra. Meski saya mencari sop atau makanan hangat tapi tak ada salahnya mencoba makan disitu karena saya lihat cukup bersih dan rapih.

Dari keterangan ibu rumah makan yang ternyata dari Jawa, jawa Lampung tapi, lokasi disekitar itu disebut Simpang Petani atau juga alun-alun karena diseberangnya memang ada sebentuk taman besar seperti alun-alun hanya saja di pemukiman di Sumatera sebenarnya tidak dikenal istilah alun-alun. Pagaralam banyak dihuni pemukim asal Jawa Tengah dan Timur bahkan di pegunungan dan perkebunan teh lebih dari 90 persen orang Jawa. Pantas dari tadi di Rimau dan di villa semua mengaku orang Jawa.

Selesai makan baru saya berbelanja ke minimart yang kasirnya seorang gadis cantik bernama Asmi. *inilah mengapa di awal sekali saya sebutkan menulis adalah pekerjaan yang lebih mengerikan dibanding mengendarai motor. Kalau sampai dibaca istri... lebih parah akibatnya dibanding terserempet bus ALS. Dan saya tak berani menuliskan lebih lanjut tentang Asmi ini...

Sesuai petunjuk Asti, saya menuju hotel Mirasa atau hotel satunya lagi tak jauh dari Mirasa. Tak jadi ke hotel Telaga Biru yang mungkin lebih murah tapi lokasinya di tengah pasar dan kemungkinan kamarnya kecil-kecil. Untuk melepas kepenatan diatas jok nexie yang kecil, saya perlu tempat yang cukup nyaman. Kedua hotel ini terletak di arah menuju Kepahyang atau lurus saja dari Simpang Petani itu. Karena Mirasa yang pertama kali saya lewati dan terlihat cukup asri, seperti bungalow maka saya putuskan untuk menginap disitu saja.

Mandi adalah kegiatan yang pertama saya lakukan di hotel, tak peduli betapa dinginnya air disitu. Kemudian beristirahat dan mencoba membuka facebook di bb. Sepanjang jalan dari Merpas hingga tugu Rimau sulit sekali membuka halaman fb karena minim sinyal 3G dan saya hanya berlangganan paket bb dasar saja. Tapi notifikasinya terus masuk. Ada sebuah notifikasi dari rekan pengelola kegiatan wisata arung jeram di Pagaralam dan dari tadi saya penasaran untuk melihatnya. Oh oh ternyata dia mengundang di kompleks villa di sebelah tempat saya mencari info. Villa yang penuh dan ada acara tadi. Karena badan sudah cukup lelah, serta belum hapal jalan disini, akibat berputar-putar tersesat, saya hanya ingat jalan menuju villa itu cukup jauh memutar ke simpang Manna dulu.
 
rumah Bari
Keesokan harinya pagi-pagi sekali saya bersiap melanjutkan perjalanan. Etape berikut adalah etape panjang dan perjalanan per hari juga sangat panjang, melebihi bagian perjalanan Hari Pertama. Sayangnya hotel Mirasa ternyata cukup pelit dengan menyediakan sarapan terlalu sedikit porsinya buat pejalan (traveller) yang menggunakan sepedamotor. Hanya setengah porsi nasi goreng dibanding hotel-hotel lain, bahkan yang lebih murah tarifnya. Dan segelas plastik kopi encer.

Mungkin sebaiknya justru tidak menyediakan sarapan sekalian. Tapi mengingat Mirasa juga sebuah restoran, seharusnya mereka memberikan sarapan dengan ekstra baik agar citra restorannya ikut terangkat, kemudian dilain waktu sang traveller akan mencoba makan di restoran Mirasa atau merekomendasikan pada rekan atau menuliskan dengan baik. *Untuk tulisan dalam versi bahasa Inggris yang akan dikirimkan ke lonely planet, bagian ini akan saya tiadakan.  Yang lebih menyedihkan adalah kopi yang disediakan dalam gelas plastik, apakah gelas beling terlalu mahal di Pagaralam, entahlah... Gelas plastik ketika dicuci dengan sabun colek akan menyimpan bau sabun dan bagi penikmat kopi bau sabun itu sangat mengganggu.
 
saya di depan Mirasa
Jam 8 pagi saya telah bersiap melanjutkan perjalanan. Semua peralatan lenong telah naik diatas motor. Dan lanjut jalan dengan tujuan pertama adalah menambah sarapan di rumah makan diluar. Dan RM Dua Putra kembali menjadi pilihan karena inilah yang pertama saya temukan. Sebetulnya ingin juga mencoba warung kecil penjual sarapan seperti bubur ayam, lontong sayur atau nasi uduk jika ada. Hanya saja karena ingin bersegera saya kembali makan di tempat semalam, rasanya cocok dan murah tidak sebanding dengan tempatnya yang cukup mewah. Kebetulan saya juga ingin membeli masker di minimart. Perjalanan hari itu akan melalui kota-kota yang biasanya berdebu, bahkan jika tidak memintas jalan akan melalui jalur perlintasan truk-truk batubara, sedetik saja berada di belakang truk batubara maka dijamin semua bagian wajah menghitam hingga kedalam lobang hidung. *kasir minimart pagi itu ternyata masih gadis cantik semalam.

Selesai makan saya putuskan untuk kembali melihat-lihat kota. Kali ini tidak tersesat karena hari terang membuat mudah menerka jalan. Saya menemukan sebuah Rumah Bari di desa PagarJaya. Rumah ini merupakan bentuk rumah adat khas dataran tinggi Pasemah serta paling asli menurut keterangan dari pemiliknya, bang Yunus. Bentuk atapnya mirip rumah gonjong minang hanya gonjongnya lebih tegak sedikit.

Dilanjut menuju pabrik pengolahan teh milik PTPN 7. Kemudian mendaki memutar melewati jalan semalam ketika turun dari Rimau. Dan tembus kembali di Gunung Gare. Melirik jam, ternyata sudah cukup siang. Sikap tidak disiplin saya ini berbahaya bagi perjalanan karena di etape 8 menanti sebuah jalur yang rawan begal. Jika saja saya mengendarai motor yang lebih kencang atau dengan rombongan lebih dari 3-4 orang tak akan menjadi masalah.

Segera saya menuju SPBU di dekat simpang Manna, simpang ini disebut demikian karena salah satu jalannya menuju kota Manna sekian puluh kilometer dibawah sana. Ternyata pertamax disini habis diakibatkan premium sudah habis juga dari kemarin. Sedikit menyesal seharusnya saya isi dari kemarin malam. Antrian kendaraan mengular menunggu premium yang sedang dicurah. Tak mungkin menunggu, saya lanjut saja Etape 7 dari SPBU itu tanpa mengisi, menurut petugasnya di depan arah ke Lahat masih ada SPBU tidak terlalu jauh.

rumah-rumah di Pagaralam


HARI KETIGA

Etape 7, Pagaralam – Baturaja 170 km; Jam 11.25 – 14.30 dan 15.30 – 16.55

Seharusnya etape ini dibagi menjadi dua bagian; Pagaralam – Semende Darat Laut dan Semende DL – Baturaja. Tapi karena saya tak tahu ada apa di Semende maka saya jadikan satu saja. Sama sekali saya lupa sebagian besar apa yang ada disepanjang jalan ini, lebih dari 10 tahun lalu pertama dan terakhir melalui jalan pintas Pagaralam – Baturaja ini. Yang teringat hanyalah air terjun mendekati penghujung jalan pintas, kemungkinan termasuk wilayah simpang Meo. 

