Sabtu, 18 Oktober 2014

Pagaralam Solorun bagian kedua

HARI PERTAMA

Etape 1, Bandarlampung – KotaAgung 96 kilometer; Jam 11.50 – 13.10 dan 13.45 – 14.20
Banyak jalan lurus dan hanya belasan kilometer jalan pegunungan dengan tikungan asik


Jalur ini terbilang sering saya lewati. Sudah pula saya tuliskan dalam bentuk ride report atau saya lebih suka menyebutnya sebagai RIDE STORY. Dulu saya tuliskan dengan tambahan cerita dari masa lalu saat pertama menembus calon Jalan Lintas Barat dari KotaAgung hingga Krui. Kini saya coba kisahkan sedikit mengenai kota-kota atau desa yang dilintasi.

Start kegiatan ini dari Bandarlampung setelah mendapat kepastian rekan tak jadi ikut, judul kegiatan pun berubah menjadi Pagaralam Solorun dari sebelumnya direncanakan Pagaralam Rideventure. Jam 11.50 saya memulai pelintir gas sedikit demi sedikit. Saat adzan Dzuhur saya telah mencapai gerbang kota. Jalur ini hingga Pringsewu terbilang padat sehingga tidak bisa melaju cepat.

Desa pertama setelah keluar dari wilayah kota Bandarlampung bernama desa Kurungan Nyawa. Desa ini masuk di wilayah kabupaten Pesawaran. Entah mengapa dinamakan demikian tapi itu sebuah bukti bahwa penamaan desa di Lampung tidak terpaku pada hal-hal baik saja. Mungkin karena dahulu terdapat sebuah tikungan maut disini, banyak sekali korban tewas akibat kesembronoan pengemudi. Tapi rasanya nama desa tersebut sudah lebih lama dari keberadaan kendaraan bermotor. Kebetulan sekarang ini berdiri rumah sakit jiwa tingkat propinsi di desa ini. Semakin lengkaplah julukan Kurungan Nyawa sebagai tempat mengurung para pasien berjiwa sakit.





Selanjutnya adalah ibukota kabupaten Pesawaran, Gedong Tata’an. Disinilah orang jawa pertama kali ditempatkan dalam program kolonisasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Disini juga terdapat Musium Transmigrasi. Tapi para kolonis ini justru lebih banyak ditempatkan di Pringsewu yang kini menjadi kabupaten tetangga Pesawaran.

Baik Pesawaran, Pringsewu dan Tanggamus dahulu termasuk kabupaten Lampung Selatan yang beribukota di Kalianda. Pemecahan pertama membagi Lampung Selatan dengan Tanggamus. Ibukota Tanggamus di Kota Agung dan Lamsel tetap di Kalianda. Kemudian Lampung Selatan dibagi dua lagi dengan Pesawaran. Dan menyusul Tanggamus dipecah lagi dengan Kabupaten Pringsewu.

Tak lama kemudian perjalanan memasuki wilayah kabupaten Pringsewu. Total dari Bandarlampung hingga ibukota kabupaten Pringsewu yaitu kota kec Pringsewu adalah 35 km. Di Pringsewu kehidupan serasa di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Mayoritas penduduk kabupaten ini keturunan jawa. Bahasa sehari-hari yang digunakan juga bahasa jawa ngoko. Mungkin perbedaan utama dengan di daerah asalnya adalah tak dikenal istilah bahasa halus atau kasar. Mengingat asal penduduk Pringsewu bukan hanya dari Jawa Tengah tapi juga Jawa Timur. Ada pula kelompok orang-orang Jawa yang bergama Hindu, kemungkinan mereka berasal dari sekitar Tengger di Bromo.

Jam sudah menunjukan pukul 13.00  saat memasuki gerbang kota Pringsewu, gapura dari beton yang dibentuk seperti bambu. Sebelum ditempati para kolonis dari Jawa, tempat itu memang hutan bambu.
Pringsewu cukup dikenal kuliner-nya, masakan khas jawa kelahiran sumatera. Mirip dengan masakan jawa tapi jauh lebih pedas. Dan saya sudah merencanakan untuk makan siang di warung mbak Sri. 