Saya sempatkan berfoto di perbatasan kota Pagaralam arah Lahat yang juga tempat bersejarah sebagai medan pertempuran antara pasukan republik dengan agresor Belanda. Kontur alam disitu memang sangat cocok untuk menyergap pasukan agresor yang jauh lebih baik persenjataannya. Kakek almarhum pernah ikut bertempur disitu seperti diceritakan ayah.

Dan setelah kecewa karena pertamax juga habis di SPBU Pagaralam yang kedua serta antrian premium demikian panjang. Saya beli eceran Pertamini 2 liter Rp.16.000 dan berharap cukup hingga tiba di Jalinsum (tengah) nanti. Dan tak lama saya menemukan kembali jalan mirip di perbatasan kota tadi. Serta menemukan relief penyambutan, nampaknya batas kota telah digeser hingga di jembatan dekat persimpangan ke Baturaja.

Kemudian tibalah di simpang Tebat (kalau tidak salah, CMIIW) dan saya berbelok ke kanan memasuki jalan yang jauh lebih kecil dibanding jalan Pagaralam – Lahat. Ada papan petunjuk bahwa jalan yang saya pilih adalah arah Baturaja. Dan terus saja saya ikuti jalan yang masih berada di wilayah kabupaten Lahat. Ternyata ada sebuah desa bernama Kota Agung disitu. Setelah melalui perkebunan tanpa pemukiman beberapa kilometer tibalah di kecamatan Semende Darat Laut. Sepertinya ada perubahan, seingat saya dulu hanya bernama Semendo dan kini ada tambahan Darat Laut, mungkin ini kecamatan pemekaran. 

Perjalanan yang saya kira dekat saja, bisa tembus dalam 1 jam ke simpangMeo, ternyata cukup jauh. Setelah memasuki ibukota kecamatan Semende saya lihat ada papan petunjuk jalan mengarah kepada dua buah lagi kecamatan yang membawa nama Semende, artinya ada 3 atau bahkan 4 kecamatan Semende kini, sebentar lagi jadi kabupaten pasti. Suku Semende ini suka mengembara, menghuni bukit-bukit yang tidak ditempati suku-suku asli lain. 
pemandangan disekitar perbatasan MuaraEnim dengan Lahat

Di propinsi Lampung banyak sekali perkampungan orang Semende, yang cukup terkenal dan telah menjadi kota kecil adalah Bukit Kemuning. Bahkan hingga ke ujung Selatan Lampung, di dekat rumah saya menjelang Bakauheni ada desa yang dihuni oleh suku Semende. Di Bengkulu juga banyak sekali, apalagi di wilayah kabupaten Kaur yang berbatasan dengan wilayah suku Semende yang termasuk di Kabupaten OKU Selatan. Andai semua entitas suku Semende pulang ke wilayah asalnya maka Semende bisa jadi lebih besar dari kabupaten induknya, Muara Enim. 

Saya sengaja melewati pasar Semende tanpa istirahat, dari perbatasan Pagaralam tadi hanya berhenti untuk ambil beberapa foto saja tanpa minum apapun. Mungkin cukup lama juga saya berhenti memotret, bahkan sempat memasuki kebun yang mirip dengan tebing kraton yang sedang tren di Bandung, tepatnya di perbatasan kabupaten Lahat dengan Muara Enim. Yang saya incar guna beristirahat adalah air terjun. Jam sudah menunjukan pukul 13.45 di pasar Semende.

Ternyata setelah menikung ratusan kali menempuh belasan kilometer dari pasar Semende, tak jua sampai di penampakan air terjun yang saya lihat dulu, saat melirik ke fuel meter ternyata merunduk ke E. Segera isikan 1 liter begitu menemukan sebuah kios bensin. Ternyata kios itu juga sebuah warung makan dengan judul Ponorogo. Saya coba melihat kedalam tapi tidak tertarik untuk makan disitu, suram apalagi masih full perut inisetelah sarapan setengah porsi dan sarapan siang sebagai tambahan. Ternyata bensin eceran disitu bernilai Rp.10.000 dengan bonus 4 buah permen, uang 20ribuan dikembalikan 10ribu dengan 4 buah permen. 

Setelah beberapa kilometer kemudian nampak sebuah jurang tinggi yang jelas terlihat dasarnya adalah sebuah lembah permai. Sekalian berisitirahat sejenak akibat terlalu lelah menikung dengan gaya pembalap road race. Entah berapa ratus bahkan ribu tikungan sejak dari Pagaralam tadi memacu nexie di kecepatan maksimal yang aman, demi membelah pegunungan dan perbukitan Sumatera Selatan secepat mungkin. Diatas lembah saya ambil foto, tidak terlalu bagus jika nampak difoto meski dengan sudut terlebar. Sesaat kemudian saya lanjutkan mengejar point of interest yang telah ditetapkan sebelum perjalanan dimulai. Tidak sampai satu kilometer rasanya, seketika nampak dikejauhan, di dinding lembah yang berhadapan, sebuah air terjun ganda. Ternyata di lembah ini letaknya. Saya berhenti lagi untuk memotret sekalian melihat situasi jalan menuju air terjun itu. Saya tidak sempat melihat jam, tapi dari exif kamera terlihat saat itu jam 14.15. Hanya merasakan saat itu telah demikian sore. 

Nampaknya ada jalan dibawah, karena jalan ini terus menurun. Benar saja tak jauh dari tempat memotret tadi, ada sebuah jembatan dan diseberangnya terdapat persimpangan. Sebuah papan petunjuk menuliskan “Air Terjun Curup Tenang > 1km”. Langsung saja belok masuk persimpangan itu. Loh... ternyata desa itu bernama Indramayu, kecamatan Bedegung kabupaten Muara Enim.
Air terjun ini sudah menjadi obyek wisata yang cukup baik. Berbagai fasilitas tersedia cukup lengkap, bahkan beberapa kolam pemancingan juga ada. Sayangnya tarif masuk yang dikenakan cukup tinggi, Rp.5000 untuk orang dan Rp.10.000 untuk motor. Parkir motor yang aman adalah didepan di dekat pos penjagaan, meski sebenarnya bisa menggunakan motor lebih mendekati tapi menurut penjaganya, parkiran di dalam tak ada yang memperhatikan apalagi motor saya ada tas samping yang tak saya lepaskan disitu.
 
Air Terjun Curup Tenang di Bedegung
Rencananya istirahat malah jadi berolahraga. Air terjun harus dihampiri dengan berjalan kaki lumayan jauh. Terpaksa jaket yang masih terpakai saya lepaskan karena cucuran keringat. Sesampainya di warung terdekat dengan air terjun saya memesan teh dalam kemasan dengan es. Selesai mengambil beberapa foto, karena saya tak pandai menjalankan photoshop maka harus ambil gambar dengan berbagai setting-an serta kemudian memilih hasil terbaik. 

Hampir satu jam di air terjun Curup Tenang, curup berarti air terjun dalam bahasa setempat, mirip sebutan di JawaBarat: curug. Jam terus berdetak padahal saya harus segera melintasi daerah yang terkenal rawan begal dalam perjalanan hari ini. Kemungkinan bisa menembus hingga Bandarjaya sebelum terlalu malam masih ada. Tapi semua asumsi hanya berdasar ingatan yang sudah banyak terkikis selama belasan tahun.

Tanpa membuang waktu lagi saya lajukan nexie hingga dalam beberapa menit telah melampaui simpang Meo. Ingatan memang tak selamanya benar, saya mengira cukup beberapa menit saja dari simpang Meo ke Baturaja. Hampir 1 jam menaklukan Jalinsum yang lebar untuk mencapai jarak 56km. Sempat pula terpaksa menambah bensin eceran lagi di Singapura, sebuah nama desa yang unik. Sayangnya karena terburu-buru tak sempat memotret plang di depan kantor desa itu.
Jalanan menuju Baturaja mengikuti alur sungai yang dipenuhi riam kecil dan ringan. Sepanjang sungai banyak sekali yang sedang bermain air, bukan mandi. Mereka menggunakan ban dalam bekas traktor selebar 1,5 meter lebih bermain arung jeram. Seru juga seandainya punya waktu lebih mencicipi berenang di sungai yang terlihat masih bening. Akhirnya menemukan SPBU lagi dan pertamax disediakan disini. Saya isikan tangki nexie penuh-penuh.

Baru menjelang pukul 17 saya tiba di pasar Baturaja. Saya tidak memilih jalan by pass karena ingin melihat pusat kota, mencari jajanan yang jarang ditemui atau jika ada, jajanan khas. Masih belum terasa lapar tapi memang perut perlu diisi makanan sedikit. Ketika melintas di depan sebuah hotel, terlihat warung pempek dan es kacang. Segera saya hentikan nexie. Dan berakhirlah etape 7 tepat jam 16.55 disitu.


Etape 8, Baturaja – Bandarjaya 214km; Jam 17.25 – 20.00 dan 7.10 – 9.10

Seharusnya ini dibagi 2 juga, Baturaja – Baradatu dan Baradatu – Bandarjaya.
Istirahat di pusat kota Baturaja, saya pesan es kacang merah dan 2 pempek ada’an. Es-nya enak, kacangnya al dente, tidak terlalu lembut tapi juga tidak keras dan saya minta ditambahkan tape singkong. Ada’an adalah salah satu jenis pempek, bentuknya bulat seperti baso dan di warung itu rasanya cukup enak. Selesai membayar Rp.11.000 untuk es dan 2 bulatan adaan, tanpa buang waktu saya lanjutkan perjalanan etape 8. Saya sadar bahwa kecil kemungkinan bisa menembus hingga Bandarjaya dibawah jam 8 malam.

Setidaknya bisa mencapai Baradatu atau Bukit Kemuning adalah target maksimal. Saat keluar dari batas kota Baturaja sudah menunjukan jam 17.35. Dan pas adzan Maghrib sedang melintas di Martapura. Nexie terus saja saya pacu bak kesetanan, hingga ada pengendara motor laki tipe racing yang mengira saya ingin mengajaknya balapan. Tentu saja di bagian jalan yang lurus dengan mudah ia melewati saya. Tapi saat stuck di belakang truk atau bus saya salip lagi, juga ketika ia mengendurkan gas di tikungan langsung bisa tertempel kadang tersalip. 

Sebetulnya bukan ingin membalap tapi memanfaatkan sisa-sisa cahaya matahari agar mencapai jarak sejauh mungkin. Bila hari telah gelap, mata saya sulit melihat dengan baik karena lampu standar terbilang redup. Kemudian pandangan juga terbatas pada area yang tersorot lampu. Padahal saya biasa memandang luas jalan di depan hingga bahu dan jejeran bangunan. Segala hal saya antisipasi, misal seorang anak tergesa keluar dari rumah di jarak 100 meter ke depan sudah menjadi peringatan bagi saya.  

malam di jalinsum
Akhirnya gelap tak dapat ditolak, beberapa belas kilometer dari perbatasan SumSel – Lampung suasana sekitar sudah membiru tua sangat. Tak jauh dari Martapura adalah perbatasan kedua propinsi. Kini saya telah memasuki Lampung lagi. Tapi wilayah kabupaten Way Kanan itu juga bukan daerah aman bagi motor sendirian. Jam sekitar Maghrib juga waktu favorit para kriminil ini beraksi. Modal yakin saja, saya lanjutkan perjalanan karena antara Martapura hingga menjelang Baradatu nanti terbilang daerah yang kosong tanpa pemukiman di sisinya, sebuah daerah yang tepat untuk membegal. Meski mata hampir tak melihat apapun selain bagian yang tersorot lampu, gas nexie masih saya tahan tinggi tapi tidak mentok. Sengaja saya sisakan gas jika ada penampakan mencurigakan di spion bisa saya hentak gas sembari melakukan gerakan preventif. 

Dan tiba-tiba ada sebuah lampu motor nampak di spion, semakin mendekat dan semakin dekat. Dada bergemuruh tak tentu, tangan bergetar dan terasa dingin, disusul sebuah lampu lagi. Pastilah ini mereka, sang penguasa jalan, pikir saya. Tak terasa gas semakin saya tarik. Beberapa kali terantuk gelombang dan lobang kecil jalanan membuat badan terbanting tapi stang saya pegang dengan erat, sempat geal-geol juga karena gelombang berikut lobang berturutan dilindas roda-roda nexie. 

Tapi nampaknya itu lampu dari motor sport yang semakin dekat di bagian jalan lurus dan terlihat menjauh saat memasuki tikungan. “begal pemula nih, nggak berani nikung cepat” pikir saya. Harus memanfaatkan advantage tikungan. Jika nanti di depan tikungan ada sebuah rumah, atau bangunan apapun yang nampak berpenghuni harus segera saya masuki, berpura-pura sudah sampai di tujuan.
Tapi sisi jalan senantiasa kosong, kalaupun ada rumah tapi gelap tak berlampu. Jantung saya sudah berdegup kencang, terpikir untuk menyerah saja, yang penting hidup. Dan ketika jalan lurus cukup panjang, motor itu telah berada di samping. Saya hentak gas sekaligus dan sempat melaju lebih 1 ban tapi motor sport full fairing bermesin tanggung keluaran terbaru dari pabrik berlogo sayap tentu bukan tandingan buat nex. 