Jam 13.10 tiba di warung yang terletak di arah keluar kota, setelah pasar dan SPBU. Belum pernah makan disitu sebelumnya tapi sempat dengar dari rekan supir, masakannya enak dan cukup murah. Karena tak ada belut goreng kesukaan, saya pilih rendang jawa dan minum es teh manis. Sambil makan saya tersenyum sendiri, kok malah pilih rendang di warung Jawa, jadi inget saya marah karena anak istri malah mencari KFC di Bukit Tinggi saat saya justru ingin mencoba nasi kapau asli. Tapi memang rendangnya menggoda selera karena belum menghitam. Dan ternyata dagingnya empuk, bumbunya pedas, gurih dan tidak terlalu manis sesuai selera saya. Setelah selesai bersantap segera bersiap melanjutkan perjalanan, kembali mengenakan jaket tjap cas*rol milik teman yang ketinggalan atau mungkin sengaja ditinggalkan karena dia pasti punya jaket yang lebih bagus. Saat membayar, hanya dikenakan Rp.16.000 untuk nasi rendang plus es teh manis. Lumayan murah.

Perjalanan dilanjutkan jam 13.45, dengan gas tinggi tapi kecepatan rendah, harap maklum nexie hanya mentok di 100kpj setelah ganti ban lebih besar, turun sekitar 5 kpj. Apalagi dengan beban badan seberat 77kg plus barang bawaan yang sekitar 10kg. Serta jalanan juga mendaki dari Pringsewu hingga Gisting. Setelah lewat sedikit dari kota kecamatan Pringsewu, perbatasan dengan Tanggamus terlihat di ujung kecamatan Pagelaran.  Kabupaten Pringsewu memang kecil saja dibanding 3 kabupaten eks Lampung Selatan, mungkin nantinya diproyeksikan menjadi Kota.

Wysiwig disini adalah kehadiran mesjid-mesjid kecil dengan arsitektur unik dan berbeda sama sekali diantara mesjid-mesjid itu. Semua tampak dari sisi jalan yang mendaki landai, terutama di kecamatan Talang Padang, Tanggamus. Nanti mungkin saya buatkan tulisan tersendiri mengenai mesjid-mesjid ini. Beberapa mesjid menjadi aneh bentuknya, bahkan ada yang lebih mirip gereja atau synagog dan hanya kubah yang menandakan itu adalah mesjid. Nampaknya tiap desa atau dusun ingin tampak beda serta ada semacam adu gengsi terhadap bangunan mesjid mereka. Saya ingat ada sebuah mesjid yang menjadi pelopor bentuk unik, sekitar 20 tahun lalu hanya ada satu mesjid yang menarik perhatian karena kisi-kisi betonnya membentuk wajik dan ada yang keluar dari dinding. Karena terburu-buru akibat telat berangkat, hal yang sudah saya rencanakan untuk memotret mesjid-mesjid ini secara lengkap batal saya lakukan.

Pusat kota Kec Talang Padang yang dahulu merupakan pusat perkulakan kopi sudah terlewati dan jalanan semakin nampak menanjak hingga di Gisting Bawah. Dari desa Gisting Bawah terlihat nyata jalan mendaki, dan dari namanya juga nampak karena setelah itu adalah desa Gisting Atas. Ketinggian Gisting Atas sekitar 650 meter diatas permukaan laut membuat udara disini cukup dingin. Diatas punggung gunung Tanggamus, gunung tertinggi di Lampung ini sejak dahulu kala dijadikan tempat tetirah para pejabat Hindia Belanda yang ditempatkan di Lampung. Dan kini mess Belanda berubah fungsi menjadi Rumah Sakit setelah sempat juga menjadi bruderan.

Terlihat meteran bensin menukik ke E tapi yakin masih sampai di KotaAgung. Beberapa SPBU setelah Pringsewu tak ada yang menjual Pertamax, sementara utk mengisi bbm di Pringsewu tadi urung karena fuel meter masih mendongak tinggi disana. Yakin sampai Kota Agung mengingat setelah lewat batas desa Gisting Atas akan ditemui gerbang Kota Agung. Padahal Kota Agung dikenal sebagai bandar laut sejak era kesultanan Banten yang tentunya di pinggir laut dan memasang gapura di ketinggian 600 meter dpl. Agak membingungkan awalnya, ternyata pas kemarin saya lewat baru sadar bahwa itu adalah batas kecamatan Kota Agung. Dan Kota Agung bukanlah kota dalam terminasi bahasa Indonesia, hanya saja kecamatan ini menjadi ibukota kabupaten Tanggamus. Kalaupun menjadi kota suatu waktu nanti maka akan disebut secara resmi sebagai Kota KotaAgung atau dibahasa-Indonesiakan menjadi Kota PagarAgung. Kota dalam bahasa Lampung berarti pagar.