Biasanya begal mensejajarkan kemudian pemboncengnya mencabut senjata api menodong memaksa kita berhenti. Atau jika ternyata mereka bukan pemilik senjata api, bisa lebih parah karena main sabet tongkat/rante/golok agar korban terjatuh. Salah satu kiat menolak bala adalah usahakan tetap berkecapatan tinggi, mereka juga tidak terlalu tolol untuk menyabet dalam kecepatan tinggi karena jika terjatuh, motor buruan mereka juga bubar berantakan. Aneh motor ini malah menyalip saja dan sendirian pula malah kasih klakson...

O... oh ternyata itu motor yang tadi merasa balapan dengan saya dari Martapura. Legaaaaa rasanya. Dan sebagai solidaritas, saya ikuti dia tanpa saya coba susul lagi. Akhirnya malah menjadi teman seperjalanan. Wah jika berdua begini saya berani langsung ke Bandarjaya, tapi melihat setelan pakaian pengendara CBR dia adalah orang dekat, mungkin hanya sampai Baradatu. 

Karena itu, saat didepan terlihat neonsign sebuah minmart saya salip dia dan kasih kode mengajak dia mampir. Kami sudah berjalan tak terlalu kencang lagi sejak insiden klakson tadi. Nampaknya ia mengangguk. Dan segera nexie saya arahkan ke minimart. Saat memarkirkan motor saya lihat, pengendara CBR tidak ke minimart tapi ke rumah disebelahnya. Tak lama dia keluar dengan masih memakai jaketnya. 

“Mau kemana, bang?” ujarnya sembari terus mendekat memperhatikan nexie;
belum sempat saya jawab, ia melanjutkan “waah... saya kira ini ep-yu lho, bang!” nampak wajahnya sedikit keheranan. Saya tentu saja angkat kerah sembari menegakkan badan *becanda lho, sebenarnya saya tersipu malu karena sempat mengira orang yang ternyata ramah ini adalah begal.

“Mau pulang ke Bakau. Ya ini ef-yu matik” ujar saya sambil tersenyum menjawab sekaligus.

“ke Bakauheni, bang?? Wah masih jauh banget itu”, “kurang aman jalan di depan, lebih baik menginap saja dulu bang” lanjutnya. “Atau menginap di rumah saya tapi di Martapura, kita balik lagi nanti jam 9an”.

“waduh, terimakasih banyak, memang lagi cari penginapan kok ini tapi ya nggak usah pake balik lagi, disini ada kan, hotel”, “tadinya saya kira mau ke Bandarlampung, mungkin bisa barengan kita” saya menyaut serta lanjut menceritakan bahwa sempat mengira ia begal tadi, makanya tancap gas. Sekalian menerangkan bukan mengajak balapan. Ia memaklumi dan menebak juga bahwa saya pasti mengira dirinya begal.

Lantas ia menceritakan sedang ada urusan disitu, nampaknya ngapel karena tak lama seorang gadis manis muncul dari sebelah dan mengatakan kopinya sudah siap. Ia pun mengajak saya masuk ke sebelah untuk minum kopi. Sebetulnya saya lapar, belum makan sejak sarapan siang tadi tapi demi menghormati saya ikut juga. Sembari jalan ia mengenalkan diri, Iman demikian pula saya menyebutkan nama. 

Sambil minum kopi, Iman berulang-ulang menyatakan kekagumannya dengan si FU matik. Iman juga menyatakan bahwa ia berasal tidak jauh dari Bakauheni, tepatnya di Palas Sukamulya. Wah ini namanya ketemu orang sekampung. Palas tidak jauh dari rumah saya dan saya tahu bahwa Sukamulya dihuni oleh pemukim asal Tasikmalaya. Langsung saja saya praktekan bahasa sunda. Obrolan menjadi semakin akrab. Dan Iman semakin kaget mengetahui saya baru saja dari Pagaralam dan semakin kaget mengetahui bahwa melalui Bengkulu untuk ke Pagaralam dan baru pulang via Jalinsum, “wanian euy si akang teh, meuni sorangan deui” begitu kira-kira ungkapannya.

Tak terasa sudah jam 19.30, saya segera pamit untuk meneruskan perjalanan. Iman berkeras mengajak menginap di Martapura, sebenarnya di jalan antara Martapura dengan Baturaja. Terlalu jauh jika musti balik lagi kesana. Dan ternyata juga, Iman adalah karyawan RM Siang Malam yang kini ditempatkan di cabang Baturaja. Sebelumnya memulai sebagai asistant of chef di Siang Malam didekat rumah kami. Dunia tak selebar daun kelor tapi daun kelor bisa selebar dunia juga...

Dan saya lanjut menarik gas dengan pesan agar berhati-hati, berulang-ulang dari Iman dan tunangannya. Saya menyadari tidak mungkin juga untuk terus-terusan membiarkan jantung berdetak kencang mengira-ngira begal. Kalaupun selamat dari tindak kriminil, bisa jadi stroke saya kambuh di Bandarjaya.

Baradatu ternyata sedang dilanda pemadaman listrik bergilir, pantas gelap semua dari tadi. Karena gelap pula beberapa penginapan di Baradatu tak terlihat oleh mata rabun ini. Akhirnya saya terus saja hingga Bukit Kemuning. Ada penginapan juga disitu, pasti. Bukit Kemuning jauh lebih besar dari Baradatu, kota persimpangan dan tempat istirahat kendaraan umum sejak jaman dahulu kala. Hanya dibutuhkan waktu kurang lebih 30 menit dari Baradatu untuk tiba di Bukit. 

Sekitar jam 20.00 saya masuk penginapan Murni, ditengah keramaian pasar Bukit Kemuning sebelum pertigaan besar dari arah Utara. Mengambil kamar seharga Rp.75.000,- . Saya memesan kopi dan menanyakan makanan, ternyata tidak bisa memesan apapun di penginapan itu. Sekedar air panas segelas juga tak bisa padahal saya punya kopi dan energen sachet. Terpaksalah saya keluar mencari makanan di warung seberang. Setelah kembali ke hotel, saya mandi dimana ruang mandi berada diluar kamar, tepatnya satu di lantai bawah kamar. 

Selesai mandi saya cek sosmed di internet melalui smartphone, kemudian terlelap. Subuh saya terbangun, kamar hotel ditengah pasar ini kecil sekali, tak memungkinkan menggelar sajadah. Segera saya keluar mencari kopi dan sayangnya penjual kopi cukup jauh di bagian lain pasar. Dan kebetulan melalui sebuah Mesjid maka saya sempatkan Subuh-an.

Sembari ngupi saya unggah ke sosmed foto suasana subuh di Bukit Kemuning. Sekembali dari warung kopi, saya bersiap, mandi. Kemudian melanjutkan perjalanan.  Jam 7.10 pagi start dari hotel Murni yang pelit itu. Andai tak kuatir begal, andai berombongan dengan 1-2 orang lagi saya yakin tadi malam pasti lanjut. Dan menjelang subuh kemungkinan besar bisa sampai kembali di rumah di Bakauheni. 
subuh di Bukit Kemuning

Hal penting dalam melintasi daerah rawan begal adalah bergerak secepat mungkin seperti saya sebut diatas. Dan atur rombongan untuk selalu berjarak rapat. Motor dengan pengendara paling besar tubuhnya atau paling berani berada paling belakang. Nomor dua dari belakang adalah motor dengan pengendara paling cepat. Jarak antar motor jangan lebih dari 10 meter, hal ini diperlukan latihan untuk menjaga jarak dalam kecepatan tinggi. Pengertian antar pengendara juga perlu dibahas sebelumnya agar semakin saling memaklumi. Jika membawa tripod lebih baik lagi diikat di tubuh sebagai penghalang sabetan senjata begal. Memungut bambu atau kayu sebelum melintas serta membawanya dengan diikat diselempangkan juga tindakan yang tidak buruk. 

Perkiraan saya bisa tembus dalam 2 jam hingga Bandarjaya dari Bukit Kemuning. Dan dari Bandarjaya sekitar 3-4 jam sampai Bakauheni. Perkiraan ini ditunjang dengan mulus dan lebarnya Jalinsum. Tak meleset perhitungan jam 9 sudah melewati Jembatan Terbanggi Besar. Dan saya sudah berjanji akan bertemu dengan sahabat yang saya kenal melalui sebuah forum bersepedamotor di Bandarjaya sekitar jam 9 pagi ini.

Jam 9.10 saya menamatkan etape ini didepan Mesjid Agung Bandarjaya. Karena parkiran motor di depan Mesjid terasa terik tersorot matahari dan sangat kebetulan saya juga belum sarapan kecuali beberapa potong roti saat ngopi subuh tadi, saya geser ke RM Minang Indah. Seingat saya baru kedua kali nya saya makan di restoran Padang dalam perjalanan kali ini, setelah pertama di Krui. 

Lebih dari 1 jam saya menunggu sohib yang berjanji menemui di Mesjid Agung Bandarjaya. Tapi bulu hidungnya satupun tidak terbawa angin ke lokasi rendevouz, apalagi batang hidungnya ternampak...


Etape 9, Bandarjaya – rumah di Penengahan LamSel 131km atau jika ke Bakauheni 151 km.

Tak banyak yang bisa saya tulis di etape ini karena sudah tidak mencatat apapun lagi. Bahkan saat mengisi kembali bensin saya lupa dimana dan berapa. Ini sudah etape euforia bakal sampai dalam hitungan jam. Beberapa kilometer lagi sudah memasuki kabupaten tempat saya tinggal meski dari batas kabupaten masih 90an kilometer baru tiba di rumah. Yang tercatat hanyalah jam keberangkatan dari Bandarjaya, 10.35 pagi.

Etape ini saya cukup menceritakan mengenai daerah Bandarjaya yang menjadi besar karena merupakan tempat istirahat berbagai angkutan umum. Bukit Kemuning masih terhitung rawan sehingga kendaraan besar pengangkut barang hanya sekedar berhenti makan atau minum kopi saja karena disitu juga pusat perkulakan kopi terbesar di Lampung. Sementara di Bandarjaya kendaraan bisa istirahat dan parkir bermalam tanpa gangguan. Dua Jalan Lintas Sumatera masih melalui Bandarjaya, Jalinsum dan Jalintim. Jalinbar masih sepi dari truk karena beberapa tanjakan/turunannya terkenal ekstrim. Meski ke Bengkulu atau Padang jauh lebih dekat melalui Jalinbar, truk bermuatan penuh berlebih akan tetap memilih Jalinsum menuju kedua ibukota Propinsi itu.

Setelah Bandarjaya adalah GunungSugih yang merupakan ibukota kabupaten Lampung Tengah, hanya sebuah desa yang mendadak jadi kota beberapa belas tahun lalu karena menjadi lokasi perkantoran pemkab. Awalnya pusat pemerintahan LamTeng adalah di Kota Metro, sejak ditetapkan sebagai Kotapraja dengan Walikota dan administrasi sendiri, ibukota digeser ke GunungSugih. Metro tidak terletak di Jalan Lintas yang manapun, kota ini merupakan pusat pemukiman transmigran kedua setelah Gedong Tataan re: Pringsewu. Tapi karena datarannya lebih luas dan rata, lebih banyak transmigran yang dikirimkan kesitu. Seperti juga di Pringsewu, di kota ini seperti berada di Jawa saja, bedanya dengan Pringsewu, masih banyak orang asli Lampung Tengah bertempat tinggal disini mengingat dahulu adalah pusat pemeritahan kabupaten.

Saya hanya melewati persimpangan menuju Metro dan tidak masuk kedalam kota yang berjarak sekitar 30km dari Jalinsum. Persimpangan menuju Metro sudah terletak di kab Pesawaran yang beberapa tahun lalu masih Lampung Selatan. Tak jauh dari situ sudah memasuki Lampung Selatan kembali, tandanya adalah Pelud Radin Inten II di Branti. Melewati Natar dan terus memasuki wilayah ibukota propinsi Lampung, Bandarlampung. 

Saya sempat melihat odometer yang menunjukan angka 5600 km lebih, sudah waktunya melakukan perawatan buat si nexie. Jadwal servis gratis yang ketiga terlampaui, daripada saya pulang dan kembali ke Bandarlampung esoknya, saya arahkan nexie menuju pusat pelayanan Suzuki. Salah satu yang saya sesalkan adalah Suzuki menutup pusat pelayanannya di Kalianda, kota kabupaten di dekat rumah saya.
@ Suzuki Centre, Bandarlampung

Setelah singgah di rumah keluarga dari istri, tempat istri menginap selama saya tinggal ke Pagaralam, nexie saya arahkan menuju Bakauheni. Sementara istri dan anak serta supir yang sudah diminta untuk menjemput dengan R4 menyusul dibelakang. Saya sempatkan makan mi sebagai makan siang yang kesorean di kota Kalianda. Mie pangsit Ade Wongso ini saya rasakan sebagai mie yang paling enak dan pas dengan anggaran yang memang sudah tipis, kalau tidak salah tersisa Rp.20.000 sesampainya di rumah. Artinya saya tidak sampai mengganggu duit SHU yang saya ambil dari PLS, Merpas.

_________________________________


 
* Sekedar mengingatkan, Jalinsum = Jalan Lintas Sumatera adalah jalan yang pertama ada  melintasi Sumatera dari Lampung (Bakauheni) hingga Banda Aceh, biasa juga disebut Jalinteng.

Jalinbar = Jalan Lintas Barat, hitungannya berawal dari Bandarlampung ke arah KotaAgung dan terus hingga bertemu Jalinsum di Padang Panjang, Sumbar.

Jalintim = Jalan Lintas Timur berawal dari Terbanggi, Bandarjaya hingga Medan, Jalinpantim  Lampung adalah sambungan Jalintim dari Bakauheni hingga bertemu Jalintim di Menggala.


Demikian catatan perjalanan ini, semoga bisa sedikit membantu bagi yang merencanakan berpetualang 3-4 hari di Sumatera. 