Setelah gapura KotaAgung kita akan menemui jalan berliku tajam menurun. Jalan berbentuk letter “U” dan hampir “O” akan kita temui. Inilah pertama kali saya mengendarai matik dengan shockabs sebelah di jalanan yang amat saya sukai, penuh tikungan. Awalnya kuatir bahwa nex akan bergoyang di tikungan, terutama ke arah kanan. Tapi setelah mencoba di beberapa tikungan lebar sebelumnya, saya beranikan mencoba di kecepatan sedang, 60kpj. Tak ada goyangan sama sekali seperti yang saya kuatirkan sebelumnya. Akhirnya sedikit demi sedikit kecepatan di tikungan demi tikungan saya tambah. Sampai akhirnya sebuah tikungan ke kiri yang amat tajam memasuki jembatan memaksa saya menekan rem cukup dalam tapi motor masih melaju deras karena posisi jalan yang menurun. Posisi badan cepat saya geser ke kiri hingga bergaya bak pembalap road race untuk mengajak nex menikung cepat. Nyaris mencium pagar beton jembatan. Tapi bukan Andre namanya jika lantas memperlambat laju di tikungan *sombong dikit dulu ah.... justru merasa sudah dapat trik menikung dengan matik kecil, kecepatan saya tambah. Tapi mohon jangan ditiru, saya berani karena hapal dengan tikungan-tikungan disini. Dan saya hanya ingin membuktikan kekuatiran saya selama ini terhadap motor ber-shockbrekaer sebelah yang ternyata dengan nex tidak terbukti. Nex justru tangguh melibas tikungan di kecepatan penuh, entah dengan produk pabrik lain. Tapi di jalan rusak, nex dengan shockabs yang keras sangat tidak nyaman.



Sesampai di KotaAgung, saya tuju pertama kali adalah SPBU, sayangnya di kota yang bukan kota tapi sudah berbentuk kota ini tak menjual pertamax. KotaAgung memang merupakan bandar tua sejak jaman sebelum Belanda sudah menjadi bandar yang cukup ramai. Ini karena pelabuhan alaminya sangat baik. Dan kala Lampung Selatan beribukota di TanjungKarang, Kota Agung menjadi kota perwakilan tempat kedudukan seorang  Pembantu Bupati atau Wedana di jaman kolonial, re: https://id.wikipedia.org/wiki/Kawedanan . Sementara wilayah Kalianda yang juga sama tua sempat hancur musnah dilanda tsunami Krakatau setinggi 40an meter pada 130an tahun lalu. Dahulu kala pusat keramaian Kalianda terletak di Katimbang, agak jauh bergeser dari Kalianda kini. Sebagai kota yang terdekat dengan ibukota kerajaan di Serang, Katimbang adalah bandar penting. 

Karena takut kehabisan bensin saya  isi premium Rp.15.000,- di SPBU KotaAgung. Istirahat di minimarket dekat SPBU dengan meminum sisa miz*ne yang sudah hangat. Lantas membeli air mineral dingin dan meminumnya seteguk saja. Sebagai tindakan preventif, saya tidak langsung meminum air dingin disaat badan panas terpepes matahari * ya benar, terpepes karena dibungkus jacket, kalau telanjang dada baru disebut terpanggang matahari :P . Juga membeli snack berat tapi tak saya makan disitu, sebagai persiapan jika terjadi masalah di jalan. Jalan di depan akan melewati hutan tanpa penduduk lumayan jauh. Dan bisa saja ada pohon rubuh menghalangi jalan membuat perjalanan terhambat,  saat-saat seperti itulah snack berat sangat berarti.

Etape pertama selesai di KotaAgung dan sejak awal saya rencanakan berakhir di minimart.


Etape 2, Kota Agung – kota kecamatan Bengkunat 95km; Jam 14.45 – 16.15

Setelah istirahat cukup karena melibas tikungan dari Gisting hingga KotaAgung cukup menguras stamina. Kembali saya tenggak seteguk air dingin dan bersiap mengenakan gear alakadarnya. Sejurus kemudian kembali menstart mesin nexie, sambil membayangkan terdengar kata-kata “gentlemen, start your engine... get set, GO!” tarik gas dalam-dalam dan motor melaju menghentak. Tapi itu hanya khayalan... kenyataan sih cuma pelintir gas perlahan-lahan. Apalagi ini kota dan kampung orang, sebagai akamsi saya tahu rasanya melihat orang geber-geber gas di depan muka di wilayah sendiri.

Sekitar 15 kilometer setelah keluar KotaAgung akan ditemui sebuah SPBU disebelah kiri jalan yang saya sebut sebagai KotaAgung 2. SPBU yang terhitung lebih baru dan pastinya menjual pertamax. Saya isi bensin lagi disini, kali ini pertamax hingga penuh, Rp.17.000,-. Tak saya perhatikan jumlah liter tepatnya dan hanya catat rupiah saja. Tak jauh dari SPBU ini juga ditemui sebuah SPBU lagi tapi tak jual pertamax. Setelah itu tak dijumpai lagi SPBU hingga daerah Biha, sekitar 100 kilometer jarak antar SPBU ini.