Bagi yang dari Palembang saya menyarankan rute: Palembang-Baturaja-Muaradua-Liwa-Krui-Merpas, 450an km dan kembali melalui rute Merpas-Manna-Pagaralam-Lahat-Palembang dengan jarak yang hampir sama 450an kilometer juga. Seperti tertera di Peta Rute> Palembang-Muaradua-PLS-Pagaralam-Palembang
 
Sampai jumpa di perjalanan yang akan datang...

Ringkasan di link ini (klik disini) 

Pagaralam Solorun bagian ketiga

HARI KEDUA

Etape 5, Merpas – Manna 104km; Jam 10.25 – 12.20
Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, sengaja berangkat agak siang demi mensimulasikan bahwa baru tiba di Merpas malam sebelumnya dengan kemungkinan bangun kesiangan, berenang menikmati laut dulu dlsb. Persis sebagai pejalan yang belum pernah singgah di PLS lain, sebagaimana pembaca sekalian nantinya jika menyempatkan mengambil jalur-jalur yang saya sampaikan disini.
Saya sudah cukup hapal juga bahwa jalan menuju Manna dari PLS akan mulus dan cukup lebar. Tikungan juga terhitung lebar-lebar meski banyak juga yang cukup tajam, biasanya menjelang sungai dan jembatan serta sesudahnya. Ini disebabkan sungai yang terletak di bawah lembah, sehingga saat mendekati sungai, jalanan juga menuruni lembah yang biasanya cukup curam.

Pemandangan yang didapat jika mencoba keluar dari Jalinbar, mendaki bukit
Tidak jauh dari PLS Merpas ada sebuah SPBU yang baru, hampir seusia dengan SPBU Lintik di Krui. Saya yakin disana akan menjual pertamax. Meski fuelmeter telah tandas kebawah, saya paksakan sampai di SPBU tersebut. Setelah sekitar 15 km dari gerbang PLS sampailah di SPBU Maje (Bintuhan 2). Saya isikan nexie, pertamax senilai Rp.42.000 dengan harga perliter sama, Rp.12.500,-.
Perjalanan di jalan yang banyak lurus sebetulnya membosankan tapi karena pemandangan hijau kadang dipadu birunya laut, ditingkahi rumah-rumah panggung kayu yang kecoklatan membuat pikiran segar. Tak terlalu bosan juga. 
Disekitar Merpas hingga Bintuhan banyak ditemui tumpukan pasir hitam, itu adalah hasil tambang setempat berupa pasir besi. Diduga pasir besi ini diangkat oleh tsunami jaman purba ke daratan mengingat tidak adanya sumber besi di pegunungan diatasnya. Memang pesisir Barat Sumatera dari Aceh hingga Lampung adalah ‘tsunami sites’. Beberapa ratus tahun sekali akan dilanda tsunami, di wilayah Bengkulu terakhir tercatat tahun 2007 tapi tak terlalu besar dan 1830an setinggi 6 meter. 
Jalan antara Merpas hingga Manna senantiasa mulus sejak belasan tahun lalu. Tapi hal ini lebih disebabkan tak ada truk bermuatan berlebih melintas disini. Bukan karena sikap tegas petugas jembatan timbang namun akibat penghalang pada jalan saat selangkah memasuki Lampung. Penghalang itu berupa tanjakan curam Tebing Manulla yang tak kalah mengerikan dibanding Sedayu dan Tebing Mayit. Entah sudah berapa puluh truk yang tak kuat menanjak hingga merosot mundur dan masuk jurang yang menanti baik disisi kanan maupun kiri. Bagi saya yang arah ke Bengkulu, Tebing Manulla adalah turunan, dan saya lintasi di hari pertama malam hari. Tapi kini sedang dibangun jalan alternatif agar tak lagi perlu melintasi jalan maut tersebut.

*Manulla diambil dari makam atau di Lampung disebut keramat seorang penyebar Islam bernama Syekh Aminullah yang kapalnya kandas karam di pantai dibawah tebing itu.
**Jangan kaget jika makam seorang  penjahat juga disebut keramat, bukan berarti makam yang keramat tapi sekedar makam biasa, karena keramat = makam dlm bahasa Lampung.

Pantai Hili, foto diambil th 2011
Tanpa terasa Bintuhan terlewat, Pantai Hili menyambut, keunikan pantai ini: dipenuhi dengan hamparan batu sebesar kepala bayi. Jika terpikir oleh-oleh untuk istri menguleg sambal di rumah, silahkan singgah dan pilih sendiri batunya. Kemudian terlintas pertigaan Muara Sahung, jika masuk ke jalan Muara Sahung akan tembus hingga Pulau Beringin  terus ke Banding Agung ditepi Ranau bagian SumSel, tapi masih harus menempuh jalan tanah. Yang menurut Jon Henri kemarin tinggal sekitar 5-6 km.
Kemudian wilayah utara Kaur yang biasa disebut Padang Guci. Dan nampaknya kini sedang kasak kusuk membentuk kabupaten baru yang diberi nama Besemah Selatan. Kemungkinan penduduk wilayah Padang Guci – Tanjung Kemuning adalah suku Besemah/Pasemah berasal dari dataran tinggi Besemah yang menjadi tujuan akhir perjalanan saya. Disini ada sebuah jembatan panjang dan jika sempat berhenti ditengah kemudian menoleh ke kiri (Barat) maka terlihat sebuah air terjun kecil yang jatuh langsung di lubuk dari sungai atau aiie (air) dalam bahasa setempat.

Pemandangan di jalan menuju Manna
Tak jauh dari jembatan, terlewatilah perbatasan kabupaten antara Kaur dan Bengkulu Selatan. Kemudian lagi-lagi ditemukan pencabangan jalan yang membingungkan karena sama besar kedua jalan lanjutan. Apalagi kedua cabang jalan didepan membentuk sebuah jalan lurus, seperti jika kita keluar dari jalan kecil masuk jalan yang lebih besar. Belok kiri atau kearah Barat adalah jalan yang semustinya menuju Manna. Dan gapura kota Manna pun terlampaui.
Di depan ada sebuah cabang jalan lagi, dari papan petunjuk tertulis ke kiri adalah menuju Pantai Pasar Bawah. Jika masih ada waktu, bagus juga melewati jalan lama tersebut, jalan itu melewati pantai terus ke kota Manna. Akhirnya sampai di Simpang Rukis, kota Manna, persimpangan ramai yang kedua di kota Manna. Karena di propinsi Bengkulu tidak ada jaringan minimart berantai, saya coba berhenti di minimart atau warung semi swalayan yang banyak terdapat sejak dari Merpas, repotnya hanya, kebanyakan tidak sekomplit minimart berantai. Tapi karena saya di Manna, kota yang lumayan besar saya perkirakan bakal komplit. Benar saja, yang saya cari tidak ada, adanya jenis lain, semerk dan sama-sama hitam bungkusnya. Yang saya cari hitam kombinasi biru, adanya hitam kombinasi hijau. Terpaksalah beli yang ada saja.
Tak jauh saya rencanakan makan siang sekaligus menamatkan etape 5 disitu. Sebuah rumah makan bernama Riung Bandung yang dimiliki oleh orang sunda, tentu masakan sunda tapi sudah dimodifikasi dengan lidah setempat, seperti biasa ditambah cabai dan merica bumbu-bumbunya. Ternyata RM RiungBandung tutup, entah karena sudah bangkrut yang tidak mungkin karena biasanya sangat ramai disitu pada jam makan siang, kemungkinan besar karena mudik Lebaran Haji. Akhirnya saya putuskan untuk makan tak jauh disebelahnya, terus terang karena saya tertarik dengan sub judul warung tersebut “Masakan Jemau Kitau”, wajib dicoba nih... Jadilah saya akhiri etape ini di RM Panorama, masakan khas Manna.
Panorama Jemau Kitau
 

Etape 6, Manna – Tugu Rimau, Pagaralam 103km; Jam 13.15 – 14.25 dan 14.55 – 17.50
Begitu memasuki warung makan langsung saya ke bagian display makanan. Hmmm... mirip sekali masakannya dengan Minang, serba bersantan. Saya lihat ada cincang dua macam, satu berbumbu khas minang santan dan merah sementara yang satu lagi seperti opor. Kemudian ada ikan nila goreng yang disebut sebagai mujair, tadinya saya berharap ada ikan laut mengingat Manna adalah kota di tepi Samudra. Tapi mungkin si pewarung dari sisi daratan atas Manna yang dengan aiie Manna sebesar itu pastinya ikan air tawar juga menjadi favorit disini.
Selesai makan, saya sempatkan memotret warung dari jalan. Baru kemudian melanjutkan perjalanan etape 6. Jam 13 kurang sedikit saat meninggalkan warung. Tapi saya putar-putar dulu sang kota kenangan. Ada sedikit romansa “sephia” membekas di kota ini *bukan untuk ditiru, bukan pula saya mencontohkan.
Walaupun meteran bensin si nexie masih lumayan, saya mencari pertamax dulu atau jika tak ada cukuplah premium. Mengingat dari Manna hingga Pagaralam 80 km tak bakal ada SPBU. Sebetulnya ada SPBU dan menjual peratamax juga menjelang simpang Rukis tadi, masih di tepi Jalinbar tapi saya lihat sepi, tak ada pelayanan serta pompa premium dan solarnya ditutup kain pembungkus hanya pompa pertamax yang dibuka. SPBU lain di Manna ini bukan di tepi jalan menuju Pagaralam tapi agak masuk kedalam kota. Saya Isi bensin Pertamax Rp 33.000 disini, jarak dari SPBU Maje tadi hampir 100km.