Perjalanan dilanjutkan melewati kota kecamatan Wonosobo, awalnya disini adalah pemukiman transmigran yang berasal dari Wonosobo, Jateng namun kemudian dihuni juga oleh orang jawa dan etnis daerah lain sehingga Wonosobo di Lampung ini menjelma jadi pasar besar dan kemudian ditunjuk sebagai ibukota kecamatan. Selewat Wonosobo akan ditemui jalan bercabang yang kadang membingungkan jika tak melihat papan petunjuk jalan. Lurus adalah jalan ke Suoh, memang bisa tembus hingga Liwa tapi jalan semi offroad. Belok kiri adalah jalur Jalinbar yang sebenarnya mengarah ke Krui.

Dan Sedayu menanti, Sedayu adalah nama desa atau disebut pekon di Tanggamus, tempat jalanan menjadi curam menanjak atau menurun jika arah sebaliknya. Bukan sekedar curam tapi juga panjang berkepanjangan. Tanjakan ini terpaksa dibuat curam karena bukit yang akan dilalui bukanlah bukit biasa, ini adalah sebuah patahan kerak bumi, dalam penyebutan secara geologi bukit ini disebut patahan/sesar semangko. Patahan yang bermula dari sekitar dibawah Liwa bahkan Ranau hingga ke tengah laut teluk Semangka dan menusuk hingga Selat Sunda. Sepanjang itu pula sisi bukit ini hampir tegak lurus. Di laut, bagian dari patahan ini menjadi surga pemancing dengan sebutan areal SMR (Sea Mount Reef). Di Selatan Liwa, terbentuk mata air panas Suoh yang mendanau sebagai hasil panas yang terjadi akibat gesekan antara kerak bumi yang tertinggal dibawah dan yang naik membukit.

Sedayu kini juga terkenal salaknya yang hampir menyerupai hasil tanaman di Pondoh karena ditanam dengan bibit asal daerah itu. Setelah tanjakan menjadi lebih landai ada beberapa kedai yang menjual salak ini. Sedikit lewat kedai-kedai itu akan ditemui kantor Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) seksi Sedayu. Pertanda kita akan memasuki hutan kawasan. Dulu saat pertama kali lewat di tahun 1995 tempat itu adalah gerbang masuk dan pos pengamatan hewan.


foto tahun 1995 di Sedayu Atas


Selanjutnya adalah barisan pohon-pohon besar dan kerimbunan hutan tropis di kanan kiri jalan. Di pertengahan akan dijumpai perbatasan kabupaten Tanggamus dengan Pesisir Barat (d/h bagian dari Lampung Barat). Jalanan mulai menurun setelah melaui Patok 50, patok seket. Jalanan ini juga tak kalah curam dengan Sedayu, justru inilah yang disebut tebing mayit, hanya saja telah dipapas sehingga lebih landai dan tak lagi membahayakan. Ada beberapa bangkai jip dibawah jurangnya yang sedalam 100an meter. Sebelum dibuatkan jalan aspal Lintas Barat Sumatera, bagian ini telah menjadi jalan rintisan angkutan jip menuju Bengkunat dan dari situlah julukan tebing mayit bergema hingga kini.

Setelah hutan, mulai nampak perkampungan atau desa atau di PesBar juga disebut dengan pekon dan kepala desa disebut sebagai Peratin. Pekon pertama di Pesbar dari arah Tanggamus adalah Pemerihan, kehidupan disini sebelum ada Jalinbar memang sungguh perih, ke Krui atau Liwa yang menjadi ibukota kabupaten memakan waktu 2 hari perjalanan. Karena itu tidak heran mereka lebih akrab dengan KotaAgung atau Wonosobo dan Kuncoro di wilayah Tanggamus selain mereka kebanyakan adalah pendatang dari Tanggamus.

Pemerihan termasuk dalam kecamatan Bengkunat Belimbing yang pecahan dari kec Bengkunat sebagai akhir etape ini. Perlu dipahami, sebuah kecamatan di Lampung bisa seluas sebuah kabupaten di pulau Jawa. Karena itu banyak sekali kecamatan-kecamatan baru hasil pemekaran. Tak luput kecamatan Bengkunat dan agak lucu karena pelabuhan dan teluk Bengkunat justru berada di kecamatan yang dimekarkan sehingga menjadi kecamatan Bengkunat Belimbing. Kecamatan induk menurut aturan tak bisa berganti nama dan Bengkunat yang sekarang tak lagi berasosiasi dengan posisi geografis Teluk Bengkunat.

Meski sudah bukan di kawasan hutan, jalan disini masih sepi dari rumah penduduk disisinya. Seperti juga di Lampung Selatan, sebenarnya penduduk disini cukup banyak tapi bertempat tinggal bukan ditepi jalan yang baru dibentuk tahun 1995an. Di tepi teluk Bengkunat dan di tepi sungai besar seperti Way Ngaras adalah pemukiman utama penduduk disini. Tapi 5-6 tahun terakhir ini sudah mulai banyak yang memindahkan rumah ke tepi Jalinbar.

Dan beberapa bulan terakhir sudah ada minimart di kec Bengkunat induk. Ini adalah akhir etape kedua. Dan saya menyelesaikan etape ini sesuai perkiraan, jam 16.25. Dijalur ini saya tak sempat berhenti memotret kecuali di Sedayu menyempatkan mengambil gambar seorang anak yang melepas-latih burung dara. Sejak menjelang patok seket terlihat awan mendung menguasai langit. Akibatnya saya terpaksa berpacu melawan kemungkinan hujan deras. Tebing mayit jadi seperti jalan tol lurus saja, hampir pol gas saya pelintir. Menikung ambil gaya pembalap kembali terpaksa dilakukan. Andai saya tidak mencoba di menjelang KotaAgung tadi, jelas tidak berani main-main disini, kalau terjadi kecelakaan bisa jadi saya tidak pernah ditemukan tersembunyi di dasar jurang yang berupa hutan lebat.

diatas tebing Sedayu, seorang anak yang tinggal dibawah, pekon Sedayu melepas burung dara untuk dilatih

Etape 3, Bengkunat – Krui 56km; Jam 16.45 – 18.40

Tidak sampai 5 menit setelah saya tiba di minimart Bengkunat, gerimis pun menyusul. Istirahat minum aqua yang dibeli di KotaAgung dan mengunyah snack berat. Para pramuniaga minimart yang sepi ini melongo memperhatikan saja, mungkin sedih karena toko yang tak pernah ramai ini saat ada yang singgah malah minum dan makan roti dari kantong plastik minimart yang semerk tapi bukan beli disitu. Bukan karena kasihan dengan pramuniaga dan kasir tapi memang setelah itu saya baru masuk belanja, sebotol amdk (air minum dalam kemasan) dingin dan snack. Kembali keluar dan istirahat sembari meneguk sedikit air dingin. Buat saya, saat badan panas berkendara jika langsung meneguk air dingin membuat mudah terserang flu. Dan flu menjadi merepotkan bagi saya apalagi perjalanan masih panjang.

Istirahat dan menanti gerimis reda. Sebentar saja gerimis berhenti dan hujan rupanya tidak mengikuti. Segera saya start motor dan melaju kembali saat jam menunjukan pukul 16.45. Jalan antara Bengkunat hingga Biha banyak sekali lurus dan panjang-panjang, mungkin dibuat dengan menarik benang. Sepertinya jalan ini dibuat lurus-lurus sebagai kompensasi jalan di Sedayu dan patok seket.

Tak berapa lama gerimis pun kembali menyusul atau tepatnya menunggu di jalan. Karena cuma kecil saja, saya acuhkan. Ternyata mendekati Pura Segara semakin membesar dan celana serta jaket mulai membasah. Sekalian saja saya hentikan motor tepat didepan Pura. Baru jam 17 lewat sedikit disitu. Timbulah ide untuk memotret terbenamnya matahari di pura Hindu Bali itu, menggantikan rencana ambil gambar dari Lemong. Jika dihiasi siluet arca atau ukiran pura pasti menjadi foto yang menarik. Sayangnya cuaca benar-benar tidak memungkinkan. Samudra Indonesia juga sangat gelap diliputi mendung. Mustahil ada penampakan “mata dewa” di cuaca seperti ini.


Pura Segara yang terletak di Pantai Melasti

Didaerah ini memang banyak terdapat pemukim asal Lampung Tengah yang kebanyakan suku Bali. Kakek moyang mereka merupakan transmigran akibat bencana letusan Gunung Agung tahun 50an. Mereka ditempatkan di Lamsel dan Lamteng. Dan kini akibat tanah di daerah sekitar penempatan mereka telah penuh, selain pula karena lebih memilih daerah yang sepi dan jauh dari penduduk agar kegiatan mereka yang mungkin bertentangan dengan agama penduduk setempat tidak menimbulkan friksi, maka mereka memilih bermukim di sisi Barat Lampung ini. Selain disitu, juga mengisi areal sepi di Mesuji dan kini terjadi konflik dengan pemerintah karena lokasi di Mesuji tersebut adalah areal kawasan hutan lindung.