kota Manna jalan menuju ke Pagaralam


Dan jalanan keluar Manna arah Pagaralam mulai mendaki, sedikit demi sedikit pendakian makin terasa. Hingga melewati bagian dari kecamatan Pino. Saya jalan tidak terlalu cepat disini karena ingin menikmati pemandangan dan kehidupan sehari-hari disitu. Hanya 1 kali belasan tahun lalu saya melalui jalan ini, itupun dengan membetot gas kuat-kuat karena sudah terhambat semalaman dan memutar 200an kilometer akibat jalan di Krui terputus. Saya perhatikan apa saja yang ada di tepi jalan, terutama warung, bengkel ataupun tambal ban. Saya rekam di kepala sehingga jika suatu waktu lewat lagi dan terjadi masalah bisa diantisipasi. Tak lupa menikmati pemandangan dan memperhatikan sungai/aiie Manna, memperhatikan titik pemancingan.
Ternyata banyak juga rumah menyerupai villa dengan kolam ikan sepenuh halaman, seakan rumah itu terapung di kolam. Tiba-tiba saya melihat sedikit keanehan, sebuah bangunan gereja baru selesai dibuat. Apakah banyak pendatang dari jawa disini, pikir saya. Setahu saya semua adalah penduduk asli, pendatang dari Jawa atau Jawa Lampung hanya banyak di wilayah Merpas dan di sebelah Utara kota Bengkulu serta disekitar Curup. Mengapa gereja saya asosiasikan dengan orang Jawa, karena di wilayah Lampung gereja hanya terdapat di pemukiman Jawa dan penduduk asli tidak ada yang beragama selain Islam. Sementara untuk mengasosiasikan dengan orang batak jelas tidak mungkin karena sedikit sekali saya menemukan tambal ban sepanjang jalan itu *hehehe kalimat terakhir ini hanya guyon, becanda, jangan marah ya lae...
Sambil masih mengira-ngira ternyata perjalanan sudah cukup jauh dan menjelang penghabisan pemukiman di tepi jalan Manna-Pagaralam di wilayah Bengkulu. Ketika keluar sebuah tikungan tak jauh dari gereja tersebut, saya terhenyak karena sebuah air terjun lumayan besar terlihat di tepi sebuah jembatan. Cukup ramai pengunjungnya di hari yang panas itu. Jejeran warung juga menghias sisi lain dari jembatan itu. Segera saya hentikan nexie di warung pertama.
Saya memang ingin minum kopi, kopi asli setempat, karena ketinggian di daerah itu sudah cukup untuk tanaman kopi, beberapa kali saya melintasi kebun kopi sebelumnya. Semakin kabita untuk menenggak minuman penambah daya jelajah itu. Setelah pesan kopi, langsung saja mencabut senjata, Fujifilm HSX25EXR kaliber 58mm. Dan terabadikanlah aiie Luguran itu, demikian namanya disebut penduduk Manna dan sekitarnya. Dan memang bukan air jatuh 90 derajat, hanya berupa turunan air yang sangat tajam.
Air Terjun Luguran
Saat meminum kopi, saya sempatkan mengobrol. Tak lama kemudian ada serombongan anak muda menggunakan mobil pick up mendatangi air terjun membawa drum-drum dan ember, hendak mengambil air. Saya tanyakan pada pewarung mengapa dan darimana mereka, jawabannya adalah karena mereka sedang hajatan sehingga sumur yang menyusut menjadi kurang airnya. Mereka tinggal disekitar gereja, lanjut keterangan pewarung. Kebetulan, saya tanyakan soal gereja, ternyata memang ada penduduk asli setempat yang menganut Protestan sejak akhir 1965 terutama. Saya tahu bahwa sedikit lagi didepan, di wilayah Tanjungsakti, Lahat, SumSel banyak juga penduduk asli yang menganut agama selain Islam. Pewarung melanjutkan keterangan bahwa jika di Tanjungsakti memang banyak penganut Katholik sejak dulu kala, jaman Belanda.
Setelah kopi tandas dan obrolan juga komplit dari keterangan mengenai diri saya, motor Suzuki nex yang baru pertama mereka lihat dan saya dapatkan keterangan mengenai aiie Manna, ikan yang bisa dipancing dlsb. Maka saya pun pamit, melanjutkan perjalanan. Cukup jauh juga sisi jalan kosong tak ada rumah penduduk, kebun dan hutan saja mengisi pemandangan. Bahkan ketika melintasi perbatasan Bengkulu dan Sumatera Selatan tak ada gapura yang menandakan. Hanya sebuah patung burung Garuda yang lebih diasosiasikan sebagai batas wilayah teritorial militer antar KOREM.
Saat mata menyapu pemandangan saya melihat dua orang pemancing sedang melemparkan kail berumpan singkong rebus. Sejenak saya singgah, mereka memancing di sebuah lubuk, tikungan sungai yang biasanya cukup dalam. Mereka duduk diatas sebuah pondasi jembatan gantung yang sedang dibuat. Menurut keterangan pemancing ini, mereka mengincar ikan Hampala atau Besemah. Sama seperti keterangan yang saya dapat di warung kopi aiie Luguran tadi.
Tak terhitung jumlahnya jembatan gantung yang dibuat masing-masing ini. Setiap pemilik kebun atau rumah terpaksa membuat jembatan sendiri, jembatan pribadi untuk menuju jalan raya sebagai sarana transportasi cepat. Mengingat satu-satunya jembatan yang menyeberangi sungai Manna berjarak beberapa kilometer hingga belasan kilometer dari kebun mereka padahal jalan raya ada didepan mata diseberang sungai.
Ketiadaan batas ini membuat saya mengira pemancing tadi masih berada di wilayah Bengkulu dan ternyata saya salah duga. Mungkin karena dahulu wilayah Tanjungsakti sempat masuk wilayah Bengkulu sehingga tak ada batas berupa gapura. Hanya saja akibat jalan menuju Manna senantiasa terputus longsor akhirnya penduduk meminta untuk kembali menjadi bagian dari Sumatera Selatan. Hingga kini TanjungSakti menjadi kecamatan di kabupaten Lahat. 
Jembatan Pulautimun, area berarung jeram Pagaralam
Sebelumnya persepsi saya perbatasan propinsi adalah di Pulautimun sebuah desa di Tanjungsakti, dimana jalanan menyeberangi sungai Manna, sebuah batas alam. Setelah senantiasa di sisi kanan jalan, kini sungai berada di sisi kiri. Tetap mengikuti aliran aiie Manna hanya berpindah sisi saja.
Jalanan terus saja mendaki tak henti. Melewati pedesaan Tanjungsakti yang berumah panggung tinggi dari kayu. Sungguh asri nuansa disini. Dan toleransi kehidupan beragama juga tinggi mengingat ada dua agama yang menjadi mayoritas disini. Sejak dari aiie Luguran hingga Pulautimun tak ada rumah penduduk di sisi jalan namun sejak jembatan besar tadi mulai terlihat perkampungan lagi. Sembari memacu motor saya memperhatikan jika ada gereja tua untuk difoto. Tapi mungkin terlalu cepat memacu, tak nampak sebuah gereja pun.  
Setelah melewati pertigaan yang nampaknya mengarah ke kecamatan pemekaran dari Tanjungsakti, sisi jalan kembali kosong dari rumah. Tikungan mulai cetar membahana kembali dan tak jauh tanda-tanda kota mulai nampak, sisi jalan berpemandangan indah mulai dipenuhi anak-anak muda pada sore-sore yang dingin itu. Motor-motor mereka dijejerkan rapih dan nampak bersenda gurau seperti layaknya orang menjelang dewasa. Serasa usia saya baru 19 tahun saja melihat suasana itu.
Tak saya sangka, ternyata mereka juga sangat ramah. Menawari saya untuk singgah bergabung dengan mereka. “Sini bang, minum dulu” sembari mengangkat botol minuman ringan. Saya jawab dengan “terima kasih, takut kemalaman”. Jam sudah menunjukan pukul 16 lewat banyak dan saya tidak pasti berapa kilometer lagi harus ditempuh. Batas kota saya mahfum sudah dekat tapi tujuan akhir etape ini adalah tugu Rimau dengan jalan berliku mendaki hingga 1900 meter diatas permukaan laut atau naik 1000 meter lebih dari ketinggian rata-rata kota Pagarlam di 850m dpl. Jalan menuju tugu Rimau juga tak saya ketahui apakah sudah beraspal atau belum. Jika belum kemungkinan bisa 2 jam melaluinya dengan nexie yang terpaksa dilambatkan karena bantingan suspensi sungguh kurang nyaman.
tugu rimau kira-kira terletak di ujung warna hijau kebun teh ditengah gunung Dempo
Setelah batas kota jalanan kembali menurun lurus panjang-panjang. Tak terlihat jelas papan petunjuk jalan sehingga sedikit terlewat sebuah pertigaan besar mengarah ke Gunung Gare, kompleks perkantoran pemkot yang dibangun sedikit diluar kota, diatas gunung. Dan saya balik arah untuk memasuki persimpangan yang mendaki tadi. Menurut Googlemap jalan terdekat ke tugu Rimau melalui Villa Gunung Gare dan artinya tidak perlu memasuki pusat kota terlebih dahulu jika dari arah Manna.
Sesampai di depan Villa dan perkantoran pemkot saya cek koordinat dengan blackberry OS 7, GPSTools nama aplikasinya. Ternyata ketinggian kompleks perkantoran ini sekitar 1000 m dpl. Pandai juga orang Pagaralam mengirit listrik, praktis kantor-kantor disitu tak perlu AC. Karena saya tahu keramahan dari sapaan anak-anak muda tadi, saya beranikan untuk bertanya pada gerombolan pemuda yang lagi nyore disitu. Saya tanyakan mengenai arah dan kondisi jalan menuju tugu Rimau. 

Jam sudah menunjukan pukul 17 lewat banyak, jika tak memungkinkan saya pilih mencari penginapan dulu dan baru esok pagi ke tugu Rimau. Tapi penjelasan sembari menunjukan lokasi yang jelas terlihat dari Gunung Gare membuat saya yakin dlm 30 menit bisa mencapai lokasi, sekitar 12 kilometer saja jaraknya. Sebetulnya jika ditarik garis lurus, jarak nya hanya 4,5 km. Segera saya lajukan kembali si nexie, mengikuti alur jalan berliku yang dimelarkan hingga hampir 3x lipat jarak lurus agar pendakian tak terlalu curam. 
Sempat berhenti juga mengambil gambar indahnya pemandangan. Tiada kata selain, Subhanallah indahnya ciptaanMu yang maha Agung. Meski kabut tipis menghalangi pengambilan gambar oleh kamera prosumer saya, mata ini sungguh dimanjakan. Padahal pemandangan ijo royo-royo begini bukan hal aneh, bahkan sebagai penduduk pedesaan di kaki Gunung Rajabasa, tiap hari saya lihat disekitar rumah juga hijau raya. Apalagi bagi orang kota dataran rendah, pasti senang sekali melihat alam seperti ini. Mirip di Puncak, Jabar beberapa puluh tahun lampau.
Pagaralam saat mulai menyalakan lampu kota dilihat dari tugu Rimau

Akhirnya tugu Rimau dicapai jam 17.51, karena letaknya yang lebih di Barat, hari masih cukup terang disini. Selesailah etape ini. Tinggal menunggu malam dan mencoba mengambil gambar Pagaralam dari ketinggian diwaktu gelap. Saya tahu bahwa nanti bulan akan bersinar tampak membulat karena hari itu sudah mendekati pertengahan kalender bulan.


Bersambung kesini....