Mendapati kemungkinan kecil mendapat obyek bagus untuk difoto, segera saya kenakan jas hujan - celana hujan tak lupa menyarungkan rain cover di sidebag. Saat ingin menyarungkan DSLR tankbag. E...ladalaaah, kok ya ketinggalan... tapi saya selalu membawa kantong-kantong plastik cadangan dan kebetulan ada thrashbag bekas acara GRGG dulu saya bawa juga * thx om Ali Arifin atas pemberian plastiknya ini. Jadilah itu sebagai pembungkus tankbag.

Setelah meluncur kembali saya coba pacu sekencang mungkin karena mendung semakin tebal. Jalanan benar-benar lurus di bagian ini tapi ada juga tikungan melebar. Setelah melewati sebuah tikungan, jalan berlubang muncul dari persembunyianya dibalik tikungan, tak ayal masuklah ban matik yang kecil itu sepenuhnya kedalam lobang. Meski hanya beberapa sentimeter saja dalamnya namun cukup membuat guncangan keras. Gagang spion kanan yang terbuat dari plastik sampai patah sendiri karena guncangan itu. Berhenti untuk memungut patahan spion yang cukup mahal karena berkaca cembung seperti spion aslinya. Semoga bisa diperbaiki nanti.

Trauma dengan lobang, kecepatan motor saya kurangi terutama di tikungan yang kalo tidak salah ingat hanya tinggal 3 buah lagi dari SPBU Way Jambu hingga Biha sejauh l.k 12 km. Setelah Biha, perjalanan memasuki Kawasan Wisata Selancar Tanjung Setia. Disini biasanya banyak peselancar mancanegara. Karena menjelang senja dan gerimis besar tak terlihat para bule ini seliweran. Satu – dua kilometer kemudian gerimis mengecil hingga berhenti sama sekali. Dan jalan rusak, dikelupas karena sedang diperbaiki diantara Biha dan Krui memperlambat laju. Baru saat Maghrib tiba di SPBU Krui 2, pom bensin baru yang terletak sebelum memasuki Krui kota arah dari KotaAgung. Tepatnya di pekon Lintik, disini juga terdapat minimart namun karena menyatu dengan SPBU membuat tak bisa melaksanakan kegiatan yang selalu saya lakukan saat istirahat, saya lanjutkan perjalanan memasuki Krui kota. Alih-alih beristirahat di minimart, saya pilih rumah makan Awak Bana setelah melewati pasar Krui. Meski di Krui banyak keluarga dari istri saya putuskan untuk tidak singgah agar tiba di Merpas sebelum tengah malam. Karena coba-coba singgah akan berbuah dipaksa menginap.

Selesailah etape ketiga di RM Awak Bana yang meski bergenre minang ternyata menerapkan sistem layanan sendiri, self service atau ambil sendiri makananmu. Baru saja duduk menghadap makanan, “byur” hujan besar turun sekaligus. Alamat berlama-lama istirahat disini.


Etape 4, Krui – Merpas 82km; Jam 20.10 – 22.35

Jam 20.05 hujan baru reda. Segera bersiap melanjutkan perjalanan. Tak lama sudah kembali menggilas aspal diatas kedua roda. Perlengkapan penahan hujan tetap dikenakan. Selain terlihat mendung masih menggayut tebal, malam basah membuat dingin lebih terasa. Lutut sudah mulai terasa sakit linu akibat sempat berbasah-basah tadi. Paksakan saja untuk terus karena tinggal beberapa puluh kilometer tiba di tempat istirahat sekaligus tujuan sekunder.

Jalan antara Krui hingga Bintuhan sebenarnya amatlah cantik pemandanganya apabila perjalanan dilakukan saat hari terang. Sebetulnya saat itu bulan sudah bersinar hampir membulat, andai tidak mendung pasti sangat indah memandang samudra bermandikan cahaya bulan. Tebing-tebing yang bahkan ada yang lebih dari 90 derajat di sisi Timur jalan dan jurang berdasar samudra di sisi Barat. Ada sebuah tebing yang yang terbentuk dari 1 buah batu utuh seakan memayungi jalan dibawahnya, itu sebabnya saya katakan lebih dari 90 derajat. Batu tihang juga menghias pemandangan samudra dari Jalinbar di seksi ini. Rasanya tak cukup sepuluh halaman untuk menceritakan keindahan di Jalinbar antara Krui – Bintuhan.


Salah satu keindahan Jalinbar ruas Krui - Bintuhan


Tapi karena saat ini saya jalan malam tak banyak yang bisa ditulis. Jalanan sebagian masih rusak sedang diperbaiki. Banyak lubang dan jika menggunakan sedan dipastikan akan berkali-kali tersangkut batu jalan yang menyembul. Jalan rusak ini tak seluruhnya tapi kerap timbul setelah beberapa ratus meter.
Dan tibalah di minimart berantai yang paling ujung di etape ini, di kecamatan Pugung. Saya sempatkan berbelanja berbagai kebutuhan seperti alat cukur kumis, obat pegel dan snack. Sekalian saya buka jas hujan karena nampak cuaca menjadi cerah disini.  Tidak jauh dari titik ini, jalan akan mendaki menuju dataran Lemong. Jalan dibuat memutar karena pihak kehutanan ingin melestarikan hutan pantai di wilayah itu.

Jalan menuju Lemong lumayan curam, mirip dengan Sedayu tapi tak terlalu panjang. Setelah Lemong, jalan akan kembali melintasi hutan TNBBS. Wilayah Pesisir Barat memang dikelilingi Taman Nasional yang cukup panjang di sisi Barat Sumatera ini. Artinya untuk memasuki PesBar melalui jalan darat dari manapun maka wajib melintasi hutan. Dari KotaAgung sudah saya sebutkan tadi. Dari Liwa juga melewati TNBBS sektor Liwa dan dari arah Bengkulu adalah hutan TNBBS seksi Lemong/sektor Pugung.

Dan kengerian pun muncul saat menjelang memasuki kawasan TNBBS. Gelap dan jalan sepi. Lewat terakhir disini adalah musim mudik kemaren yang lumayan ramai. Saya berhenti sebentar untuk memasang senter di dudukan yang telah disiapkan di spion. Alat bantu penerangan penting karena lampu utama nexie menempel di badan motor sehingga tidak bisa menengok kiri kanan. Padahal di hutan bagian ini masih banyak hewan liar. Penampakan beruk, si monyet besar sudah biasa disini. Dan beruk ini juga lumayan menyulitkan jika menyerang kita, giginya besar dan tajam diketahui pula kadang menyerang manusia secara keroyokan. Si tutul juga dilaporkan beberapa bulan sebelumnya terlihat tak jauh dari Jalinbar.


Beginilah ditengah TNBBS saat siang dan saya melintasinya sendirian malam hari

Tapi dengan keyakinan penuh gas kembali dipelintir maksimal. Tujuan hanya tinggal 28 kilometer lagi. Sepanjang 24 kilometer melintas hutan itu hanya 2 kali ketemu truk yang mudah saja disalip. Dan hanya papasan dengan sebuah mobil minibus. Setelah turun dan jalan kembali disisi pantai ternyata hujan lumayan deras menanti. Tanggung untuk mengunakan jas hujan karena tinggal sedikit lagi, toh celana hujan respiro masih dikenakan.

Akhirnya sampai juga di Pantai Laguna Samudra. Dan segera meminta kunci pondok inap. Selesai lah etape ke empat dan perjalanan hari itu.


Istirahat di Merpas 2 hari 3 malam

Akhirnya perjalanan Hari ke 1 selesai. Dan bukan berarti saya bisa istirahat penuh karena tujuan sekunder ini adalah bekerja. Tanggal 5 Oktober 2014 ini adalah Hari Raya Kurban atau Iedul Adha. Saat orang banyak libur, sementara kami yang bekerja di bidang pariwisata justru bekerja lebih keras. Semalam, begitu tiba di Pantai Laguna Samudra (PLS) saya langsung mandi meski dingin karena angin lumayan kuat malam itu. Tapi rasa tebal dimuka dan lepek di badan bakal menyulitkan untuk tertidur dengan lelap. Sebelum tengah malam saya sudah terlelap penuh.

Kali ini saya terbangun tepat 5 jam setelah lelap, jam 4.45. Udara dingin merasuk kedalam pondok kayu membuat menggigil. Meski di pantai, udara di PLS terhitung dingin apalagi subuh begini, angin dari pegunungan Bukit Barisan yang hanya beberapa kilometer saja dari sini, membuat suhu seperti di pegunungan saja. Siang hari pun pantai ini adem sekali karena pepohonan yang demikian rimbun sebagai Taman Rekreasi yang bertemakan hutan pantai.
Pantai Laguna Samudra, PLS - Merpas



Saya sempatkan melaksanakan ritual religi. Kemudian saya lanjutkan dengan merendam pakaian kemarin. Sejurus kemudian saya telah berkeliling memeriksa tiap sudut PLS yang pengelolaannya saya pegang hingga tahun 2020 ini. Hitung-hitung olahraga juga karena lumayan melelahkan mengelilingi hutan pantai seluas lebih kurang 8 hektar ini. Menjelang pukul 7 saya kembali ke arah Pos Pelayanan atau Kantor Pengelola. Pemegang kendali usaha di lokasi, Udo Zuryanto tampak bersiap ke Mesjid utk Shalat Ied. Memang beliau adalah suami dari kakak istri yang tertua tapi usianya sama dengan saya, karena penghormatan saya tetap memanggilnya dengan “Udo”.
Kemudian sehari itu dihabiskan dengan pemeriksaan administrasi dan pembicaraan mengenai segala sesuatu tentang pengelolaan PLS. Sambil juga kami memperhatikan penjualan tiket masuk dan melayani pengunjung memberikan informasi dlsb. Hingga malam kembali datang.

Pagi hari kedua di PLS juga dihabiskan dengan pekerjaan. Saat jam makan siang saya sempatkan keluar mencari lokasi foto menarik, ada sebuah jalan yang baru saja diaspal hotmix keatas gunung dan saya mau coba kesana. Jaraknya tak terlau jauh, sekitar 8 kilometer kemudian mendaki sekitar 5 kilometer. Sebenarnya jalan mendaki masih panjang tapi aspal hotmix hanya sampai 5 km. Kebetulan pula sebelum jalan hotmix habis, saya telah menemukan spot yang memang sudah saya incar dengan bantuan google map. Benar saja pemandangan disitu sesuai perkiraan, indah dan dapat memandang samudra sehingga memungkinkan mengambil foto mentari terbenam di lautan  dari ketinggian. Saya putuskan untuk sampai disitu saja, penyebab lain karena nexie di jalan rusak sangat tidak nyaman dan kuatir ban depan yang masih bawaan bocor dihantam bebatuan.
segelas kopi susu di PLS

Sekembali dari peninjauan lokasi, saya lanjutkan rapat pembahasan rencana kerja sambil makan. Enaknya jadi boss, bisa suka-suka hati :D . Sekitar jam 5 sore saya persiapkan kamera dan berangkat ke lokasi tadi meski mendung tebal telah menguasai langit. Berharap saja mendung bakal sedikit mengalah di ujung lautan. Sayang sekali mendung tak mau mengalah sedikitpun, hingga tak ada “mata dewa” yang bisa saya abadikan.

Sembari menunggu matahari terbenam ada seorang yang menghampiri karena heran melihat ada orang memainkan kamera di hutan. Beberapa pelintas lain enggan menghampiri, kecuali Jon Henri yang ternyata pemilik jip angkutan umum ke pegunungan. Tak dinyana diatas sana ada beberapa desa lagi. Padahal sejauh 5 kilometer dilewati dan sejauh mata memandang keatas tak nampak rumah kecuali gubuk buat istirahat siang di kebun yang kosong menjelang maghrib begini. Jon Henri adalah pemukim yang berasal dari Pulau Beringin, sekitar 1 hari berjalan kaki menuju kampung asalnya, itu yang dia lakukan dengan ayahnya beberapa belas tahun silam ketika pindah ke wilayah Bengkulu.

Main perahu di laguna PLS, ombak samudra tak bisa menembus pagar karang
Akhirnya setelah maghrib terlewat dan tak mendapat buruan, saya putuskan balik ke PLS. Istirahat cukup malam itu. Meski subuh sudah bangun, saya tidak bersegera bersiap melanjutkan perjalanan ke Pagaralam. Sengaja agak siang baru direncanakan berangkat. Mensimulasikan seakan-akan saya baru sampai di Merpas kemarin sore/malam. Pagi-pagi saya sempatkan bermain air di laut, berenang di laguna PLS, tepian samudra yang terlindungi oleh “pagar” karang ditengahnya. Ombak Samudra yang dahsyat tidak bisa menembus pagar karang itu, berenang menjadi sangat mengasyikan disini.

Jam sudah menunjukan pukul 8.30 dan saya bilas air tawar. Lanjut berbenah mempersiapkan keberangkatan. Hingga akhirnya jam 10.15 saya sudah siap meluncur. Pamitan sambil mengisi dompet, ambil uang SHU bagian saya. Perjalanan lanjut jam 10.25.

Bersambung.... klik saja ini

1 komentar:

  1. Asyik bgt mengikuti alur cerita Riding om Andre ini, seakan2 sya jg ikut mengalami ridingnya.. Top markotop dah..

    BalasHapus